Undur-Undur dan Perilaku Mundur Lainnya

Kala saya merasai betapa hidup, utamanya soal pekerjaan, sedang mampat dan sama sekali tidak mengenakkan, saya iseng bertanya pada Gemini AI: Mengapa undur-undur jalannya mundur? Tak kurang lima detik—tergantung kekuatan internet Anda masing-masing, kebetulan sekali jaringan wifi di kantor saya terbilang cukup kuat—sebuah jawaban dalam satu paragraf tersaji di layar genggam.

Undur-undur berjalan mundur untuk membangun sarang jebakan berbentuk corong di dalam pasir. Dengan menggunakan tubuh larvanya yang berbentuk oval dan kepalanya yang datar seperti sekop, ia menggali dan membuang pasir ke atas sambil bergerak mundur. Gerakan mundur ini memungkinkan ia untuk membuat perangkap agar bisa menunggu mangsanya, seperti semut, yang kemudian jatuh ke dalamnya. 

Di lain artikel, adaptasi larva ini dianggap sebagai adaptasi cerdik. Myrmeleontidae tidak perlu repot seperti singa atau macan atau burung hantu dalam mencari mangsa. Cukuplah ia menunggu di dalam kawah pasir-tanah sampai seekor semut masuk ke lubang kediamannya. Jika semut merangkak naik, Myrmeleontidae akan melempar pasir-tanah dengan rahangnya supaya si mangsa kembali tergelincir ke dasar kawah. Ketika itulah Myrmeleontidae menunda istirahat. Ia seperti vampir kecil, mengisap cairan dari tubuh semut. 

Cerdas dan hemat energi. Demikian termin kecil siklus hidup undur-undur. 

Barangkali dan barangkali, dalam suatu kitab yang entah, Tuhan sudah menulis takdir undur-undur akan dominan berjalan mundur alih-alih maju. Barulah di zaman kemudian undur-undur beradaptasi dengan segala yang dihadapinya. Ia harus berjalan mundur untuk urusan yang jauh dari purba dan terbelakang. Visioner, kita menyebutnya. 

Tetapi. 

Pada hidup yang, kata Mumu Aloha, begini-begini saja, kita akan selalu-nyaris-selalu dihadapkan dengan makhluk yang tidak lebih hebat perangainya dibanding Myrmeleontidae (dalam keadaan tertentu, bisa jadi ‘makhluk’ tersebut adalah kita sendiri dan ‘kita’ dalam kalimat barusan adalah orang lain). Orang-orang kebanyakan maju, namun sebatas cara berjalan. Pikirannya, seringkali, mengalami kemunduran kualitas. 

Saya terhenyak oleh alinea dalam esai Bagaimana Cara Menghilang (Ilmu Mendatangkan Angin dan Hujan, 2023). Di sana Mumu menulis, “Kita menikah, belanja bulanan, berlibur pada akhir pekan, memesan makan malam di restoran yang temaram, sambil menuntaskan obrolan yang kemarin dan kemarinnya lagi, sambil mengisap rokok, mengecek timeline, dan berkali-kali meyakinkan diri bahwa hidup yang hampa, hidup yang membosankan, hidup yang begini-begini saja, telah cukup dimaknai…” (hlm. 41). 

Pembacaan dua tahun lalu itu demikian magisnya membuat saya lebih bersyukur bila suatu kali, atau berkali-kali, merasa ada banyak urusan melenceng dari hakikat asalnya. Masalah tumbuh tak sudah-sudah. Pemandangan harian potret masyarakat terpinggir. Sementara penguasa sibuk dan rajin berpesta di panggung politik. Pegawai klerek di daerah-daerah macam saya, cuma bisa patuh atas titah-titah ‘strategis’ yang berasal dari kantor nun di jantung Jakarta. 

Meski keistikamahan memaknai hidup yang begini-begini saja berlaku hingga sekarang, naif juga kalau saya bilang kejadian-kejadian di realitas terdekat sudah menihilkan emosional. Paling-paling, dengan pemaknaan yang sama, ketidakidealan itu berakhir dengan penerimaan—jika tidak ingin menyebutnya ikhlas—dan kadang lucu-lucuan saja. Asal dapur masih ngebul dan keluarga masih sehat, cukuplah sebagai penglipur atas berbagai sengkarut itu. 

Tetapi. 

Sebelum tiba pada fase penerimaan, jamak-lumrahnya saya mesti berpusing dahulu pada fase penderitaan. Sifat manusia alami (manusiawi) mendorong saya melakukan tindakan-tindakan natural tertentu sebagai respons terhadap situasi serba-tak ideal. Kata seorang Bhikkhu dalam pertemuan kami sekira tiga-empat tahun lalu di Solo, masalah hanya seperti uwong mampir ngombe (orang mampir untuk minum). Sebagaimana lazimnya orang mampir, ia akan pergi selekasnya. Jika pun datang yang lain untuk mampir lagi, ia juga akan pergi sekelasnya. Begitu repetitif. 

Saya memuji orang gemar simplifikasi. Sebentuk afirmasi positif untuk menghindarkan dari stres berlebih. Karenanya, kepusingan cukup bisa dipahami sebagai rukun—wajib ada. Bila tidak, cacatlah kehidupan kita ini. 

Namun dalam kesempatan ini, di luar simplifikasi yang saya imani itu, saya ingin mengutuk barang sebentar pada pencoleng-pencoleng yang menyebabkan fase penderitaan saya berakhir lebih lambat daripada semestinya. 

Saya—mungkinkah Anda juga?—tidak menyukai orang berperilaku playing victim. Demikian belutnya ia mengonstruksi kondisi menjadi jungkir balik. Ia sebagai korban, orang lain sebagai pelaku. Itu kerap terjadi di dunia kerja. Saya bersyukur pada Tuhan Yang Mahakahar atas berkah yang melingkupi diri ini menjadi seorang pegawai negara. Tak saya sangsikan karunia-Nya itu, sedikit pun. Namun saya tetap ingin mengutuk barang sebentar pada mereka yang, sekufu sebagai pegawai negara, tidak bekerja sungguh-sungguh atau sungguh-sungguh tidak bekerja—entahlah, bahkan lalim atas sumpah jabatan yang tahunan silam diucapkannya di bawah Kitab Suci al-Qur’an. 

Beberapa kali saya pindah dari satu satuan kerja ke satuan kerja lain, perilaku-perilaku itu tetaplah nyata adanya, dan cuma berbeda pemeran. Amanah sudah disangkutan di pundak-pundak mereka, menjalar ke otak, lalu diharapkan akan lahir kerja-kerja yang kompeten yang akuntabel yang berorientasi pelayanan. Tetapi angan tinggallah angan. Ideal dan fakta adalah dua hal lain. Mereka seperti dijauhi atau malah menjauhkan diri dari ilham keinsafan. Mereka seakan terhijab oleh berlapis-lapis dinding yang mampu mencahayai dari laku yang—sejujurnya saya agak jeri menulisnya tetapi kata ini memang harus hadir dan berperan penting dalam tulisan iniberintegritas. 

Sebagai sipil yang merepresentasikan negara, yang dipilih oleh negara pula, dan dibayar oleh negara dari pajak-pajak sipil lain, maka sepatutnyalah kami bekerja seoptimal dan seserius mungkin. Kami presensi tiap hari, rapat hampir tiap pekan, serta melapor berjenjang perihal pekerjaan. Pembagian peran dan tanggung jawab spesifik untuk mencipta keefektif-efisienan. Dengan begitu masing-masing dari kami bisa fokus dan terpusat pada kerja-kerja sesuai bidangnya. Namun, oleh karena satu-dua pencoleng, keadaan tempat kerja menjadi goyah. Pongah yang dipiaranya mengharuskan orang lain menanggung dosa-dosa. 

Beban kerja setumpuk yang mampat terpaksa dipindahtangankan kepada orang lain. Pekerjaan utama orang lain itu kini mulai mampat juga. Dan beralihlah pekerjaan orang lain yang mampat itu pada orang lain, dan lainnya lagi. Begitu repetitif serta mengancam kesehatan jenis apa pun. Irama kerja tak lagi dapat dinikmati. Simtom disharmonis mulai tampak. Jika pun ada uar tawa di sela-sela jam kerja atau istirahat, mungkin tergolong tawa yang paling tidak ikhlas. 

Tiada gading yang tak retak secara tidak langsung mendopamin kita supaya tetap menjaga kewarasan serta terhindar dari perilaku sesat pikir berkepanjangan. Tetapi dalam urusan yang saya ceritakan ini, tidaklah pas atau pantas seorang pegawai negara menyeleweng dari tugas-tugas utamanya hanya atas pengakuan bahwa dirinya bukan manusia sempurna. Berlindung di balik frasa peribahasa. 

Apalagi keadaan itu sudah menahun, sehingga apabila tidak ada hal-hal yang mengancam status quo, besar kemungkinan perangai itu akan istikamah sampai masa pensiun tiba. Jika demikian, maka siapa paling pantas dimintai tanggung jawab di hari pembalasan kelak? Dia sendiri, pimpinannya, atau instansi pembina?

Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang. 

Penggalan bait milik Ebiet G. Ade sekiranya menjadi pratanda supaya racauan ini harus segera saya akhiri. 

Aha, betapa saya terbayang satu-dua asisten pribadi pimpinan pusat instansi pembina, di tengah lengang kerjanya yang begitu mahal di Jakarta, meski sedikit probabilitas, tidak sengaja menemukan dan membaca tulisan saya ini hingga tuntas. Lalu iseng-iseng beliau mencari nomor WhatsApp saya di kumpulan basis data kepegawaian. Lalu beliau iseng-iseng lagi mengirimkan pesan, apa saya bisa bicara dengan Anda? 

Senang hati saya membalas, tentu saja, Pak/Bu, kapan?

Di rencana pembicaraan itu, saya akan bercerita banyak kepadanya. Tapi bukan tentang undur-undur. Bukan tentang cara memaknai hidup yang begini-begini saja. Bukan tentang Bhikkhu Solo atau Ebiet G. Ade. 

Saya akan bercerita kepadanya tentang pekerjaan saya dan irisan-irisannya. Pokoknya cerita yang banyak. 

Banyak sekali.

 

Indarka PP, lahir di Wonogiri (Jawa Tengah). Saat ini bermukim di Tana Paser (Kalimantan Timur). Sehari-hari bekerja di Pengadilan Agama Tanah Grogot. 

 

 

Check Also

PPN XIII: Penyair Tua Mengelap Masa Lalu, Penyair Muda Malu-Malu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *