Melihat Cipta Amarta dari Liat Menggeliat sehabis Gerimis yang Merambat

Dok. Penulis

1.

Akhir 2023, setelah vakum cukup lama sebab pandemi menerpa, Liat Menggeliat mengadakan kembali pameran keramik, di Galeri Lorong, yang bertajuk “Translation”; dan, saat itu, kau datang ketika pembukaan. Acara malam itu dapat dikata ramai dan riuh; terlebih setelah sekian waktu komunitas itu tak memunculkan sesuatu. Di kepala dan ingatan, juga beberapa catatan yang agak iseng kau kerjakan, kau dapati, bahwa tahun 2023 jadi sejenis tahun yang unik bagi seni keramik di Yogyakarta. Tahun itu, pameran keramik bisa dikata amat berlimpah—dengan tawaran konsep, teknik, dan pengalaman yang bermacam. Dari catatan isengmu, dan catatan linimasa JCF yang kau lihat di tengah tahun, kau dapati, tahun 2023 memiliki pameran keramik yang hampir tiga kali lipat—jika dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.

Malam itu, kau merasa, apa-apa yang dihadirkan begitu padat dan sesak; dan memberi sejenis pernyataan di kepalamu: pameran yang kental bobot perayaan setelah sekian lama diam. Amat mungkin, beberapa orang akan menanggapi pernyataanmu dengan berkata, hal yang demikian jelas terasa sebab kau datang di kala pembukaan, di kala orang-orang dan tamu undangan memang ramai berdatangan. Namun, malam itu, sebab hendak iseng memastikan, kau menunggu agak lenggang sambil berbincang dengan beberapa kawan yang belum pulang. Setelah agak lenggang, kau pun naik dan masuk kembali: dan melihat karya-karya yang dihadirkan. Setelah memandang semua, kau pun cukup bisa mengatakan: memang ada suatu yang padat dan sesak, meski belum bisa memastikan, itu sebab ruang, sebab penataan, atau malah sebab jumlah dan ukuran karya-karya yang dipamerkan, atau bahkan sebab relasi antarkomponen… Akan tetapi, sebagai “permulaan kembali”, kau tetap bisa menikmati; dan memberimu suatu cita: supaya di perhelatan selanjutnya mengupaya untuk datang dan tiba.

Malam itu, setelah gerimis reda, kau pulang; dan mesti mendapati sejenis kekonyolan: Astrea hitammu dihinggapi kemogokan—entah sebab apa. Kawanmu yang menemani, meski dengan motor sendiri, membersamai; dan berubah posisi dari seorang kawan searah jalan pulang yang menemani menjadi seorang penonton suatu performans yang janggal; dan melihat kejanggalan itu sirna dengan sendirinya setelah serentetan simbol melintas. Akan tetapi, hal-hal demikian membuatmu ingat sekali pada pameran Liat Menggeliat di tahun 2023.

2.

Awal 2025, setelah makan dan merapikan beberapa catatan, kau lekas berangkat ke pembukaan pameran Liat Menggeliat, yang diadakan di Equalitera Artspace, dengan tajuk “Cipta Amarta” yang bagimu kian mempesona. Di jalan, kau dapati gerimis yang lembut; dan secuil hujan agak deras yang membuatmu sejenak berteduh sebelum mendapati gerimis lembut lagi. Akhirnya, kau sampai setelah acara genap dibuka pelaksana. Saat hendak masuk, Swarna Prana hendak naik tampil; dan kau memutuskan untuk menyimak penampilan mereka lebih dulu—sembari menunggu ruang pamer tak terlampau ramai. Sambil menikmati kopi panas yang disediakan, dan gerimis yang masih tersisa, kau menikmati apa-apa yang ada. Sesudah itu, sesudah kopimu habis pula, kau masuk ke dalam ruang pamer. Di sana, kau baca teks kuratorial dan beberapa pengantar; dan mulai melihat karya-karya yang hadir dan dihadirkan.

Apabila diminta membandingkan dengan pameran kurun sebelumnya, meski lebih dari setahun secara kurun waktu, kau mendapati ada sejenis perasaan yang lebih luas dan lega; dan tentulah saja, kau belum bisa genap menemukan alasan apa yang melatarbelakangi perasaan itu: selain sejenis praduga bahwa penataan, pertimbangan ruang, dan karya-karya ditimbang dengan lebih dalam. Namun, jika boleh meminta, andai kata diperluaskan lagi, kau bisa merasa sesuatu yang pas. Dan kau pun berjalan berkeliling, dan mengamati seperti biasanya: dengan maju-mundur, dekat-jauh, sambil memotret sebagai arsip visual-personal. Soalan mula yang begitu terasa bagimu adalah teknik. Sepasang matamu, yang janggal disebut awam tapi belum tepat disebut awas, mendapati teknik-teknik yang sederhana telah diolah sedemikian rupa jadi hal yang tak lagi sederhana: dibawa pada tataran lain berbobot lebih. Selain soalan demikian, jelas, soalan muatan, baik itu ide, konsep, atau narasi juga kian terasa—dan melebur dengan teknik-teknik yang dihadirkan tadi.

“Cipta Amarta” sebagai bingkai dan tema yang ditawarkan, bagimu, berhasil memberi atmosfer yang nyaman dihirup; memberi magi yang bisa merasuk. Soalan abadi dan juga fana, yang bisa dibilang kental dengan perkara seni keramik, mendapat garis bawah dan penebalan yang tepat dan sesuai. Pertanyaan dan soalan abadi tidak melulu dihadirkan dan dilekatkan pada perihal-perihal yang berat; bahkan, ketika mencermati dengan teliti, soalan yang dihadirkan oleh karya-karya kebanyakan adalah soalan yang liris dan biografis—meski soalan yang besar pun tetaplah ada: baik memang besar sejak mula atau yang liris-biografis tadi menjelma sesuatu yang besar. Penghadiran objek-objek lain yang memiliki rentang masa, seperti bunga hidup dan nyala lilin, telah pula memberi pemaknaan akan abadi-fana. Pernik-pernik seperti pasir dan benda-benda sehari-hari pun menunjukkan hal demikian: kian menunjang soal keramik yang bisa dan amat mungkin retak dan pecah. Keramik yang bermuatan ganda, kekal hingga berabad-abad tetapi juga sangat mudah pecah, dapat dikatakan berhasil dimunculkan: bahkan dialami pengunjung.

Dan setelah rampung berkeliling, kau kembali duduk; menikmati kopi lagi sehabis mengambil segelas di dekat meja registrasi. Ada hujan yang turun dan cukup deras; dan kau pun membuka e-katalog yang telah kau pindai di dalam galeri. Amatlah terkejut ketika kau dapati ada sejenis pembagian-penggolongan dari turunan tema; dan kau terpikat pada kerja-kerja yang demikian. Lantas, kau membaca perlahan, menikmati minuman, hujan, dan sajian musik yang memberi ritme tebal. Setelah habis minuman dan bacaan di e-katalog, kau pamit pada beberapa kawan yang masih tinggal; dan hendak bergeser, mengambil buku dan memberikan barang, ke rumah seorang gadis manis yang suka iseng sendiri.

3.

Pagi, setelah sarapan, kau pun membuat catatan tentang keramik lagi tentang peristiwa keramik yang ada di Yogyakarta—meski tak genap rapi dan terperinci, meski lebih kental bobot lirisnya ketika dirasai. Dan, setelah merampungkan catatan itu, di lembar-lembar kertas buram dengan bolpoin biru, yang baru kau pindah ke laptop setelah genap niat, kau menimbang-nimbang… Sebagai komunitas, Liat Menggeliat sudah lama berdiri; dan amat janggal untuk menyebutnya hanya sebuah komunitas keramik. Amat kau bayangkan Liat Menggeliat bisa memunculkan suatu proyek jangka panjang. Jugalah kau pahami, seperti halnya kelompok teater atau sebuah orkestra, pameran atau pertunjukan adalah suatu hal yang penting; tapi amat janggal bila hanya meletakkan eksistensi kelompok pada pameran atau pertunjukan. Andaikan boleh memberi semacam masukan, pikirmu agak mengawang, sebagai seorang yang berupaya datang ketika ada rangkaian kegiatan, kau membayangkan ada suatu proyek jangka panjang, tema yang bisa berkesinambungan, dan kejelasan lintasan—terlebih ketika menilik kembali kenyataan mula: komunitas itu berpijak awal di sebuah kampus seni di Yogya. Dan kau lekas menggelengkan kepala: berasa seperti orang yang terlampau fasih memberi masukan, padahal tak genap paham.

Setelah agak sadar, kau akhirnya lebih tergoda untuk mengajukan tanya kepada kawan-kawan yang terlibat di dalamnya: Di antara pameran keramik di Yogyakarta, yang sedang dirintis, di antara kelompok-kelompok keramik di Yogyakarta, yang tengah mencari kekhasan, apa yang hendak ditawarkan Liat Menggeliat—selain ada dan memperbanyaknya? Ini masih awal tahun, ucapmu sambil merapikan kertas, agaknya layak menanti rangkaian kejadian ke depan . . . []

(Yogyakarta, Januari 2025)

Biodata Penulis

Polanco S. Achri lahir di Yogyakarta, Juli 1998. Ia adalah penulis puisi, prosa-fiksi, dan esai-esai tentang sastra dan seni. Ia tergabung di Komunitas Utusan Negeri Dongeng sebagai penulis naskah dan penata artistik. Selain menulis, untuk keperluan pertunjukan dan pameran, ia juga mengelola Pendjadjaboekoe dan Majalah Astro. Kini, ia tengah menempuh studi sastra lanjut di kampus utara Yogya. Ia dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.

 

Check Also

Mengimajinasikan Kehidupan dan Kematian Pengarang dari Era Majapahit Hingga Sekarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *