Seorang editor, pelancong, penulis, dan pastinya pencinta buku kelas wahid, mengisahkan perjalanannya dari toko buku satu ke toko buku lainnya di berbagai negara di benua biru. Ia, Muthia Esfand menyelami hiruk-pikuk toko buku legendaris Shakespeare and Company di Paris, lalu beranjak ke kehidupan toko buku dan sisa-sisa Perang Dunia di Jerman, kemudian merasakan sunyi di kedalaman kastil Bran, Rumania dan berlanjut ke negara-negara asing yang selama ini hanya kita kenal lewat peta dunia. Perjalanan itu kemudian ia abadikan jadi buku bertajuk Dari Toko Buku ke Toko Buku.
Esfand agaknya beruntung, ia melakoni perjalanan tersebut karena kesenangan & didukung dana berkecukupan. Lupakan dulu Esfand & petualangannya.
Kurang lebih 1.500 kilometer jauhnya, seseorang pemuda bernama Joni dari pedalaman antah berantah dari provinsi ke-31 Indonesia, provinsi yang dikenal karena sebuah novel berjudul Laskar Pelangi, nekat berangkat ke kota yang konon berlimpah buku.
Pemuda itu adalah orang pertama dalam riwayat keluarga besarnya yang mengarahkan kemudi ke Jawa, selepas lulus SMA. Tak seperti kebanyakan anak muda lain yang mengarahkan langkah untuk niat mencari kampus dan kuliah, tujuan pemuda itu cuma satu, buku. Ia punya dendam menyala di dadanya, semasa bersekolah di desa, ia begitu kesulitan mencari bacaan yang menyenangkan. Perpustakaan sekolahnya kala itu berisi buku tentang mata pelajaran yang membosankan. Ia hanya menemukan satu judul novel di semesta perpustakaan sekolahnya, novel yang membuat provinsi dan pantai di sana, dikenal orang-orang lewat film.
Hingga masa rampung SMA itu juga, ia tak pernah tahu bentuk toko buku seperti apa, desanya jauh dari kota. Berbekal dongeng dari abang-abang sedesa yang baru lulus dan berita di televisi, yang mengatakan bahwa tempat itu memiliki nama lain “kota pelajar” atau “surga buku”, ia pun menuju ke sana tanpa ragu. Dongeng-dongeng tadi benar adanya, di kota itu buku bisa diakses dengan cukup mudah. Seperti orang dendam pada umumnya, ia kalap, buku-buku yang menggodanya lekas dibeli, bahkan urusan mode pakaian terbaru tak terlalu diketahuinya.
Pemuda tadi, akhirnya juga kuliah karena “dipaksa” keluarganya. Selepas lulus, ia bekerja di penerbitan buku. Tugasnya sungguh sangat sederhana, mengambil buku jadi di percetakan, kemudian mengedarkannya ke beberapa toko buku di Jogja, yang menjalin kongsi dengan tempat penerbitnya bekerja. Sebulan sekali, dengan motor matic rongsokan, ia berangkat ke toko buku untuk mengantar buku terbitan terbaru. Membawa kardus atau sekantong buku, menyusuri pinggiran Jogja yang panas & sunyi.
Tak seperti Esfand yang mengunjungi berbagai toko buku untuk kesenangan, Joni mengunjungi toko-toko buku di Jogja karena alasan pekerjaan. Sembari mengantar buku, ia biasanya membeli buku atau melihat buku-buku di rak, atau rehat sejenak membaca, sebelum berangkat pulang, melewati jalan yang sama, berdebu dan panas. Tak jarang pula, ia mengantar kawannya dari luar kota berkunjung ke toko buku pada akhir pekan.
Citra dan label indie yang melekat selama ini tak melulu berarti kecil. Beberapa toko buku yang sejak awal ia ikuti perkembangannya telah jadi besar dan mandiri. Ia menyenangi toko buku indie, karena lewat toko buku semacam itu, perkara buku tak hanya sekadar urusan transaksional jual-beli.
——
Penulis: Jemi Batin Tikal, seorang pembaca, penulis & buruh di penerbitan. Ia bisa dicolek via IG/FB: @jemibatintikal