Judul : Diyawa si Kaki Merah
Penulis : Abroorza A Yusra
Penerbit : Rua Aksara
Cetakan : Pertama, Februari 2025
Tebal : vi + 156 halaman
ISBN : 978-623-6650-58-5
Abroorza A Yusra membentangkan konflik antara penduduk lokal dengan orang-orang Alam Luar yang terus merangsek-menjarah sumber daya hutan dalam novel mutakhirnya, Diyawa si Kaki Merah. Novela berpredikat “fiksi iklim” ini mengetengahkan problem ekologis yang bertaut erat dengan ambisi manusia, nafsu picik, resistensi masyarakat adat, dan penjarahan hutan. Semua aspek dibalut ciamik dengan gaya surealisme.
Pembaca niscaya menjumpai beberapa hal yang mungkin ada di dunia nyata, tetapi sudah berbaur fantasi. Dengan kemampuan meramu bahasa figuratif yang mumpuni, penulisnya, menggaet pembaca bertamasya menjelajahi jagat fiksi tanpa membuat pembaca tercerabut atau terengah-engah.
Bentang cerita novela ini tak pelak mendekatkan pembaca dengan isu-isu lingkungan. Saat perusakan ekologi semakin sistemik, hasil kombinasi para pemangku kebijakan dan korporasi, keseimbangan alam tak jadi prioritas jangka panjang, dan kehancuran ekosistem selalu dipandang masih amat jauh, di sinilah buku ini mendapat tempatnya.
Buku ini pun seolah memberi petuah bahwa apa-apa yang ada di alam tak sepatutnya dikeruk demi memenuhi nafsu antroposentris manusia semata. Sumber daya alam memang terbatas, sedang hasrat eksploitatif manusia sering menggelegak tak terbendung.
Menghayati pohon
Abroorza A Yusra mendisposisikan pohon sebagai bagian sentral dalam novela ini. Pohon terceritakan sangat akrab dengan laku hidup beberapa tokoh. Pohon ada dalam tatapan sejauh mata memandang dan kaki melangkah. Seperti yang dilakoni Diyawa.
Tokoh utama novela ini jeli terhadap tetumbuhan yang hidup di Jantung Rimba. Ia memanfaatkan hasil hutan secukupnya, dari mulai mengolah santapan sampai mengobati sakit fisik. Ia memetik-memanen buah, daun, dan jamur tanpa ada niat untuk mengambil lebih atau menjarah–secara membabi-buta.
Ada pula tokoh penting selain Diyawa, yakni si Lelaki. Suatu waktu, tokoh ini meninggalkan desa dan bekerja sebagai pemecah batu untuk proyek jalan raya. Di sana, saat si Lelaki membantu menebang pohon, “ada kesedihan yang menggigit lubuk hatinya setiap sebongkah pohon roboh ke tanah” (hlm. 27)
Si Lelaki merasa hatinya tersayat-sayat melihat penebangan pohon. Ini mencandrakan bahwa dia mempunyai ikatan (baca: penghayatan) kuat terhadap pohon-pohon. Dengan rasa prihatin ini, si Lelaki tak merasa unggul dibanding makhluk lain, tak merasa diri sebagai pusat dari alam semesta–yang sekenanya mengatur-mengelola alam tanpa pertimbangan regeneratif.
Pohon sejatinya punya relasi fundamental atas makhluk hidup dan lingkungan sekitar. Melalui sederet pohon yang berdiri kukuh di satu vegetasi inilah, para makhluk hidup, termasuk manusia, bisa tinggal tanpa perlu terusik bencana.
Tentu saja, tak ada pohon sama dengan musibah. Ada harga mahal yang harus dibayar–sebagai konsekuensi realistis–ketika pohon-pohon mulai menghilang. Nahasnya, tangan kotor manusia tak henti menjarah sumber daya–termasuk pohon-pohon di sana.
Membangun Aspal, Menembus Belantara
Selain penjarahan, satu hal yang tak kalah gawat disuarakan dalam novela anggitan Abroorza A Yusra ini adalah deru pembangunan. Bagian ini bisa dibaca sebagai kritik lantang atas kecenderungan tersebut.
Kala pembangunan(isme) menjadi mantra ajaib yang konon mengubah segala-galanya menjadi modern dan canggih, orang-orang khususnya masyarakat adat acap menjadi korban–yang tak pernah beroleh keadilan. Mereka kerap diminta pergi (baca: diusir) secara paksa dari tempat mereka melakoni hajat hidup.
“Bagaimana kalian bisa mengusir orang yang sudah tinggal di sini sejak kecil? Aku lahir di sini. Di kampung ini. Hutan ini juga sudah ada sebelum aku lahir.
Hutan ini punya negara. Rencananya, hutan akan dibuka untuk jalur jalan negara.” (hlm. 81)
Penggalan percakapan antara dua pihak, penduduk dan penggusur ini, menjadi cermin representatif tentang masyarakat lokal vis-a-vis negara–yang mengambil alih hak warga. Aku-tokoh alias si Lelaki merasa kampung dan hutan ini tak selayaknya direnggut-dipindahkan.
Aku-tokoh bersama masyarakat secara kolektif sudah merajut ikatan yang tebal dengan lingkungan sekitar, termasuk hutan dan pohon-pohon di dalamnya. Tentu saja, ucapan aku-tokoh ini merupakan sebuah resistensi.
Ironisnya, hukum negara selalu menganggap segala yang ada di wilayah teritorial sebagai kepunyaan sah pemerintah. Lewat otoritas dan kuasa yang sulit dibantah, negara sering memaksakan kehendak untuk membangun apa saja.
“… Mereka hancurkan hutan tempatku tinggal. Mereka juga akan hancurkan Jantung Rimba… Mereka hancurkan semua hutan kita.” (hlm. 152)
Suara aku-tokoh ini semakin lirih dan sayup-sayup saat gelombang pembangunan mulai membabat hutan, mengubah rupa dan merenggut hak alam. Kutipan di atas pun jadi gambaran nyata tentang suara masyarakat adat, yang jarang mendapat tempat terhormat di dalam pertarungan wacana hak hidup dengan mereka (baca: pemerintah). Tatkala mereka dan penduduk lokal bersitegang, kita sudah tahu siapa yang jadi juaranya.
Penulis: Adib Baroya, pengajar Bahasa Inggris dan peresensi buku. Bisa disapa di akun instagram @dibbaroya atau gmail adib.baroya@gmail.com