Sebuah Pertunjukan tentang Otak dan Apa-Apa yang Menghinggapi Benak

dok. foto: Polanco S. Achri

1. Pertunjukan, Secuil Catatan, dan Keinginan untuk Menyaran

Panggung dan arena main dibagi menjadi dua; dan para penonton, yang telah mendapat arahan sejak hendak mau masuk ruang pertunjukan, menempati bagian masing-masing. Setelah suatu seremonial semi-formal, pertunjukan pun dibuka, berjalan. Lampu padam; lantas hening terasa mencekam. Aktor di kelambu putih bening transparan bangkit; membuat gerak dramatik dalam temaram, maju ke depan, ke panggung atas. Lampu menyala, menampilkan aktor itu dengan pemusik yang mengiringi: yang membersamai dengan suara dan bunyi yang mencipta magi. Aktor-narator, yang muncul dari balutan kelambu itu, mulai menaikkan kelambu; dan mencoba mempertegas suatu batas. Dua aktor yang telah berdiam, semenjak awal, bahkan sejak sebelum seremonial semi-formal, kini bergerak: dalam suatu komposisi-koreografi. Lampu memperkuat dramatugi; meski tak genap memunculkan narasi…

Sepasang matamu mencoba fokus pada apa yang berada tepat di depan; tetapi tak genap bisa: sebab sesekali tercuri pula pada sisi lainnya. Serangkaian gerakan teatrikal, pengulangan bunyi dan suara, telah memukaumu; tetapi sesuatu di kepalamu tak genap bisa meraba, tak genap bisa menyentuh sesuatu. Aksi demi aksi, juga beberapa penonton yang diajak berpartisipasi, telah memukaumu; tetapi suatu bangunan di kepalamu tak genap terbangun. Di puncak, seperti yang kau duga, yang mana kau curigai juga telah diduga para penonton lainnya, terjadi: tali kelambu dipotong—dan kelambu pun rubuh! Dua aktor itu berkoreo bersama, berbincang bersama: saling melengkapi. Aktor-narator mempertebal ucapan dan aksi mereka: menyuguhkan dogma: otak adalah manusia, manusia adalah otak… Musik terus mengiringi, menjaga atmosfir magi.

Setelah pertunjukan, dan mendengarkan alasan juga sejenis pijakan, kau sungguh ingin sekali menyaran: Andai kata kain kelambu itu tebal dan tak tembus pandang, suatu gema pesan dapat bisa lebih ditangkap-melekat. Satu sisi fokus pada sisi itu saja; tetapi penonton bisa mendengar bocornya aksi dari sisi lain, menerka apa yang ada di lain sebelah. Di kepalamu, pernyataan itu begitu bergema: Mengganti kain penghalang, yang terkesan sederhana, akanlah mengubah sekian soal dalam perunjukan. Dan kau ingin berkata ke penulis dan sutradara: Setelah berpijak pada serangkaian penelitian, kenapa tak sekalian menjadikan teater dan pertunjukan sebagai eksperimen pengujian?

dok. foto: Polanco S. Achri

2. Sebuah Percakapan Imajiner

Sebab profesormu ada acara, sehingga tak genap bisa mengisi kuliah tentang paradigma, maka kau memutuskan untuk mampir dulu ke kedai langgananmu selepas sebuah belokan; dan malah berjumpa dengannya, lantas berbincang-bincang hangat dengannya, dengan seseorang yang amat mirip dengan dirimu…

  • Jadinya, kau menyaksikan semua pertunjukan di Festival Minikata?
  • Begitulah, Bung. Nanggung saja. Jadi, sekalian semuanya. Kenapa memang?
  • Dan kau membuat catatan kecil, seperti biasanya, untuk pertunjukan-pertunjukan itu?
  • Ya. Buat asyik-asyikan aja. Walau karena berjumlah enam, jadi lelah juga.
  • Kau menyaksikan pertunjukan Me and Me!, kan?
  • Ya. Kenapa memang?
  • Bagaimana menurutmu, bagus atau tidak?
  • Mengasyikan.
  • Ayolah, Bung. Setiap ada yang bertanya padamu tentang suatu hal, entah itu sebuah buku, pameran, atau pertunjukan, kau selalu berkata begitu. Bukankah kau menempuh pendidikan di mana kajian kritik jadi pokok soalan? Masa kau tak bisa menimbang?
  • Sialan. Aku kan sebenarnya lebih ingin jadi seniman; dibanding kritikus, pengulas, atau sejenisnya itu, Bung. Pendidikan itu cuma sejenis kedok saja. Ayolah…
  • Oke. Oke. Tapi, masa jawabanmu hanya “mengasyikan” saja? Aku ingin mendengar pendapatmu; pendapat yang lebih. Toh, aku juga menyaksikan. Kalau pandangan kita sama, ya sudah; kalau beda, berdiskusilah kita. Demikian maksudku…
  • Oke. Tapi sungguh, Bung. Aku menikmati; mengasyikan. Meski, kalau boleh meminta, ada beberapa hal yang rasanya ingin kutawarkan ke sutradara atau tim dan para pemain.
  • Apa itu?
  • Secara ide dan tawaran, seperti yang kukata tadi, mengasyikan. Tapi, beberapa pilihan eksekusi membuat belum optimal. Ambillah soal musik, misal. Musiknya kukira sangat bisa ditindaklanjuti. Kan seperti yang Bung tahu, musik bukan hanya bunyi-bunyi yang mengiringi; tapi juga pembangun suasana, atmosfir, dan suatu upaya menggarisbawahi perasan atau pikiran, kan?
  • Ya. Aku kan dulu juga pernah masuk di tim musik ketika kita main teater-teateran. Aku agak pahamlah, Bung. Aku ingat, memang musiknya belum genap dimanfaatkan. Ya-ya-ya. Oke. Oke. Lanjutkan, lanjutkan…
  • Namun, yang paling ingin kutawarkan pada sutradara, tim, atau pemain adalah tentang ruang dan properti. Aku membayangkan, jika kain pembatas itu hitam dan tebal, atau sejenisnya, maka premis atau ide tentang otak kanan-kiri itu bisa optimal. Toh, di awal, sebelum masuk, penonton sudah dibagi posisi kursinya, bukan? Nah, penonton sudah dikondisikan. Aku membayangkan penonton di sisi kanan menyaksi apa yang terjadi di kanan, begitu juga sebaliknya; tapi suaranya bocor, memecah fokus. Bah, kubayangkan akan menarik! Semacam premis dan gagasan awal akan berhasil. Atau, kalau ruang dan area main memungkinkan, maka panggung pertunjukan itu di tengah, seperti menonton bulutangkis atau tenis; tapi penonton di belakang masing-masing pemain, dan tidak di sisi samping area main. Penonton di sisi satu bisa bocor menyaksikan di sisi yang lain; melalui kelambu yang bocor tadi. Sekalian. Tak usah tanggung-tanggung.
  • Aku bisa bersetuju pada hal ini. Namun, kukira, ide sejenis itu juga perlu pertimbangan. Tak semudah seperti yang dirimu ucapkan, Bung. 
  • Aku paham. Kan aku tadi juga bilang, hanya hendak menyaran.
  • Lalu, bagimu, pijakan pada penelitian dan riset yang ditawarkan, masuk atau tidak?
  • Aku tak punya masalah pada itu. Hanya saja, aku ingin bilang, apabila memungkinkan, kenapa pertunjukan tadi tak dipakai untuk bereksperimen tentang teori atau penelitian rujukan? Bisa saja, kan, niat awal mengamini; tapi karena serangkaian proses, karena diuji dengan pertunjukan yang kompleks, maka teori atau penelitian itu tak benar, atau malah memunculkan temuan baru. Iya, kan?
  • Ah, ya. Aku bisa bersetuju dalam hal ini. Memungkinkan pula…
  • Pertunjukan itu sungguh potensial. Bahkan, tanpa dialog atau monolog. Ruang, tubuh, dan benda, jika dioptimalkan, kurasa akan sangat bergema dan membekas: bahkan bisa memicu penelitian dan pertunjukan lanjutan. Apalagi musiknya, ya, kan?
  • Kau ternyata bisa berlebihan juga. 
  • Toh, sekali lagi, itu hanya tawaran. Lagipula aku ini siapa, Bung?
  • Sudah mau balik?
  • Ya. Kopi sudah habis. Dan kerjaan di kontrakan, walau tak banyak menghasilkan uang dan keuntungan, mesti diselesaikan, bukan?
  • Kerja-kerja kesenian… Oh, iya, Bung, tak usah bayar. Aku saja. Sejenis uang kesenian menghinggapi dompetku.
  • Sialan. Oke kalau begitu… Terima kasih.

(Yogyakarta, September—Oktober 2024)

Penulis: Polanco S. Achri lahir di Yogyakarta, Juli 1998. Ia adalah penulis puisi, prosa-fiksi, dan esai-esai tentang sastra dan seni. Ia tergabung di Komunitas Utusan Negeri Dongeng sebagai penulis naskah dan penata artistik. Selain menulis, untuk keperluan pertunjukan dan pameran, ia juga mengelola Pendjadjaboekoe dan Majalah Astro. Kini, ia tengah menempuh studi sastra lanjut di kampus utara Yogya. Ia dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.

Check Also

Merpati Balap: Kesetiaan, Persaingan, dan Romantisme Jaket Kupluk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *