Menulis adalah Berak yang Lain

sumber gambar: httpsid.pinterest.compin156148312075172942

Adalah yang pertama, kamu butuh menulis. Menulis itu bagai senam kebugaran. Kamu tidak bisa membayangkan diri kamu tanpa aktivitas menulis. Tentu bukan hanya sebagai tindak laku untuk melepas beban pikiran, namun lebih semacam komponen gerak harian yang mesti dipentaskan oleh tubuhmu. Berapapun sedikitnya kata yang kamu toreh, setidaknya jemari kamu bergelinjang. Ibarat berak, menulis juga berak yang lain. Hanya butuh medium dan ide, kamu bisa menulis sesuka hati terlebih itu di blog atau jurnal pribadi. Siapa yang larang?”

Betul, berak juga butuh keheningan, sekurang-kurangnya bagi kamu. Maka perlu juga memilih tempat berak yang memadai dan di luar radius endusan orang lain. Dalam artian, menulis juga ada konsekuensi. Hal itu jadi soal ketika kamu berak di alam liar. Mengejan di sungai hingga tinjamu mengalir ke hilir. Tak ada yang ngeh bahwa itu kotoranmu, terkecuali kamu tertangkap basah sewaktu menungging di tepi sungai. Itu beda soal. Duduk-keluar- lupakan. Tinjamu tidak membawa identitas tentang dirimu.

“Siapa yang akan mempertanyakan jejak berak!?”

Setelah menyelesaikan hajat kamu bisa pulang dengan roman gembira.

Bagaimana dengan menulis?”

Di sini ada perbedaan dan persamaan terkait menulis. Tulisanmu akan menemukan pembacanya, pun itu hanya terjadi jika kamu juga melakukannya di tempat yang berpotensi dilacak oleh orang lain. Sementara jika kamu menulis di jurnal pribadi atau buku harian maka tulisanmu hanya dinukil kamu seorang. Kamu bukan Gie atau Anne Frank. Masyarakat tidak tahu-menahu kamu barusan makan apa atau pernah membaca buku apa saja dari guratan-guratan pribadi itu. Yang perlu kamu ingat, ketika kamu menyedot gagasan dengan membaca tulisan orang lain maka orang lain juga boleh memintamu menelurkan kembali gagasan itu dengan cara pandang atau gaya tuturmu sendiri.

Bukankah kebudayaan akan terus berlanjut dengan jalan bertukar gagasan!?”

Kalau ditarik secara gegabah, berak di kakus barangkali jauh lebih mulia daripada menulis secara sembunyi, lepas tinjamu masuk ke lubang jamban maka ia jadi nutrisi bagi tanah, gulma, dan cacing-cacing. Beruntung kalau sistem tangki limbahnya terintegrasi dengan kolam lele, kamu mendapat bonus lain. Namun, keuntungan yang terakhir kita sepakat saja untuk tidak mengambilnya.

Meskipun realitanya, menulis tak bebas-bebas amat. Menulis di alam liar jauh lebih sulit daripada aktivitas berak di tengah rimba. Ada ritme dan selera pasar yang harus dilayani. Namun tak payah gusar hari ini sebab tak lagi ada Idrus atau snob yang lebih baik darinya; “Kau tidak menulis Pram, tapi kau berak!” Artinya, bolehlah kita santai sejenak dan mulai mengaktivasi gawai atau perangkat cerdas yang kamu punya untuk menulis. Terkait pasar, janganlah risau, kamu bisa hantam dengan potongan lirik Biru dari Efek Rumah Kaca;

“Menembus Rimba dan Belantara Sendiri (Pasar Bisa Diciptakan), Membangun Kota dan Peradaban Sendiri (Pasar Bisa Diciptakan), Bermusim Pada Belantara Sendiri (Pasar Bisa Diciptakan).”

Ketakutan akan kritik dan bayangan-bayangan itu harusnya sudah mati di era kenakalan informatika. Kamu bisa mulai –detik ini– menulis di alam liar bersama jutaan pemula lainnya. Komunitas lebih mudah diakses, serta guru-guru menulis dan maestro bertebaran. Kamu bisa belajar bahkan beradu siasat dengan mereka. Inklusivitas menulis antar sesama makin berbinar kesempatan. Arena bermunculan semarak laman judi online (Judol). Tinggal tekan hyperlink untuk uji nyali dan jajal kemampuan. Dengan fasilitas itu semua, apa iya kamu akan menulis buruk terus? Sama halnya dengan berak, apa iya kamu akan mencret terus? Baik menulis ataupun berak, pasti akan tiba waktunya tulisan atau taimu itu jadi berbobot.

“Selamanya, tulisanmu hanya akan menjadi rahasia kecilmu yang kamu baca seorang. Di luar sana, siapa duga, ada banyak orang yang juga kepengen mengudapnya.”

Soal menulis secara sembunyi, ini agak senjang namun harusnya bukan jadi masalah. Bisa saja kamu sediakan ruang untuk sendiri di buku saku yang amat kamu cinta itu. Anggaplah itu kamar privat untuk kelegaan batin. Isinya jelas hal-hal yang kamu sayangkan untuk dilihat oleh orang lain. Mungkin itu sumpah serapah atau kutukan-kutukanmu terhadap dunia. Di sisi lain, idealismemu berkata kalau media hari ini hanya disesaki sampah dan ratapan, kita sudah terlalu banyak berbagi rasa sakit dalam cangkang kata-kata. Kamu menanyakan kelayakan baca suatu tulisan, yang selalu memukul kepalamu dan sebagai penghambat utama untuk mulai menulis.

“Apakah ini sudah layak konsumsi?”

Kamu tidak akan pernah dapat mengukurnya tanpa kesediaan pembaca. Ada dua skenario alternatif: Pertama, setelah kematianmu jurnal harian itu akan ditemukan oleh orang lain;  Kedua, kamu akan membakarnya sebelum maut menjemput. Kamu bermaksud begini, jangan hanya menulis untuk kamu sendiri, sisakan keberanian untuk berkolektif dan tukar-respon antar penulis atau pembaca lain. Keberanian tidaklah semenakutkan yang kamu pikirkan.

“Lantas, apa yang sebaiknya kamu tulis agar itu bukan berak? Toh, akhirnya pula, tulisan yang bagus adalah tulisan yang diedit.”

Penulis: Ruly Andriansah, kelahiran Nusa Tenggara Barat dan berkuliah di Yogyakarta menempuh studi sosial humaniora. Menekuni penulisan kreatif, khususnya esai dan cerpen. Tertarik dengan pengkajian mitos dan komunitas tempatan. Penulis bisa jadi liar kalau sudah memasuki jam rawan. Instagram: @Rulyandsyah

Penyelia Aksara: Windy Shelia Azhar

Check Also

Hal-Hal yang Nirmakna dan Kompleks Superioritas – Bacotan Windy Shelia Azhar

Coba bayangkan jika Hitler dan Netanyahu paham Bhinneka Tunggal Ika atau nilai-nilai heterogen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *