Bertemu Mahfud Ikhwan, Warto Kemplung, & Kopi Sisa di Atas Meja

dok. foto: Juli Prasetya

Dalam acara Banyumas International Literacy Festival (BILfest) pada Senin, 16 Juni 2025 kemarin di Heterospace, saya datang sangat terlambat dalam salah satu acara bincang buku pada sore yang mendung dan gerimis itu, namun pada akhirnya saya bisa bertemu dengan salah satu penulis favorit saya; Mahfud Ikhwan. Dia adalah seorang penulis sekaligus novelis. Buku-buku nonfiksinya terkait sepak bola, musik, dan film India. Lalu ia juga menulis novel seperti Ulid (yang menurut pengakuannya nasib awalnya begitu ngenas, tapi juga anak pertama yang akan selalu ia bela), Kambing & Hujan (novel ini berhasil meraih juara DKJ 2014), Dawuk; Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu (meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2017), Anwar Tohari Mencari Mati (meraih penghargaan Anugerah Sutasoma 2021), dan terakhir Bek.

“Sehat, Cak?” kata saya basa-basi menyapanya, lalu menyalaminya duluan, seperti kawan lama yang baru bertemu setelah bertahun-tahun berpisah (atau mungkin hanya saya saja yang sok akrab). Penulis idola saya itu berpenampilan sederhana, dengan kaos oblong, dan celana levis, tubuhnya gempal, tambun, rambutnya sudah tumbuh umban pendek-pendek, dan tingginya tidak lebih tinggi daripada saya. Kesan pertama saya saat bertemu dengannya adalah saya seperti melihat mas-mas tongkrongan yang biasa nongkrong di warung kopi sambil main gaple atau gitaran di perempatan jalan dan gang-gang. Itulah kesan pertama saya saat melihatnya, dan bertemu dengannya untuk pertama kali. Namun tentu saja saya tidak bisa melepaskan kebesaran karya dan namanya, yang sudah saya (dan dunia) ketahui, sehingga saya tidak serta merta memandangnya hanya sebatas mas-mas tongkrongan biasa. Tapi ia adalah seorang penulis kaliber internasional. Seseorang yang bisa membuat saya menjadi segan, kikuk, dan membuat saya tidak leluasa berbicara karena ia terlalu berkilau, dan saya begitu menghormatinya. Ia adalah penulis favorit saya setelah Ahmad Tohari, Pramoedya Ananta Toer, Gabriel Garcia Marquez, Eka Kurniawan, dan Eko Triono.

Sebelum menyapa dan berbincang dengannya, sebenarnya saya menyapa Mba Selvi terlebih dahulu yang sedang berkeliling di bazar buku, ia adalah istri dari Cak Mahfud. Saya menyalaminya. Saya bertanya tentang ini itu kepadanya, tentang kesibukannya, aktivitasnya dan  kesibukan suaminya, dan apakah ia tengah menulis dan masih menulis sesuatu. Saya juga mengucapkan selamat kepadanya, karena novel Bek masuk dalam Daftar Pendek Kusala Sastra Khatulistiwa 2025.

“Ya masih menulis, dan ikut tour bincang buku-buku suami di beberapa daerah” katanya.

Setelah bertanya ini itu, saya baru mendekat ke Cak Fud yang sedang dikelilingi penggemarnya. Dengan sikap kikuk, segan, dan bingung sebagaimana seorang fans yang baru pertama kali bertemu dengan penulis idolanya, saya memberanikan diri untuk mendekatinya lalu menyalaminya. Saya tidak bisa berkata banyak, dan hanya sekilas-sekilas melihat dan mencuri dengar dia ngobrol dengan para pengunjung dan penggemar yang lain.

Saya sebenarnya tidak merasa terintimidasi di dekatnya, tapi entah mengapa saya merasa begitu kikuk di dekatnya, mungkin karena saya terlalu segan, terlalu menaruh kekaguman berlebih kepadanya (meskipun tak separah kekaguman Bartolomeo kepada Luffy, ada yang tahu?). Sebenarnya saya masih bisa mengendalikan diri, dan tidak grogi-grogi amat saat berada di dekatnya, dan bisa ngobrol sedekat itu wah rasanya sungguh luar biasa. Saya seperti kecipratan berkahnya sebagai seorang penulis besar. “Ini merupakan pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan” kata saya membatin.

“Ini ada lanjutannya Cak?” tanya saya sambil menunjuk novel Dawuk dengan sampul baru yang sangar, dengan tone retro lawas ala-ala 80 atau 90-an bersampul seorang pendekar bertelanjang dada, berwajah keras, berambut gondrong, berkalung jimat yang tengah membopong mayat istrinya yang sedang mengandung dengan perut berlubang.

“Apanya?”  ia balik bertanya.

“Novel Dawuk, akan ada triloginya ngga?”

“Rencana itu mungkin ada, tapi belum benar-benar dipikirkan”

“Saya penasaran sama Mat Modar, Cak” kata saya tiba-tiba nyeletuk begitu saja. Mendengar itu, ia hanya tersenyum saja, lengang.

“Ini nanti katanya ada triloginya loh” kata saya seperti penjual obat kepada para pengunjung lain, kepada para penggemar lain yang mendekat kepadanya. Saya melihat wajah Cak Mahfud yang setengah terkejut sambil melihat saya, hahaha.

“Apakah benar Ulid adalah novel dengan nasib yang paling ngenas Cak?” tanya saya lagi

“Makanya saya membalas dendam di karya ini” katanya sambil menunjuk Dawuk, dan Anwar Tohari Mencari Mati.

“Tapi di 15 tahun Ulid, akhirnya kan nasibnya makin baik Cak” kata saya. Lengang.

Pada akhirnya setelah bertahun-tahun saya hanya membaca dan menggemari tulisan-tulisannya, pada sore menjelang magrib itu, saya bisa bertemu langsung dan berfoto bersama “Pak Warto Kemplung”, dan bertemu dengan “Bu Warto Kemplung” yang asli. Sungguh pengalaman yang sangat luar biasa. Seperti pengalaman rohani, pengalaman spiritual, seperti bertemu dengan orang saleh, meskipun dalam suasana yang begitu nglesa, dan lesehan (padahal katanya acara bertaraf internasional, ehem). Tapi saya melihat kesan dari Cak Mahfud ia sepertinya tidak terlalu mempermasalahkan itu. Karena mungkin saja, Cak Fud tahu, di manapun acara sastra, kebanyakan (meski tidak semua) keadaannya tidak jauh dari kerudinan, ngenas, nglesa, semrawut, dan kenelangsaan macam itu.

Di meja tempat tadinya terpajang novel Dawuk, ada segelas kopi yang tersisa sedikit bersama ampasnya di dasar gelas, itu kopi bekas Cak Mahfud, kopi yang sering hadir di dalam tulisan-tulisannya. Saya jadi teringat Warto Kemplung dalam novel Dawuk yang uring-uringan mendapati kopinya habis, tapi orang yang ingin mendengar bualannya semakin banyak di warung kopi. Lalu ia berteriak memesan kopi lagi, meminta rokok lagi (ia mendapatkan kopi dan rokoknya dari orang lain tentu saja). Saya kemudian melihat kopi itu, kopi bekas “Warto Kemplung” yang asli.

Dalam semesta sudut pandang ke-NU-an yang renik-reniknya masih tersisa di dalam diri saya.  Saya masih percaya dengan yang namanya barokah, saya membayangkan ketika saya meminum bekas kopi Cak Mahfud itu, boleh jadi saya akan mendapatkan barokah dari kepengarangan beliau, atau kedunungan dan tersambar kemampuannya yang paling ketengan atau picisan katakanlah. Terbesit di hati saya untuk meminum kopi bekas yang tinggal sedikit di gelas beling bening itu, seperti seorang santri yang ingin ngalap barokah dengan meminum bekas kopi kiai-nya. Tapi entah mengapa sampai acara itu selesai, sampai kemudian Cak Mahfud dan Mba Selvi pulang, kopi itu tetap diam di sana, sebelum kemudian dibereskan oleh panitia. Dan saya tidak melakukan apa-apa, menyentuhnya tidak, meminumnya pun tidak, kecuali hanya memandanginya, membayang-bayangkannya saja. Apakah kalau saya jadi meminum kopi sisa itu, saya bisa menulis sebaik dan sebagus Cak Mahfud?

“Oh tentu saja. Tidak” terdengar sayup-sayup suara di dalam diri saya dengan nada mengejek.

Purwokerto, Juni 2025

Penulis: Juli Prasetya adalah seorang penulis muda asal Banyumas. Sekarang sedang berproses di Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung di Desa Purbadana, Kembaran. FB: Juli Prasetya Alkamzy.

Check Also

Dari Toko Buku ke Toko Buku: Catatan Kurir Perbukuan

Tak seperti Esfand yang mengunjungi berbagai toko buku untuk kesenangan, Joni mengunjungi toko-toko buku di Jogja karena alasan pekerjaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *