1.
Setelah pembukaan sederhana Festival Minikita 2025 oleh B.M. Anggana, Robby pun lekas membacakan pengantar pertunjukan Fransiska Romana Pude Jari, pertunjukan yang berjudul “Dalam Lidah Abu-Abu”. Sekalian penonton pun diminta melepas alas kaki, dan menatanya di lantai bawah dengan rapi, sebelum naik dan masuk ke ruang pertunjukan. Lantas, sekalian penonton pun masuk ke ruang dengan perlahan, dengan kaki yang telanjang. Di dalam, kau dapati benda-benda bergelantungan, benda-benda yang terikat tali dari atas. Sembari duduk memposisikan badan, kau melihat apa saja di sana; dan sepasang matamu mendapati ember, kain tenun, kartu tanda penduduk yang diperbesar dan dilaminating, sebuah buku puisi Wiji Thukul, batu(-batuan) berukuran besar, dan layar yang memutar kolase video. Di bawah layar itu, ada ember besar, wadah bekas cat berukuran jumbo; dan kau dapati kotak-kotak hitam tersebar di bawah; juga meja-kursi dan cermin di sisi yang lain. Dan, di sisi yang lain itu, ada Fransiska yang tengah berdiri: menyiapkan diri.
Sepasang matamu kau awaskan lagi; dan tak mendapati NIK di KTP yang dibesarkan itu; dan di sana malah tertulis dengan angka nol semua. Dan tentu, kau bisa memahami ruang aman; meski informasi lain masih tertera di sana. Akan tetapi, angka nol semua di KTP itu sudahlah menghadiahimu puitika dan dramaturgi tersendiri. Dan, setelah siap, Fransiska menyapa—mencairkan suasana yang magis sebab dibayangi praduga dari permintaan melepas alas kaki di mula. Dan ternyata, ia menghendaki pelepasan alas kaki, agar bisa bersama-sama menari. Dengan mantap Fransiska mengajak penonton-penontonnya, bila berkenan, untuk ikut menari bersama. Lantas, setelah beberapa malu kucing, majulah hampir semua ke panggung—turut serta pada ajakan Fransiska. Ia, ditemani sutradaranya, memberi contoh mula; dan setelahnya, musik mengalun. Sekalian bergandengan tangan melingkar; dan menari dengan riang, menari dengan tubuh yang seperti dilepaskan dari bayang-bayang membeban. Kemudian, setelah dua putaran, tarian dicukupkan; sekalian penonton kembali ke tempat duduk masing-masing… Dan menyiapkan tubuh untuk kembali menonton-memperhati, menyaksi, bahkan mengalami.
Senyap sejenak, dan Fransiska pun bangkit-bergerak. Ia, yang memakai kain tenun sebagai bawahan dan membawa selembar kain lagi, mendekat ke ember itu, ember yang ada di bawah layar putih itu. Ia melantun dan berbicara—dengan bahasa daerahnya, dengan bahasa ibunya. Ah, apa memang iya… Ia menggulung kain satunya; dan menjadikan tumpuan, agar ember berisi itu tak langsung mengenai kepala, mengenai rambut panjang kemilaunya. Dan, sambil berkata, yang bagimu bergerak antara omongan dan lantunan, ia membawa ember itu; dan menuangkan isinya di alas persegi hitam yang telah disiapkan. Amat terpukau kau kala tahu yang dituang itu adalah pasir, pasir berwarna abu-abu; dan bunyi dari pasir itu terasa begitu puitik getir. Dan, ia gulung lagi kain itu sebagai pijakan, sebagai tumpuan; membawa ember berisi pasir itu ke persegi hitam lain. Lalu ia kembali menuang; memberi kesan atmosfer yang sama: kegetiran puitik, kepuitikan getir. Di sela itu, dengan tetap berucap-melantun bahasa yang terasa karib dengan biografi masa kanaknya, Fransiska bermain di antara pasir itu—pun di antara dan di bawah benda-benda bergantungan. Di saat adegan itu, kau seperti mengerti bahasa yang dibawa oleh Fransiska; seperti mengerti apa yang diucapkan oleh mulutnya. Dan bagaimana ia menggenggam-meremas pasir abu-abu itu, pasir abu-abu yang memberi beban kedekatan pada reruntuhan dan silam, terasa menghadiahimu kekaguman dan kepedihan di saat bersamaan.
Kemudian, ia menuju tepi lagi; menuju meja dan kursi lipat yang telah terbuka. Di sana, kain yang tadi, kain yang jadi pijakan dan tumpukan, jadi alas pembatas kepala, dibentang seperti taplak bagi meja; tapi, setelahnya, Fransiska lekas mencipta adegan menenun: ia gerakkan tangan, dan kain itu, juga dengan tetap melantun. Adegan pun, di sepasang matamu, bergerak pada melantun, menenun, dan mengalun. Adegan itu makin lama makin membuatmu berpikir dan merasa; membuatmu bertanya-tanya: Apa ia hanya menenun kain, atau malah tengah juga menenun kenangan dan harapan-ingin? Setelahnya, Fransiska menggeser kursi ke sisi yang lebih dekat penonton. Dengan terengah, selepas serentetan kerja menenun, pun adegan sebelum itu, ia menyapa para penonton kembali—dengan bahasa Indonesia: bertanya dari mana para penontonnya. Sejenis jarak ganjil seperti terpangkas; jarak bahasa. Ah, apa bahasa memang jarak? Sepasang mata dan telingamu, yang mendapati Fransiska terbata dan terengah kala berbahasa Indonesia, membuat pernyataan ganjil di kepala: Perpindahan bahasa ternyata bisa dan mampu semelelahkan itu, ya, ternyata…
Lalu, adegan bergulir, adegan pun kembali terasa magis. Fransiska memainkan meja itu; dan meja itu terasa hidup: terasa tak lagi jadi benda—tapi meminta dipahami jadi sesuatu yang metaforis, sesuatu yang simbolis. Suara bergema tentang sekolah dan jauh, tentang sekolah dan jauh. Dan, sebab keberulangan itu, kepalamu dihantui tanya: Apa ilmu selalu ada di jauh, apa dekat selalu berarti tak berilmu, atau jauh sebenarnya dicipta sekolah dan bukan ilmu? Sepasang matamu terus menyaksi Fransiska menari dengan meja dengan meja. Dan di tengah panggung, meja itu menjelma suatu benteng, dinding, pun rumah; dan Fransiska pun berada di dalamnya. Dan, terdengarlah suara telepon, percakapan antara anak dan ibu, percakapan antara Fransiska dan ibunya, percakapan yang unik sekaligus pelik. Ibu Fransiska bercakap dengan memakai bahasa Flores, dan dibalas Fansiska dengan langgam Jawa pun Indonesia; dan makin pelik, pun unik, ketika lamat-lamat kau mampu memahami isi percakapan.
Dan, setelah telepon itu, Fransiska, yang berdiam di dalam meja, bangkit mencoba meraih kain yang terikat pada tali, pada instalasi. Ia keluar dari benteng meja; mengayunkan batu, dan menangkap ayunan batu itu kembali. Dan hampir tiap yang tergantung ia respon dengan sedemikian rupa. Lalu, setelah serangkaian aksi meloncat dan upaya menggapai, terdengar lagi suara perihal lahir kembali, perihal kelahiran kembali. Suara itu bergema, bergema. Dan Fransiska mengambil cermin di tepi; menggendong-bawanya seperti anak; memutar hampir seisi panggung. Dan pantulan dari cermin itu, selain bagaimana Fransiska membawa, amat memukau sepasang matamu. Kemilau, kemilau! Di kursi yang masih di tepi, yang tidak ikut menari di adegan sebelum tadi, Fransiska letakkan cermin itu; menyandarkannya hingga bisa dipakai genap bercermin. Di sana, dikeluarkannya dialog ganjil dari film “Merah Putih: One for All” dengan langgam dan intonasi pembawaan bermacam; dan sekalian penonton tertawa. Lalu, sambil memindah-mindah senderan cermin, Fransiska keluarkan serentetan stereotipe perihal orang timur, baik dari tivi atau media sosial, iklan dan video yang viral; dan mencipta ajakan getir guna menilik lagi sesuatu. Kenyataan bahwa Fransiska berbicara, memparodikan pun men-satire-kan, sambil bercermin, sambil memandang-beradegan dengan dirinya sendiri, seperti memunculkan atmosfer tanya tentang siapa sebenarnya diri: Siapa sebenarnya aku ini?
Ia, setelah serentetan adegan itu, mengeluarkan gunting: gunting yang ia ambil bebarengan kala mengambil cermin. Kemudian, ia potong benda-benda di tali itu! Ia bawa dengan susah payah; dibawa-dijepitnya pada tubuh asal bisa terangkut semua. Setelahnya, dibawa semua itu tadi ke tepi, ke bawah luar layar putih yang tadi menampilkan serentetan video dan kolase kata. Senyap… Di tepi, ia lepas kain tenun yang jadi bawahan tadi: berganti rok kain dengan motif bebunga, rok berwarna merah muda, dan memakai pakaian putih bermotif lembut dan menutup kaos hitam yang dipakai sejak adegan mula. Ia ikatkan kain jadi sabuk. Ah, apa ia memang hanya berganti pakaian—dan bukan lainnya? Ia masuk lagi ke panggung. Senyap bergema, bergema… Ia melepaskan sebuah batu; dan melepaskan buku puisi Wiji Thukul. Ia berdiri di tengah-tengah dekat meja benteng itu, dekat kotak persegi yang berserak pasir-pasir berwarna abu. Ia letakkan batu di atas kepalanya; menyunggi sebuah batu. Ia buka buku puisi Wiji Thukul dan menutup wajahnya, menjelmakan buku itu serupa topeng. Ia berdiri serupa patung, serupa sebuah monumen yang meminta dipandang untuk terus direnung! Kemudian tepuk tangan, riuh tepuk tangan, dan pertunjukan pun selesai…
2.
Sesampainya di kontrakan, setelah merampungkan beberapa hal dan merehatkan badan, kau merebus air dan membuat kopi pemberian seorang kawan. Sambil membuat kopi, kau ingat, tahun lalu, ketika Festival Minikita tahun pertama, kau lintasi area sekolah menengah akhir; dan di Festival Minikita tahun kedua ini, kau lintasi area sekolah menengah pertama. Ah, mendadak, meski tak tiba-tiba, kau kembali ke sejenis silam; dan tanya dari pertunjukan sore tadi kau saksi jadi kian tebal: Dari mana… Setelah kopimu jadi, kau menyiapkan kertas; dan membuka bolpoin baru, sebab yang lama sudahlah habis. Dan kau pun menulis-ingat kembali serangkaian adegan—sambil tetap terkagum pada apa yang telah hadir-terhadirkan. Bagimu, menyaksi pertunjukan Fransiska adalah menyaksi pertunjukan yang menyoal bahasa dengan begitu halus tapi juga gamblang. Benda-benda yang dibawa, pun gerak-tubuh dan bebunyian, bagimu, telah dihadirkan bukan hanya menjadi sesuatu yang sekadar saja. Bagimu, Fransiska menyuguhkan benda-benda, dan hal yang telah menyerta, bukan hanya sebagai benda: tapi juga metafora-metonimi. Pertunjukan Fransiska tak hendak memaksa dekat, tapi begitu betah, dan berhasil, membujuk penontonnya untuk mendekat: untuk mendekatkan diri. Dan, di sana, sebab serangkaian jarak, percakapan pun menjadi sah: Pertunjukan itu tak hendak mengadu biografi, tetapi mempercakapkannya… Dan, sebab itu, kau merasa atmosfer pertunjukan itu begitu ingin saling memahami, saling untuk mengerti. Amat mungkin, tulismu pada catatan di lembar kelima, jarak itu tetap ada, tapi betapa telah tumbuh keinginan untuk memahami—
Setelah menyeruput kopi lagi, setelah mengingat-merasa kembali, kau sadari, adegan penutup itu amat bergema; meski tanpa iringan musik-suara. Betapa, kau hanya dapat menerka-nerka kenapa Fransiska memilih buku puisi Wiji Thukul—dan bukan buku puisi dari penyair lain. Ah, kau begitu suka menerka-nerka. Namun, ketika buku puisi itu hadir dalam komposisi itu, terlebih di adegan akhir, kau terbawa pada puisi “Nyanyian Akar Rumput”. Dan, kau merasa sah, dan memang sah, bila ada penonton lain yang terbawa pada puisi Wiji Thukul yang lain, seperti “Peringatan” atau puisi lain; pun bahkan puisi dari penyair lain. Andai kata ada yang bertanya tentang kenapa kau bisa terbawa ke “Nyanyian Akar Rumput”, selain soalan pribadi, kau akan berkata pada yang bertanya: Sebab Fransiska meletakkan batu di atas kepalanya—dan tampil sebagai suatu komposisi yang akan lengkap bila itu rumput atau tumbuhan, meski motif di rok merah muda itu dekat dengan flora. Dan, bagimu, pertunjukan Fransiska berhasil menggemakan tanya dari mana; dan dengan itu pula terpicu pada tanya tengah di mana. Dari dan di ini telah tebal dan jadi kesadaran; dan bila dikatai soal hidup, baik kias maupun tidak, telah menjelma tentang perjalanan, tentang perjalanan. Akan tetapi, bila boleh genap merasa, dan kau rasa bisa sangat pribadi, kau belum dapati tanya ketiga dari tritunggal tanya itu: tanya hendak ke mana. Namun, tulismu dengan bolpoin yang baru itu, adegan di akhir boleh dikata memberi indikasi ke tanya itu, tanya ketiga, tanya hendak ke mana. Amat mungkin, tanya ketiga itu, tanya hendak ke mana itu, lekas terhubung ke tanya pertama: Hendak kembali ke mula, ke awal, ke rumah meski terasa janggal… Dan, sebab itu, andai boleh meminta, atau berharap adanya, kau ingin menonton lanjutan dari pertunjukan itu: baik pertunjukan yang memang lanjutan atau pertunjukan yang melengkapi dan menjawab tanya itu lagi. Dari mana, tengah di mana, hendak ke mana; dari mana, tengah di mana, dan hendak ke mana… Bagimu, Fransiska telah berhasil memunculkan tanya yang mengiringi tritunggal tanya itu, tanya yang ada bersama ketiganya, tanya tentang siapa aku, tanya yang bukan hanya pencarian sendiri, tetapi tanya yang juga dibagi, ditebalkan kembali, pada siapa pun yang menonton pertunjukan itu kali. []
Yogyakarta, September 2025
Penulis: Polanco S. Achri adalah seorang penyair dan penulis prosa, juga pengulas teater dan seni rupa, yang lahir dan bermukim di Yogyakarta. Selain menulis, dan mengulas, ia mengelola penerbit zine sederhana, Pendjadjaboekoe, dan mengajar bahasa. Kadang, ia menguratori pameran, menyutradarai pertunjukan, & memproduseri film dokumenter kecil-kecilan. Ia bisa dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan Instagram: polanco_achri.