
Ketika berhadapan dengan puisi, baik lembaran atau dalam format kumpulan yang telah diikat, agaknya saya masih betah mengamini sebagian besar yang dinyatakan Arief Budiman dalam buku berjudul Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Buku ini awalnya adalah skripsi sarjananya ketika menempuh studi psikologi di UI. Memang ada beberapa soal yang tak genap dapat saya setujui, namun hampir sebagian besar bagian bisa dan masih betah saya amini hingga kini seperti yang saya sampaikan di awal. Arief Budiman hendak menyatakan bahwa kedekatan dan keakraban antara pembaca dan teks yang dibaca menjadi titik utama dalam buku tersebut, sehingga bukan hanya berpijak kedekatan antara pembaca dengan si penyair —apalagi yang hanya berpijak perkawanan– meski juga bisa dimasukan dalam pertimbangan.
Dari sana dapat dikatakan, semakin karib seseorang dengan karya yang dihadapi, maka makin mudah-lah dalam memahami atau menghayati. Akan tetapi, mestilah dinyatakan kembali soalan kedekatan tadi bukanlah hanya berkisar pada apa-apa jadi tema atau premis, tetapi juga tentang bagaimana sesuatu tersebut dihadir-tampilkan kepada publiknya. Dengan pandangan atau cara pendekatan demikian, saya tak hendak menilai sesuatu karya dalam soalan baik-buruk atau indah-jelek, tetapi lebih kepada upaya pembaca memahami dan menikmati dan cara si penyair dan juga teks mengupayakan pemahaman dan penikmatan tersebut.
Sebagai semacam mula lain, sebagai pendahuluan lain, saya teringat beberapa hari setelah saya menerima buku puisi Jemi Batin Tikal yang berjudul Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara tentang Cinta –yang selanjutnya ditulis YTMBKMBtC– Si penyair mengirim pesan melalui aplikasi kepada saya:
“Bung, berilah komentar, kritik atau catatan apresiasi.”
Saya pun membalasnya,
“Saya tak genap bisa berjanji. Sebab kerja formal saya, –sialnya terasa banyak sekali—dan seperti menolak rampung.”
Akan tetapi, bagaimanapun juga, sebagai kawan saya mesti tetap mengupayakan. Meski perkawanan kami tidak berbasis transaksional, pemuda yang wajahnya serupa Rangga di film AADC itu cukup banyak membantu saya, baik dalam kerja yang serius maupun dalam kerja-kerja konyol yang mendekati semacam ketololan. Ah, betapa saya membeli buku itu dengan uang hasil majalah laku yang saya kelola dengan pemuda itu pula –dengan Jemi Batin Tikal sebagai editornya– dan betapa yang membeli majalah itu kawannya pula. Ini sedikit menggelikan, meski lebih dekat kepada sejenis kegetiran.

Semacam catatan ini sebenarnya hendak saya beri judul “Dari yang Fisik ke yang Puitik”. Akan tetapi, saya mengurungkannya; sebab beberapa hal. Meski demikian, gagasan awalnya masih sama, dari fisik ke soalan puitik. Di masa promosi –bahkan kembali muncul pada catatan di bagian awal buku– tertulis si penyair dan penerbit serta ilustrator hendak menghadirkan buku yang tak hanya dinikmati oleh mata; ataupun telinga ketika puisi tersebut dilisankan dengan suara. Akan tetapi, betapa penyair, penerbit, dan ilustrator hendak menghadirkan sebuah buku puisi yang juga bisa dinikmati dengan indra peraba dan penghidu, dengan sentuhan dan aroma.
Maka saya jelas bercuriga, andaikan ada suatu metode di mana buku bisa dirasa-dijilat, agaknya mereka akan mengupayakan itu pula; dan agaknya iya. Upaya tersebut memanjakan mata, telinga, tangan, dan hidung. Selain dihadirkan melalui ilustrasi, hal itu juga ditunjang dengan pemilihan kertas, bentuk buku, dan tipografi isi—yang mana kertasnya telah dibebani dengan kesadaran ekologis sebab memakai kertas pilihan, ujar catatan pengantar buku. Oleh karenanya, buku YTMBKMBtC bukan hanya diniatkan sebagai kumpulan teks umum; tapi juga teks dalam artian luas.
Pemilihan kertas, bentuk fisik buku, tipografi, dan lain sebagainya jelaslah dimaksudkan guna membentuk pemahaman dan pemaknaan tertentu. Akan tetapi, soalannya, apa hal demikian berhasil? Saya tak genap tahu. Meski demikian, sebab catatan ini amat pribadi, dan tak genap terlampau dibebani teori, saya merasa bahwa efek kertas bertekstur tak terasa, aroma kertas juga tiada beda, dan bentuk sampul buku yang lumayan apik-eksperimental malah menyusahkan saya untuk memegang dengan satu tangan saat membaca santai.
Akan tetapi, sebab memposisikan sebagai pembaca, saya berhak bercuriga pula, bisa jadi inilah pertunjukannya, performansnya: ada puitika dan dramaturgi yang digeser di dalamnya! Saya bercuriga pada diri sendiri: Jangan-jangan efek kertas tak terasa, sebab saya lebih sering memegang gawai, sehingga kepekaan tangan saya berkurang. Saya juga bercuriga pada diri sendiri: Jangan-jangan efek polusi udara membuat hidung saya tak peka pada aroma buku yang kertasnya bercita penyelamatan ekologi.

Lalu saya pun bercuriga pada diri sendiri: Jangan-jangan efek tak nyaman dan tanggung dari sampul tersebut adalah tanda bahwa tangan saya lebih biasa memegang fisik gawai berdiameter ganjil juga sebenarnya. Karenanya, serangkaian tadi mungkin memanglah disengaja, memang diwacanakan kepada pembaca sehingga bisa mendapati semacam pernyataan di kepala: ‘Meski ditujukan sebagai semacam vakansi, semacam liburan yang artsy, tetapi nyatanya healing di dunia semacam ini begitu janggal, begitu terasa di batas nyaman dan tak nyaman.’ Dengan kata lain, buku YTMBKMBtC hendak menilik kembali soalan liburan dan kerja secara fisik serta juga muatan puitik. Persoalan-persoalan yang sialnya dibentuk oleh kapitalisme dunia.
Adapun berkait ini, –seperti yang disampaikan di muka– saya merasa memiliki kedekatan dengan teks-teks bermuatan kesejarahan (dan juga legenda-mitos kebudayaan)—baik lokal maupun nasional, atau bahkan juga ada ruang global. Saya merasa bisa menikmati puisi-puisi tersebut; dan meski tak paham, saya tetap bisa menghayati; bahkan memancing untuk menelusuri ikon, simbol, dan tanda-tanda.
Adapun, puisi-puisi yang mana kesejarahan atau kemitosannya tak dapat saya temui pijakannya, sialnya, tak dapat genap saya nikmati. Akan tetapi, ketika menilik kembali buku secara keseluruhan, sebagai organisme yang saling berelasi-berekasi antarpuisi, saya mendapati struktur demikian memiliki efek tersendiri. Tema ataupun pernyataan mula dapat dirasa: Perjalanan dari muasal kepada tanah lain yang sialnya juga janggal. Sejarah atau mitos-kepercayaan, menjadi titik mula, pijakan, dan jalan, dan teman dalam perjalanan; tetapi sialnya juga menjadi semacam beban, belenggu, dan juga luka.
Jemi pun menyatakan dalam puisinya: kota direka dari tubuh sejarah yang luka. Cerita-cerita seperti kisah Tan Malaka, Siti Fatimah dan Tan Bun An, serta beberapa catatan atas kampung halaman si penyair jadi sejenis titik berpijak—yang ternyata juga menemani perjalanan aku-lirik dalam buku. Dan seperti pejalan kebanyakan, aku-lirik yang direka Jemi mengharapkan sejenis bahagia pula: meskipun menyadari ada “kutukan bagi yang hidup”. Serta andaikan boleh untuk menghubungkan buku YTMBKMBtC dengan teks lain, dengan stensilan atau zine puisi Jemi yang terbit swadaya dan tanpa penerbit resmi, dapatlah dinyatakan, ke mana pun aku-lirik pergi akan tetap menemukan kesedihan-kesedihan. Akan tetapi, apakah aku-lirik dan tokoh-tokoh lirik lainnya menyerah? Agaknya, tidak; dan mungkin memang tidak. []
(Yogyakarta, 2023/2025)
Penulis Resensi: Polanco S. Achri lahir di Yogyakarta, Juli 1998. Ia adalah penulis puisi, prosa-fiksi, dan esai-esai tentang sastra dan seni. Ia tergabung di Komunitas Utusan Negeri Dongeng sebagai penulis naskah dan penata artistik. Selain menulis, untuk keperluan pertunjukan dan pameran, ia juga mengelola Pendjadjaboekoe dan Majalah Astro. Kini, ia tengah menempuh studi sastra lanjut di kampus utara Yogya. Ia dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.
Foto: Rita