Tentu kita tidak asing dengan panorama langit malam yang bertabur bintang-gemintang. Tapi mungkin kita sangat jarang menafakurinya; merefleksikannya sebagai keagungan Sang Pencipta, merenungi hakikat hidup, memikirkan banyak hal yang terjadi di sekitar kita, dan sebagainya. Nah, inilah yang diamalkan oleh M. Faizi. Seakan terpanggil sebagai manusia terpilih, penyair asal Sumenep ini adalah satu di antara sedikit orang yang melakukan kontemplasi tersebut, kemudian menuliskannya menjadi puisi yang terhimpun dalam Surat Cinta untuk Malam (Edisi Mori, 2025).
Berdasarkan keterangan pada “Biodata Penulis” di halaman terakhir, sebelumnya buku ini sudah pernah terbit dengan judul Permaisuri Malamku (Diva Press, 2011). Bedanya, selain perubahan judul, terbitan ulang ini memuat sejumlah puisi tambahan berkolofon tahun penciptaan yang relatif baru, yakni dalam kurun waktu 2017-2024. Adapun titimangsa yang tertera pada puisi-puisi yang lama ialah 2007-2011.
Sebagaimana judulnya, Surat Cinta untuk Malam berisi puisi-puisi ode yang secara umum menunjukkan ketakjuban aku-lirik kepada lanskap alam di malam hari. Saking takjubnya, aku-lirik terkadang tidak puas menikmati belantika malam sebagai objek belaka sehingga merasa perlu mempersonifikasi “malam” menjadi aku-lirik itu sendiri (Namaku malam: / kepingan waktu yang membentuk subuh.), subjek yang bergerak dan bertindak layaknya makhluk hidup (Malam menjulurkan lidahnya / menjilatkan peristiwa cahaya pada gelap.), sementara sekumpulan manusia menjadi objeknya (Satpam yang berjaga-jaga, / pencuri yang mengendus, / penyair yang menyendiri / dan abid yang arik, / pada langit, malam mencatat sinar mata mereka).
Surat Cinta untuk Malam merentangkan benang relasi antara yang spasial dan temporal. Keindahan langit dan benda-benda astronomi di malam hari adalah acuan utama—kalau bukan segala-galanya. Itulah mengapa, malam bagi M. Faizi bukanlah tentang kegelapan semata atau lebih daripada itu kegelapan yang mengancam. Sebaliknya, malam ditahbiskan menjadi momentum penting, separuh waktu dari 24 jam yang paling ditunggu-tunggu. Bertolak dari itu, malah waktu sianglah yang dicemaskan kehadirannya, bahkan tidak diinginkan tiba, seandainya bisa.
Di malam Asyura itu, aku berlalu
tiba-tiba pagi
hari kesedihan pun dimulai.
(“Di Malam Asyura”, hlm. 52)
Betapa indahnya magrib.
Luka-luka di siang hari
mulai melurup dan tertutup.
(“Betapa Indahnya Magrib”, hlm. 69)
Pagi diasosiasikan sebagai awal-mula mekarnya kesedihan. Sedangkan magrib menjadi penanda atas menguncupnya luka-luka. Tampak jelaslah di sini, persona dalam Surat Cinta untuk Malam adalah representasi seseorang atau sebagian kecil orang yang punya “kelainan” psikologis dari mayoritas masyarakat. Sebab, lazimnya, sianglah yang dinantikan oleh manusia untuk melakukan berbagai macam aktivitas demi mencapai tujuannya, dan malam tidaklah lebih istimewa ketimbang “kodrat”-nya sebagai waktu yang ideal bagi mereka untuk beristirahat.
Namun, bisa jadi aktivitas itulah—juga bermacam hal buruk yang diakibatkan oleh kesibukan-kesibukan itulah—yang dimaksud M. Faizi sebagai “kesedihan” dan “luka-luka”, dan istirahat di waktu malam adalah obat penawarnya. Tentu saja istirahat yang tidak sekadar istirahat, melainkan sambil tafakur, berzikir, bersujud, berdoa, sebagaimana tercermin dalam beberapa puisi Surat Cinta untuk Malam. Dengan demikian, “siang” di antologi ini tidak sebatas antonim bagi “malam”, tetapi juga dikontraskan dari banyak sisi: gelap-terang, sunyi-ingar, tenang-sibuk, syahdu-sendu, sadar-lalai, jujur-dusta, dan seterusnya. Pada intinya, M. Faizi lebih memihak malam ketimbang siang: …tak ada malam yang gelap sama sekali / pasti ada sisa cahaya menyinari. / Tak ada siang dan terang sama sekali / pasti ada ceruk gelap tersembunyi.
Begitulah kiranya, mengutip Budi Darma, apa yang oleh masyarakat dianggap biasa atau baik, oleh pengarang dianggap sebaliknya. Pada waktu orang lain puas dengan keadaan, pengarang tidak puas dengan keadaan tersebut.[1] Masih bertautan dengan itu, M. Faizi menyinggung perkembangan teknologi yang alangkah memudahkan sekaligus memanjakan manusia dalam banyak hal, tetapi di balik kemudahan serta kenyamanan itu ada sesuatu yang mengganjal pikiran dan menjadi keresahan tersendiri bagi sang penyair. Berikut saya cantumkan utuh puisi “Hantu Digital”:
HANTU DIGITAL
Malam singkat
sejak listrik mengaliri kabel
di atas plafon, di dalam tembok
di balik saklar
menyalakan lampu di mana-mana.
Listrik mengaliri hidup, memberikan hidup
namun juga mematikan banyak nostalgia.
Sejak semua sudut jadi terang,
hantu pun jarang diceritakan.
Imajinasi tumpul.
Halusinasi dan teror justru muncul dari tombol,
saklar, dan benda-benda digital.
10/01/2011
Tak ubahnya kabel listrik yang menyalakan lampu di mana-mana, larik-larik di atas cukup benderang sehingga pembaca awam pun, saya kira, langsung memahaminya dalam sekali baca. Kita tahu, puisi ini membicarakan dampak positif dan negatif listrik. Ruang hidup memang penuh lampu, tapi nyalanya membuat malam terasa sumir; ketika aliran listrik memberi kehidupan baru, di saat yang bersamaan mematikan memori masa lalu; tatkala semua sudut jadi terang, tak terelakkan imajinasi jadi padam; dan ironisnya, halusinasi dan teror justru muncul dari sesuatu yang saat ini sangat kita nikmati, tapi barangkali tidak pernah kita sadari: tombol, saklar, dan benda-benda digital.
Pada puisi “Sejenak ke Dulukala”, lagi-lagi M. Faizi mengambil sikap yang sama sekali menyimpang dibanding orang kebanyakan. Puisi ini tampak ‘kembar-tapi-beda’ dengan “Hantu Digital”, yakni mengangkat wacana yang sama, tapi mengajak pembaca untuk merenungkan hal lain yang lebih primordial. Supaya bahan pembahasan jelas, saya kutip secara lengkap, sekalian agar menjadi gambaran untuk diskusi selanjutnya terkait aspek lain di luar isi puisi:
SEJENAK KE DULUKALA
Saat listrik padam jam 11 malam
aku duduk di depan pintu rumah
menatap alam sekitar sambil berandai
dunia tanpa listrik
tanpa minyak,
tanpa ada energi terbarukan.
Barangkali, seperti ini kehidupan dulu kala.
Orang tidak mencuri ketika gelap.
Orang tidak pamer di saat siang.
Sejenak, aku ingin kembali ke dulukala,
merasakan gelap dan kejujurannya.
Tapi, hanya sebentar listrik kembali menyala.
Voltase menyentak.
Aku terlempar,
jatuh berdebam di masa kini
yang terang oleh ilmu dan iman
tetapi digelapkan oleh takabur dan tipu daya.
27/5/2010
Orang lain boleh saja menggerutu saat listrik mati. Namun, M. Faizi yang mengejawantah aku-lirik di puisi ini justru menyulapnya menjadi malam spesial; membayangkan dunia masa silam tanpa satu pun alat penerang, ingin kembali ke masa itu untuk merasakan gelap dan kejujurannya. Berbeda pula dengan orang lain yang biasanya semringah begitu listrik kembali menyala, aku-lirik malah merasa terlempar, asing dengan suasana masa kini yang konon terang oleh ilmu dan iman, tetapi rupanya suram gara-gara takabur dan tipu daya.
Dalam puisi tersebut, konteks kewaktuan tidak lagi terbatas pada distingsi malam dan siang. Secara eksplisit M. Faizi juga menyuguhkan kontradiksi antara masa kini dan masa lampau. Ternyata, malam yang sejatinya didambakan oleh aku-lirik bukan sekadar malam dengan segala ornamennya sebagaimana terbentang di depan mata kita sehari-hari, tetapi malam yang sebenar-benarnya “malam”, di mana “cahaya” dapat menembus ruang terdalam jiwa manusia. Sementara “malam” dan “cahaya” yang dimaksud mungkin sudah nyaris raib di era sekarang, apalagi jika pengandaian aku-lirik tentang leburnya antipode desa dan kota, di puisi yang lain, menjadi kenyataan: cahaya kota dipindah ke kampung / atau desa menjadi kota karena pemekaran / lalu kesibukan berseliweran. Akibatnya, siang dan malam hanya beda warna.
Seperti dua puisi yang telah kita baca utuh di atas, secara garis besar puisi-puisi M. Faizi lainnya juga mengusung tema dan gagasan serupa: didesain dengan latar siluet malam, sarat permenungan yang tak jarang menimbulkan nada introspeksi, sesekali menjabarkan pemikiran falsafi yang memukul telak, sesekali juga menyiratkan kritik terhadap kecacatan laku hidup serta ketidakstabilan alam sekitar. Adapun gaya bahasanya dirajut dengan barisan kata yang relatif cerah. (Hampir) tak ada beban simbol maupun metafora. Yang ada hanyalah sekelompok frasa yang dipoles sedemikian rupa, dibantu pemilihan diksi-diksi klasik dan arkais yang melimpah sehingga buku ini terbilang kaya kosakata. Meski begitu, pernak-pernik diksi itu cuma elok di permukaan. Pasalnya, makna/pesan yang hendak disampaikan M. Faizi terlalu kentara, alih-alih menawarkan gelanggang tafsir yang lebih kompleks melalui penciptaan rahasia puitik.
Selain itu, sulit bagi saya untuk tidak mengaitkan aku-lirik dengan aku-penyair lantaran tidak adanya keberjarakan posisi antara keduanya di ruang-ruang puisi, yang sebenarnya bisa disiasati dengan cara-cara tertentu, semisal memainkan pronomina, melakukan transfigurasi, menciptakan heteronim, dan seterusnya. Bait-bait yang jelas diolah dari gerak-gerik keseharian dan pengaplikasian sikap si “aku”, dibumbui rasa sentimen, persuasif, tanpa ada upaya menyekat impresi pembaca dengan ekspresi penyair, mengafirmasi suara tunggal M. Faizi sendiri. Karya sastra akhirnya, tulis Budi Darma lagi, hanya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan pengalaman pribadi secara harfiah.[2]
Namun, barangkali M. Faizi memang tidak berhasrat untuk mengaburkan atau melenyapkan diri dari puisinya. Ia menulis dengan sejujur-jujurnya, bahkan dalam langgam puisi yang menyediakan banyak “jalan penyimpangan” sekalipun, demi membasah-kuyupkan hati pembaca di bawah guyuran teks liris. Tak ayal, Surat Cinta untuk Malam berbicara apa adanya dengan penuturan yang halus dan lembut ala puisi penyair Pujangga Baru. Mengenai kode puisi Pujangga Baru, Rachmat Djoko Pradopo merumuskannya dalam beberapa ciri, antara lain, gaya sajaknya diafan dan polos, hubungan antara kalimat jelas, kata-katanya serebral, hampir tak digunakan kata-kata yang ambigu seperti simbolik dan metafora implisit.[3]
Kalaupun M. Faizi memakai kiasan atas sesuatu, tak lain sebatas penyerupaan dangkal antara citraan yang satu dengan citraan yang lain, yang secara visual mudah sekali dibayangkan, dan itu berarti tidak membuka kesempatan bagi pembaca untuk menggali probabilitas makna. Alhasil, benda-benda astronomi yang disalin ke dalam cakrawala kata-kata sering kali tampil plastis. Paling mentok memendarkan kesan berindah-indah belaka seperti dua nukilan di bawah ini:
Bintang-bintang jatuh menderau
seperti hujan keju yang diparut
di atas bentala
roti raksasa,
bertaburan, berserakan, seperti remah
yang dibuang kaum mualaf
(“Menunggui Malam”, hlm. 33)
Venus di langit barat daya
sejengkal di atas bulan sabit,
seperti buah ceri
dijatuhkan ke mangkuk puding.
(“Malam Kedua Lebaran”, hlm. 51)
Perumpamaan yang manis, sebetulnya. Benda-benda astronomi diibaratkan dengan imaji-imaji gastronomi. Harmonis. Hanya saja, sekali lagi, ilustrasi tersebut sebatas penyerupaan dangkal karena selain menutup rapat pintu tafsir, perbandingan itu diperantarai oleh partikel “seperti”. Dengan kata lain, ia bukan metafora, melainkan simile. Sebab, “Mekanisme representasi” metaforis berbeda dengan mekanisme representasi mimetik yang membasis pada seperti dan seolah-olah (Dwi Pranoto, 2025).[4]
Jika kita bandingkan Surat Cinta untuk Malam dengan Asteroid dari Namamu (Basabasi, 2019) karya Galeh Pramudianto—yang secara tematik juga mengangkat benda-benda astronomi—akan kita temukan perbedaan yang cukup signifikan:
Pikiranmu adalah planetarium
di mana setiap memori adalah meteorid
dan setiap permintaan maaf membakar
seperti bintang yang sekarat
hatiku adalah planet
cintaku padamu seperti kehancuran dunia
akan tiba pada suatu masa
semesta membeku dan lenyap
dan kita masih bebal pada suatu harap.
(“Multisemesta”, hlm. 32)
Galeh Pramudianto menghadirkan kata “planetarium”, “meteorid”, “bintang” dan “planet” sebagai metafora dari hal-hal yang sifatnya abstrak. Kendatipun ada partikel “seperti” yang menyela di antara dua frasa yang diperbandingkan, kalimat “setiap permintaan maaf membakar seperti bintang yang sekarat” tetap terbaca sebagai ungkapan metaforis, atau kuasimetafora, karena ketaksaan susunan katanya. Teks sejenis itu sekaligus menegur pemahaman kita agar menimbang ulang bahwa titik berat perbedaan antara metafora dan simile bukan terletak pada ada-tidaknya kata “seperti”, “bagaikan”, “laksana”, dsb., melainkan pada mampu-tidaknya suatu ungkapan majasi mendorong pembaca bersoal-jawab dengan pemikiran dan penafsirannya sendiri. Dus, Galeh bukannya mengonkretkan yang abstrak dengan dijejalkannya diksi-diksi astronomis itu, proses pemaknaan malah jadi ambigu. Akan tetapi keambiguan itulah yang membuat puisi lebih bernilai ketimbang sekadar dijadikan corong penyampai pesan.
Berdasarkan beberapa uraian di muka, sampai di sini saya ingin menarik tali konklusi bahwa semua puisi M. Faizi di buku ini menyerlah terang seperti gugus bintang di jumantara malam. Terang yang tidak senantiasa menerangi, walau kadang terlampau bergairah untuk menerangi. Kecenderungan tersebut mudah saya jumpai dalam sejumlah puisi, yaitu berupa kalimat-kalimat pedagogis yang kemudian saya sebut—meminjam frasa M. Faizi sendiri—“polusi cahaya”. Saya nukil dua contoh saja:
Istirahatlah, manusia! Matikan dulu mesinmu.
Jangan terus-menerus membuang oksidan dan polutan.
Biarkan sejenak langit bersih gemilang.
Lalu panjatkan doamu membumbung ketinggian
agar nanti turun bersama malam Nuzulul Quran.
(“Siapakah yang Menyapu Langit?”, hlm. 67)
Wiridmu jangan kaubanggakan
karena rumput bertasbih lebih banyak.
Berzikir dan bertafakurlah.
Barulah kemuliaan engkau dapat
meraih gelar Ulul Albab.
(“Ulul Albab”, hlm. 73)
Sastra, menurut pandangan mazhab strukturalisme, adalah sistem yang dinamik, di mana karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi, sekaligus mewujudkan konvensi yang berlaku dan menyimpang dari konvensi tersebut. Hal itu berarti, asumsi A. Teeuw, konvensi jenis sastra tidak pernah dipenuhi seratus persen; selalu ada kelonggaran, kebebasan tertentu.[5]
Pertanyaannya, apakah kebebasan itu juga mencakup pelanggaran terhadap apa yang selama ini kita anggap “pantangan” dalam menggubah puisi? Kita mungkin sepakat bahwa penulisan kalimat-kalimat didaktis dalam puisi merupakan pantangan besar bagi penyair mutakhir pasca-Pujangga Baru. Lantas, apakah puisi yang memilih kembali ke konvensi lama yang sudah ditinggalkan puluhan tahun itu termasuk praktik daur ulang yang kemudian bisa kita sebut “atavisme”? Atau karya sastra semacam itu justru dapat dikatakan mengalami dekadensi artistik? Terlepas dari jawaban apa yang bakal kita dapat, puisi M. Faizi adalah mata air langka bagi masyarakat (sastra) yang sangat haus akan pesan moral.
Kecenderungan lain yang lebih banyak saya temui dalam Surat Cinta untuk Malam ialah tumpah-ruahnya kata “cahaya”. Hampir setiap puisi yang tersaji dalam kumpulan ini memancarkan kata “cahaya”, bahkan dalam satu puisi terdapat dua-tiga kata “cahaya”. Tendensi ini mengurangi kenikmatan membaca, setidaknya bagi saya pribadi, sekaligus mengisyaratkan betapa M. Faizi terlalu terpaku pada objek yang sama sehingga aneka gagasan yang terpantul, juga diksi-diksi yang condong seragam, niscaya bersumber dari objek itu. Karenanya, kata “cahaya” yang teramat sesak itu pun jatuh sebagai “polusi cahaya” yang mencemari pesona langit malam dalam rupa kata-kata.
Hal demikian paralel dengan bunyi beberapa kalimat dalam beberapa puisi yang kurang-lebih bernada sama. Saat aku-lirik mengungkapkan pengalaman puitiknya sewaktu mengamati langit dan bintang-bintang, misalnya, bahasa yang terlontar ‘terdengar’ rada mirip. Pola S-P-O-K dipakai secara berulang tanpa ada kemauan untuk memodifikasinya agar tampak lebih segar.
Aku mengintip bintang-bintang,
berguguran seperti serpihan salju,
(“Bagaikan Supernova”, hlm. 22)
Purnama mengapung
aku berjalan, dibimbingnya
sambil melihat langit bertabur bintang
yang nyata dan awah
di atas janabijana.
(“Dua Tempat, Satu Langit”, hlm. 34)
aku melihat ke atas,
menikmati langit tanpa teropong
di lingkup cahaya bulan keperakan
melihat bintang-bintang yang gugup
(“Bintang-Bintang yang Gugup”, hlm. 37)
Aku menyaksikan bintang-bintang di langit,
berdiri tegak, kepala mendanguk
(“Himne untuk Malam”, hlm. 60)
Pergi ke halaman, melihat bintang-bintang,
lalu berdebat perihal jarak Tahun Cahaya,
(“Hanya Bertanya”, hlm. 68)
Agaknya, M. Faizi memang tidak tertarik mengeksplorasi tema lebih jauh, menerapkan teknik-teknik tertentu untuk mengelabui pemahaman pembaca, menyembunyikan makna di balik lapisan-lapisan sintaksis nan rumit, merangsang atau memperkaya imajinasi, bahkan untuk sekadar memermak kalimat berpola konvensional pun enggan. M. Faizi lebih suka mendeskripsikan jagat malam sesuai dengan apa yang ia cermati dan dirasakannya; cukup selektif memilih dan memilah kosakata, merangkainya secara sederhana, memperhalus pengucapan, semata agar puisi tampak berbeda dengan reportase.
Di samping itu, tersampaikannya amanat, baik yang tersirat maupun yang tersurat, sama pentingnya dengan tindak pengamatan, permenungan dan pelukisan tadi. Ada kalanya pembaca dibikin tercekat bukan untuk mengorek-ngorek makna di belantara kekhusyukan kata, tapi untuk menimbang-nimbang kekhusyukan kata itu sendiri. Sebab, makna puisi M. Faizi tidaklah tertimbun di bawah rerimbun kata, tapi terbit menguntum di ranting-ranting kata itu, dan kita dengan mudah memetiknya.
Sumenep, 2025
[1] Budi Darma, “Sastra: Sebuah Catatan”, dalam Solilokui (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2020), hlm. 91.
[2] Budi Darma, “Perihal Gendon dan Kawan-kawannya”, dalam Solilokui (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2020), hlm. 129.
[3] Rachmat Djoko Pradopo, “Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia”, dalam Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 25.
[4] Dwi Pranoto, “Afrizal “Membunuh” Aku-Lirik (?)”, diakses pada 19 Juni 2025 dari https://tengara.id/blog/afrizal-membunuh-aku-lirik/
[5] A. Teeuw, “Strukturalisme dan Masalah Jenis Sastra”, dalam Sastra dan Ilmu Sastra (Bandung: Pustaka Jaya, [Edisi Elektronik] 2018), hlm. 86, 88.
Penulis: Daviatul Umam, menulis puisi dan prosa. Buku puisinya yang telah terbit adalah Kampung Kekasih (2019). Karya-karyanya yang lain dipublikasikan di Koran Tempo, Jawa Pos, Kalam, Bacapetra, Kompas Digital, dll. Kini bergiat di Komunitas Damar Korong dan Malate Artspace, Sumenep, Madura. Bisa disapa di Instagram: @daviatul.umam