I
Terangkatlah derajat seorang pemuda bekas budak saat seisi Madinah mendengar seruan untuk menyembah Allah. Mohammad tidak memilih pemuda dari garis keturunannya. Tidak pula sahabat karib yang menyokong dakwahnya. Bukan pula ahli pedang yang gagah berani. Bekas budak hitam legam itu punya suara malu-malu. Setengah umur ia tanggung takdir sebagai pesuruh. Dengan bentuk yang bagi kebanyakan orang buruk rupa pula. Sekali lagi Mohammad menegakkan perkataan Tuhan. Di berbagai kitab samawi, Ia minta seluruh makhluk bersujud pada manusia. Meski manusia terbuat dari segumpal lumpur cokelat yang kotor yang menjijikkan. Pada hari itu, si kaya si miskin si papa si dermawan berduyun-duyun turut mengumpul dan salat bersama atas seruan si bekas budak. Ayo kita salat. Ayo kita menuju kemenangan.
II
Jaga salat. Jaga perkataan. Kerjalah yang jujur. Pesan Bapak padanya. Meski ku tak mampu membuatmu lanjut sekolah di gedong, setidaknya aku harus membuatmu menjadi manusia beradab. Maka berbekal ijazah SLTA dan pengetahuan akan jalan-jalan tikus di Jakarta, ia mendaftarkan dirinya sebagai jaket hijau. Tak apalah bila sekolah tinggi begitu jauh dari jangkau. Yang penting adik-adiknya yang bersusun panci di rumah tersebut tak kurang satu apa pun. Semasa SLTA ia bukan anak istimewa. Beasiswa tak bisa pula ia raih. Biasa saja. Yang penting bisa membantu Ibu, Bapak, dan Kakaknya mencari nafkah. Jakarta sedang ramai-ramainya. Saban siang orang lalu-lalang dan memesan makanan. Meski ada imbauan tentang potensi kerusuhan, ia tak gentar. Momen ramai seperti ini bisa jadi ladang rezeki baginya. Azan Isya sayup terdengar nun di surau dari gang yang ia lewati. Jaga salat. Suara Bapaknya terdengar dari kepala. Pesanan makanan menunjukkan perkiraan molor satu jam sebab kiri-kanan jalan tertutup massa. Jalan tikus ramai bukan main. Ah, lewat sejam tak apalah. Allah Maha Tahu ikhtiarnya menadah rezeki yang secuil demi secuil tersebar di seantero ibukota raya.
III
Ia ketuk pintu rumah. Si bungsu membuka pintu. Tersenyum dengan pipi gemuk kemerahan menyembul. Ibuk dari mana? Tanyanya polos. Hmmm…Ibuk habis… dari melawan monster! Hah? Monster seperti di film? Iyaaa bahkan ini monsternya lebih jahat lagi. Ibuk keluarkan jurus apa? Jurus pentungan merah putih! Hahhh! Si bungsu berlari heboh. Ibuk habis ngapain sih? Kali ini suara si sulung berkata ketus. Yaaa biasaaa… habis dari jualan. Bohong! Si sulung menunjukkan foto dirinya yang muncul di sebuah artikel berita daring. Ibuk kalau kenapa-kenapa gimana? Ia tahu kegelisahan si sulung yang mulai mengerti dunia. Sini duduk. Ia duduk lalu menepuk sofa reyot di ruang tamunya. Ia buka jilbab merah muda yang menutupi helai-helai uban yang kian rimbun. Si sulung menurut dengan wajah tak senang. Nak, ibuk tahu kita wong cilik, kita ini siapa sih di mata penguasa? Ibuk cumat tamat SD, bisa baca saja syukur! Ibuk ndak ngerti apa-apa yang dibilang orang sekolah tinggi. Ia menghela napas. Makan. Hanya makan, Nak. Kita susah makan karena pemerintah sekarang! Jualan ibu makin hari lesuh pembeli. Orang-orang enggan membeli karena semuanya berhemat. Sementara… kau lihat kunyuk babi setan itu menari-nari bahagia di gedung yang katanya milik kita! Ibuk hanya pingin kau dan adikmu makan, Nak. Mereka berpelukan dalam tangis dalam beberapa lama. Nak, aneh selama perjalanan pulang tak ada suara azan.
IV
Hidup sepenuhnya perkara ditagih-menagih baginya. Lama-lama ia ketagihan pula jadinya. Tak cukup hanya seragam pink neon, ia ditagih tas kulit eropa, pupur gincu seharga gaji buruh pabrik sebulan, rumah yang lebih bagus, mobil yang lebih baru. Tak cukup gaji pokok dari negara, ia menagih langsung pada yang punya kuasa (sekurang-kurangnya tertulis di kitab konstitusi negara ini). Menagih dari jalan-jalan, penerbitan dokumen keterangan berkelakuan baik, penerbitan izin berkendara, skenario pembebasan bersyarat, dan sebagainya, dan lain-lain. Cara kerjanya makin hari makin mirip anjing peliharaan. Menurut bila diiming-imingi camilan. Dari segala pekerjaan yang menyenangkan, pekerjaan yang akan ia lakukan malam ini adalah yang paling menyebalkan. Bertemu dengan sipil bersuara besar. Cihhh. Lihat senapanku! Lihat seragamku! Lihat kehidupanku yang sarat puja-puji dari orang terkasih! Lepas salat jamaah yang didokumentasi untuk keperluan publisitas besok. Meski ia tak sadar tak ada suara azan malam itu. Ah apa bedanya. Suara Tuhan. Suara nurani. Sudah lama absen di hati dan pikirannya. Kemudian, ia dan anjing-anjing lainnya siap menderu mobil perang ke jalan.
V
Berkumpul di titik ini ya! Sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Berikut foto titik kumpul tersebut. Ia menggigit bibir pertanda rikuh. Jujur ini tahun pertamanya di sekolah tinggi dan pertama kalinya ikut ‘yang begini-begini’. Ibu membekali odol berikut botol minum seliter di ranselnya. Ia bukanlah pemuda gagah yang berlaga di lapangan bola. Bukan pula pemuda yang piawai bicara banyak. Perkara bendera anime kesayangannya dilarang berkibar, adalah alasan ia mengiyakan ajakan malam ini tanpa pikir dua kali. Tolol! Bodoh! Dungu! Rutuknya yang hanya mampu disuarakan dalam hati. 20.25. Lima menit lagi sampai. Jujur ia tak mendengar azan selama perjalanannya dari stasiun menuju titik kumpul. Hmmm, entah. Mungkin ia yang terlewat. Atau memang masjid di jalan-jalan besar juga ikut ditutup seperti toko-toko. Hmmm. Dalam bising gumam di kepalanya, matanya justru menangkap pemandangan aneh. Sebuah kendaraan taktis melaju kencang seakan berada di jalur balap di sisi kirinya. Di depan sana, sebuah kerumuman warga kocar-kacir. Mereka bertabur biar ke kanan-kiri. Seseorang terpeleset. Ia jatuh. Kendaraan taktis tak kurang lajunya. Belum sempat bangkit. Roda-roda bergeligi tersebut melintasi apa pun yang ada di aspal. Ia terlindas. Ah, tidak. ia DILINDAS! Si pemuda berlari ke sosok yang roboh tersebut. Sosok berjaket hijau. Dengan seplastik makanan berceceran di dekatnya. Tolol! Bodoh! Dungu! Ia berteriak kencang mengatai pengendara mobil perang tersebut. Caci yang bahkan tak terdengar di telinganya. Pantas saja malam itu di Jakarta, Azan tak terdengar lagi.
Tabanan, 30 Agustus 2025
Untuk Alm. Affan Kurniawan
Untuk mahasiswa
Untuk buruh
Untuk siapapun yang melawan
Penulis: Windy Shelia Azhar merupakan penulis berdarah Melayu Bangka yang saat ini bermukim di Bali. Ia pernah berkuliah di jurusan Sastra Inggris lalu menempuh pendidikan Ilmu Komunikasi. Cerpen dan esai yang ia tulis berkutat dengan isu gender, lingkungan, dan kebahasaan telah tersebar di berbagai medium. Flash fiction-nya yang berjudul “In Tala’s Womb” menjadi cerita terpilih dalam Porch Literary Magazine. Ia juga bagian dari Kebun Kata, komunitas literasi berbasis di Bangka Belitung. Saat ini, ia sedang menyelesaikan buku esai pertamanya. Jalin korespondensi dengannya via pos el: tuliswindy@gmail.com atau baca tulisannya di medium.com/@windyazhar.