Soerjopranoto Si Raja Mogok: Pabrik Gula, Pusara, dan Gelar yang Dipotong di Papan Nama

Tubuh Pertama dari Enam Tubuh Soerjopranoto Si Raja Mogok:
Pabrik Gula, Pusara, dan Gelar yang Dipotong di Papan Nama

dokumentasi: Sakatoya

Pabrik yang Sepi, Sejarah dalam Lintasan Lori, dan Upaya Mengalami

Acara dimulai pukul sembilan pagi; kau agak terlambat mendatangi, dan amat menyesal, meski hanya melewatkan pengantar kecil-kecilan sebelum rute perjalanan. Setelah pengantar, para pemandu mengarahkan peserta, yang terdiri dari siswa dan mahasiswa, bergeser dari SMK Ibu Pawiyatan Taman Siswa ke halaman depan Pendapa Taman Siswa. Dan kau mengikuti dari belakang, setelah mengambil jajanan dan selebaran teka-teki silang Soerjopranoto. Situasi yang demikian, bagimu, mengingatkan kala masih jadi pengajar bahasa di sebuah SMK di Sleman. Di halaman depan pendapa, ada dua buah bus; dan kau masuk ke bus kedua: duduk di belakang supir. Bus yang kau naiki dipandu oleh Melani dan Aldo. Dan setelah pengkondisian serta doa keberangkatan, Melani pun membacakan biografi Soerjopranoto; dan bus, bagimu, seketika, menjelma jadi sejenis wahana. Sepasang telingamu menyimak; dan sepasang matamu melihat luar jendela. Ah, apa-apa yang tampak sehari-hari jadi terasa lain sekali, sebab dilihat sambil menyimak narasi tentang Soerjopranoto. Kendaraan melaju ke depan, dan kenangan mengajak mundur ke belakang—

Sepasang telingamu hanyut menyimak lintasan biografi Soerjopranoto: Raden Mas Iskandar, Denmas Landung, gelar Panji, perjalanan pendidikan pertanian, laku kebatinan, istri dari trah HB II serta putri tokoh agama, lalu lintasan performatik yang begitu bergema: merobek ijazah dan memotong gelar kebangsawanan dari papan nama. Kemudian, Melani bergantian dengan Aldo: membaca secuil kisah dan sejenis sejarah Madukormo, yang dulu dikenal dengan Pabrik Gula Padokan, serta lintasannya dengan sosok dan perjalanan Soerjopranoto. Dari Madukismo, Soerjopranoto melakukan performance: menggerakkan massa untuk mogok bersama—karena tak sesuai antara upah dan juga kerja. Dari sana, aksi itu bergerak dan menjalar, memicu aksi-aksi lanjutan di seluruh Jawa. Performance itu telah jadi movement, batinmu kala mendengar narasi itu bertepatan dengan bus yang melintas di jalanan batas kota.

Bus sampai. Sekalian peserta turun; dan menyimak penjelasan dari pihak Madukosmo tentang sejarah dan produksi di sebuah ruang aula—ruang aula yang bersebelahan dengan ruang yang tengah dipakai acara resepsi kawinan. Ah, lintasan pertunjukan! Dan untuk sejenak, kau keluar ruangan: mencari minuman kemasan. Di dalam, setelah kembali, kau dapati informasi, pabrik sedang dalam masa pemeliharaan, sedang masa maintenance. Dan kau membayangkan: Akan melihat pabrik yang tengah tak bekerja. Ah, bukankah itu berarti mengalami pabrik seperti kala Soerjopranoto mengajak buruh-buruk mogok? Lori pun datang! Sekalian peserta diminta naik, berpindah ke pabrik. Lori berjalan pelan; membuatmu juga peserta lain bergurau: Jalan kaki rasanya lebih cepat. Dan kepalamu, sambil menikmati apa-apa yang dilalui, tergoda untuk membayangkan seperti apa lori itu berjalan dan beroperasi di masa silam. Ah, pasti lebih cepat, gumammu. Lalu, kepalamu malah tergoda untuk mengingat sejarah kereta yang berkelindan dengan tanam paksa; dan kala mengingat gula, kau teringat pada sejarah pahit…

Saat memasuki area pabrik, makin terpukau kau pada apa-apa yang kau dapati: lihat, dengar, dan hidu. Ada rel dan besi-besi dari lori yang telah tak terpakai; diam, bisu, dan berkarat, serta ditumbuhi rumput di antara. Seperti masuk ke sesuatu yang lain, ucapmu lirih. Betapa pohonan besar dan rumputan tinggi membuat kesan puitik-performatik tersendiri; ditambah aroma besi dan karat, aroma tebu-rumputan, juga suara decit gerbong-gerbong lori. Lori pun sampai, dan sekalian turun, lantas masuk berkeliling ke pabrik; berfoto, berjalan, merekam, dan berbincang. Amat terpukau kau pada pabrik yang tak sedang bekerja itu. Dan kau tergoda mengubah judul buku puisi Aan Mansyur yang masyhur itu: Melihat Pabrik Tak Bekerja. Mesin-mesin besar, konstelasi akbar, dan sunyi yang lenggang lekas mengisi mata dan telingamu. Seperti inikah pabrik yang sepi—sebab pekerjanya diajak Soerjopranoto mogok kerja? Setelah berkeliling, dan diakhiri dengan berfoto bersama, sekalian kembali ke bus. Di dalam bus, Melani dan Aldo kembali membacakan lintasan biografi Soerjopranoto: dalam perjalanan menuju pasarean dan tempat Soerjopranoto dimakamkan.

Lokus, Situs, dan Apa-Apa yang Menjelma Ritus

Bus berhenti di tepi jalan, dan para peserta berjalan menuju pemakaman. Ah, gang-gang itu mengingatkanmu pada masa kanak… Rombonganmu berziarah lebih dulu, sedang rombongan bus yang satunya sembahyang lebih dulu, dan baru kemudian makan bersama. Di depan area makam itu, kau terkagum; melihat makam dari tokoh besar dan keluarganya berada dalam area perkampungan. Di depan area itu, ada tulisan yang membuatmu terdiam: tulisan bahwa yang berasal dari Gusti akan kembali ke Gusti. Dan tepat di makam Soerjopranoto, kau mengirim doa. Ah, kau tak pandai berdoa; dan kau kirimkan doa pembuka, dan pinta kepada Gusti yang Maha Sunyi supaya memberi ampunan dan limpahan pada Soerjopranoto dan keluarga. Setelah mengirimkan doa, kau tak langsung pergi. Sepasang matamu melihat lainnya yang mengirim doa. Lalu, sepasang matamu terpukau pada apa-apa yang melekat di situ; Semar, dhawuh dan wejangan Soerjopranoto, lafal Allah, Muhammad, dan Al-Quran. Ziarah telah menjadi suatu performa, pikirmu, telah menjadi ritus yang bukan hanya ritus. Dan setelah merasa cukup, kau bergeser untuk sembahyang—lantas menyiapkan diri untuk makan.

Setelah genap mengirim doa, berkumpulah semua di bawah tenda dan dapur warga. Semua peserta, pun panitia, telah genap terkumpul dan bergantian mengambil makanan yang telah disiapkan ibu-ibu. Ada nasi liwet, tahu-tempe, suwiran ayam, dan sambal petai; dan minuman hangat air serai. Setelah semua genap mendapat, Fajar pun menyampaikan tentang Dapur Mardi Kaskaya; dapur yang terinspirasi dari koperasi dan gerakan Soerjopranoto—untuk membantu masyarakat yang kesulitan. Lalu, Bu RT diberi kesempatan berkisah tentang proses memasak, menyiapkan, dan serangkaian latar-belakang serta manfaat makanan yang jadi hidangan. Lalu, semua makan dengan begitu lahap, begitu gandrung. Piring dan gelas, juga sendok-garpu, yang telah rampung dipakai dimasukan ke kotak yang telah disediakan; dan sekalian duduk rapi, menyimak lektur dari Yaser Arafat…

Iringan gending dari Kidjing membersamai lecture; memberi atmosfer liris dan magis. Yaser memulai lecture-nya dengan kisahan tentang nama dari desa-desa yang memiliki rujukan kuat dengan nama pohonan: juga Alas Mentaok yang jadi pijakan mula Mataram Islam. Kemudian, dikisahkannya tentang Ki Juru Kiting—yang semangatnya diteruskan Soerjopranoto. Lantas, digarisbawahinya apa-apa yang telah didapat peserta yang kini jadi penonton dan penyimak. Diceritakan pula tentang Sultan Agung yang di masa akhirnya lebih sering berkantor di dekat makam dibanding kraton pusat. Situs-situs pun dibunyikan Yaser dalam lingkaran masa akhir Soerjopranoto yang “Tapa Mandita”. Dua citra Semar di makam, lafal-lafal Arab dan Jawa, juga motif kawung dijelas-jabarkan. Gending tetap mengalun: memberikan bobot yang kian. Diriwayatkannya pula tentang sebilah wayang Semar yang turut dimakamkan dalam makam Soerjopranoto; lalu disambungnya dengan sebuah ayat yang jadi pegangan Soerjopranoto, lalu falsafah kiblat papat lima pancer dan alur hidup manusia dalam pembabakan tembang-tembang Macapat sebagai akhir lecture

Selepas doa, untuk semua, sekalian kembali bergeser. Dan kau memilih agak akhir. Umbul-umbul yang bertulis pesan, dhawuh, maupun potongan pidato, kau perhatikan lebih saksama. Lalu, kau menyusul yang lain: sembari terpukau pada ziarah, makan dan masak bersama, dan berbincang-menyimak selepas makan yang ternyata begitu performatik. Dan, di saat yang sama, kau mendapati, itu semua adalah upaya menelusuri sejarah dari skala mikro ke makro, relasi antarmanusia, dan pemosisiannya di dunia. Di dalam bus, teka-teki silang dikumpulkan; dan peserta begitu riuh dan antusias, begitu gandrung. Lalu, Melani dan Aldo kembali berkisah tentang lintasan organisasi yang diikuti dan dibuat Soerjopranoto; gerakan, visi, dan mimpi-mimpi juga opsi strategi; serta upaya membantu Ki Hajar dan Taman Siswa. Disampaikan pula tentang pilihan-pilihan yang menolak konfrontasi berdarah—meski ia besar-hidup dan dikenal sebagai petarung di masa muda.

Ijazah yang Disobek, Papan Nama yang Dipotong Pendek, dan Suatu Trayek 

Setelah sejenak istirah, acara kembali bergulir, pertunjukan kembali terlaksanakan. SMK Ibu Pawiyatan Taman Siswa menjelma panggung dan wahana. Peserta yang sudah siap menjadi penonton dengan lembut dijelmakan jadi tamu-tamu agung-karib dari keluarga Soerjopranoto. Sekalian masuk perlahan dan beriringan. Di depan gapura, sekalian orang, termasuk dirimu, terpukau pada papan nama itu, papan nama yang terpotong bagian kirinya: menyisakan nama: Soerjopranoto—tanpa “R.M.”. Ibu Jauharin, istri Soerjopranoto, menyambut begitu hangat di depan beranda. Sekalian penonton, yang menjelma jadi tamu, disambut satu per satu dengan amat; bahkan beberapa disebut nama, nama dari kawan-saudara Soerjopranoto. Empat orang, yang membantu itu keluarga, mengarahkan duduk di sisi kanan dan kiri: di sisi barat dan timur, tiga-tiga, rapi, dibagi utara-selatan pula. Dengan begitu khusyuk, kau menyimak: hanyut pada pengalaman bertamu dan sowan. Gending dan iringan, dari pengeras suara, membawa pada masa silam. Dan sebab tenggelam di situasi bertamu, seperti kebiasaanmu, kau melihat tembok bangunan, sudut-sudut ruangan; dan ketika sadar, tengah berada dalam pertunjukan, kau jadi menyadari, ruangan itu begitu menyatu—

Ibu Jauharin, seperti ibu-ibu pada umumnya di sepasang matamu, berkisah tentang suaminya, tentang keluarganya, tentang masa silam dan harapan masa depan. Namun, di saat yang sama, kau merasa, ia bukan ibu-ibu biasa: ada bobot dramatik-puitik yang lain, yang begitu bergema. Ucapan yang lancar-mengalir didapati sepasang kupingmu, tapi juga kau rasa ada sesuatu yang ditahan, yang tertahan. Ah, seperti kedalaman lautan. Sekalian aktor, yang berperan membantu Ibu Jauharin, hadir begitu teatrikal, membawa piring-piring berisi nasi, garam, potongan telur rebus, dan tempe goreng. Komposisi yang entah bagaimana menggetarkan dadamu. Sejenis masa silam menghinggapi! Dengan lembut, Ibu Jauharin mempersilakan untuk makan—satu piring bertiga, satu larik bersama. Dan kau terpukau, baik sebagai penonton atau tamu… Dan seperti tamu pada umumnya, meski telah karib, kau malu-malu untuk memakan hidangan.

Lalu, dikisahkannya riwayat tentang Denmas Landung, suaminya, kala menetap-bermalam di serambi Masjid Pakualaman. Di sana, kala itu, ucap Ibu Jauharin meriwayatkan, Mas Is bangun malam untuk menunaikan Tahajud, dan mendapati kawannya yang berkisah tengah sakit lapar. Ibu Jauharin berkisah, bahwa suaminya tak paham tentang sakit lapar, dan dijelaskanlah soalan itu oleh si kawan; lantas Mas Iskandar berwudu, sembahyang, dan dari saku pakaian atasnya menggelinding koin. Setelah sembahyang, sambung Ibu Jauharin, diberikannya koin itu kepada kawannya dan berkata: Dari Gusti Allah. Dari sana, ucap Ibu Jauharin, Mas Is menyadari hal yang berharga… Dikisahkan pula oleh Ibu Jauharin tentang bagaimana seorang Soerjopranoto mendapat restu hidup di luar puri—dan belajar nyata. Mas Is, ujar Ibu Jauharin, ragu pada apa yang diajarkan sekolah-sekolah Belanda. Sang Ayah pun memberi restu, sambil tetap memberi pelajaran dan pengajaran tentang bahasa dan sastra Jawa.

Musik mencipta tegang! Empat aktor lain datang dan keluar dari ruang tamu, keluar dari pintu yang tua itu. Mereka memberi ijazah dan bolpoin pada tiap penonton di area rumah, pada tamu-tamu yang datang berkunjung. Lalu, seperti yang kau duga, setelah meminta menuliskan nama masing-masing di sana, dengan begitu dramatik, Ibu Jauharin memberi arahan pada sekalian untuk merobek ijazah itu! Inilah yang dilakukan Mas Landung ketika ada ketidakadilan dan penghinaan, ucap Ibu Jauharin dengan mata tajam, terang, tapi begitu dalam berkaca-kaca. Ibu Jauharin kembali melanjutkan kisahnya tentang suaminya yang marah sebab kawannya diejek dan dihinakan Belanda. Kerahnya ditarik oleh Mas Is dan dipukul sampai berdarah, terang Ibu Jauharin. Namun, Ibu Jauharin melanjutkan, yang dibenci oleh suaminya bukan Belanda, tetapi penjajahan dan ketidakadilan. Dan disusullah kembali dengan kisahan Ibu Jauhari tentang bagaimana ia dan suaminya sempat bertetangga dengan keluarga Belanda—dan baik-baik saja: sebab relasi yang terjalin setara dan saling memanusia.

Dikisahkan pula adegan performatif, yang bagimu, bobotnya begitu amat itu! Dikisahkannya tentang papan nama yang dipotong, yang digergaji pada sebuah forum, sebagai bukti gelar tak genap berarti, sebagai bukti bahwa itu mesti ditanggalkan agar bisa berjuang bersama dengan barisan rakyat dan buruh. “Siapa pun yang menginginkan gelar ‘R.M’ bisa memakai gelar saya. Adapun yang ingin gelar ‘R.A.’ bisa memakai gelar istri saya…” Dan bocorlah pula biografi Ibu Jauharin tentang kesedihannya sebab sang suami tengah dipenjara sebab pidato. Namun, ia adalah perempuan tegar, adalah pasangan kuat. Dikatakannya, suaminya sudah sering ditahan; tapi itu kali yang dikeluhkannya ialah anak-anaknya yang sepuluh, khususnya yang telah besar-besar, dan keponakannya yang lima yang hidup bersama. Disampaikannya, salah seorang putra yang tak bisa menyelesaikan sekolah dan mesti bekerja demi menjaga kestabilan keluarga; dan disampaikannya pula, dengan rasa syukur, salah satu putranya yang lain, adik dari putranya yang tadi dikisahkan, kemudian bisa menyelesaikan sekolah. Diceritakannya pula saudara dan kawan-kawan yang membantu; juga upayanya guna tetap mendayakan organisasi perempuan yang dibangun agar tetap bisa tegak berdiri bersama.

Musik kembali memberi sejenis arahan perasaan. Ibu Jauharin mengambil kembali sobekan ijazah yang tadi disobek-dilempar; lalu melakban. Ditegaskannya, itu bukanlah upaya menarik ucapan atau perbuatan, tapi sebagai tanda dan pengajaran. Lantas, dimintanya para penonton, para tamunya, kawan dan saudara guna merapat berfoto bersama, sebab hendak dikirimkan ke Bandung, untuk suaminya yang tengah ditahan Belanda: agar Soerjopranoto tetap kokoh dan kian bersemangat. Dan pertunjukan pun rampung: Ibu Jauharin masuk kembali ke rumah, dan para penonton yang menjelma tamu pun juga pulang, kembali ke rumah masing-masing.

Linimasa Media, Gema setelah Tubuh Pertama, dan Beberapa Nota

Setelah pertunjukan dan serangkaian perjalanan dari rangkaian acara “Soerjopranoto: Enam Tubuh Si Raja Mogok” garapan Komunitas Sakatoya, di hari pertama, kau tak langsung pulang; dan memilih duduk-duduk dulu di area pertunjukan sambil berbincang dengan kawan-kenalan. Dan sambil menyimak dan berbincang, pandang matamu melihat langit mendung itu; bertanya-tanya: Apa yang dirasa Ibu Jauharin selepas para tamunya pulang, dan hujan deras datang? Kau merasa cukup, dan memutuskan pulang; pamit kepada kawan-kenalan. Di jalan, kau mendapati hujan; dan sebab jarak yang kau rasa dekat, kau terus melaju; dan sesampainya di rumah, tetap kau dapati baju yang cukup basah. Setelah berganti pakaian, berbagi kisah tentang apa yang kau lakukan seharian dengan orang rumah, kau masuk ke kamar dan menikmati segelas kopi yang dibuatkan ibumu. Dan sebab begitu lelah, tanpa genap sadar, kau tertidur kala merebah—tertidur di petang yang basah.

Ibu membangunkanmu, sebab telah Magrib; dan masuk waktu sembahyang. Ah, konyol benar, batinmu, tertidur setelah beberapa seruput kopi. Setelah sembahyang, dan makan, malam kau membuka gawai: melihat linimasa yang ramai tentang tokoh bergelar yang tak mencerminkan gelar dan keilmuan—dan seketika apa yang kau dapati seharian tadi jadi kian bergema. Lalu, selepas sembahyang lagi, kau bergeser ke ruang kerjamu, ruang yang dulunya adalah kamar nenekmu. Di sana, kau melihat cermin yang dibelikan nenekmu; dan berkaca… Kau lihat papan tulis kecil yang tertera catatan tanggal pengumpulan ujian sekolah tinggi yang belum kau kelarkan; lalu kembali bercermin, melihat pantul diri, dan teringat tentang bapak dari ibumu, suami dari nenekmu yang menanggalkan gelar dengan suatu alasan: yang kini jadi masuk akal.

Dan kau ambil kopimu dari kamar, juga beberapa kertas buram, lalu membuat catatan kecil-kecilan. Bagimu, pertunjukan “R.M.  Soerjopranoto” yang ditulis-sutradarai Miftahul Maghfira Simanjuntak terasa singkat dan padat; dan rasa singkat itu begitu bergema: memicu dirimu untuk membayangkan sesuatu setelah pertunjukan selesai, setelah Ibu Jauharin masuk ke rumahnya kembali! Amat menarik, tulismu di kertas buram itu, bagaimana Miftahul mengangkat istri dari tokoh untuk mencerita-sampaikan tokoh tersebut: yang dalam hal ini adalah Soerjopranoto. Dengan pilihan demikian, bagimu, soalan yang ada di dalam rumah, yang ada di ruang-ruang terdalam, menjadi mungkin disampaikan dan dipertunjukan, meski berbasis sejarah spekulatif sekalipun. Dan sebab disampaikan istri, ibu, dan perempuan yang juga berjuang, bagimu, bobot narasi jadi berkisar antara liris dan dramatis, antara lembut dan penuh dengan ketegangan.

Di lembar kertas buram, kau tulis, soalan yang belum genap maksimal dimanfaatkan adalah tempat dan durasi itu sendiri. Sebab berpijak pada kesadaran side-specific, betapa pertunjukan semestinya bukanlah hanya memindah panggung; tapi juga memanfaatkan segala yang ada di ruang dan waktu itu, bahkan situasi yang mungkin, di tempat dan durasi yang dipilih. Betapa latar yang umumnya buatan, sebab ada di dalam gedung teater, pada pertunjukan itu kali, jadi nyata: gedung tua, pohonan, rumputan, udara, dan lain sebagainya. Andai hujan atau gerimis turun, itu adalah hujan dan gerimis yang asli, yang nyata. Namun, kau juga menyadari, respons pertunjukan dan siasat yang demikian akan kuat bila seluruh komponen telah siap. Aktor yang telah siap dan merasuk karakter; naskah yang kokoh tapi juga cair, sehingga membuka ruang tafsir penyesuaian dengan situasi-durasi; dan artistik-musik yang bisa menunjang side-specific.

Bagimu, Ninda Fillasputri yang jadi Ibu Jauharin amat memukau; tetapi bagaimana keaktoran tubuh itu bereaksi dengan ruang dan benda-benda mesti jadi perhatian. Jika Ninda telah benar jadi Ibu Jauharin, akan muncul kesadaran: bagaimana Ibu Jauharin ketika mendung bersikap, bagaimana akan berlaku saat hujan dan tamunya masih ada di kediamannya, dan bagaimana akan memuncul bahasa-bahasa yang khas pribadi. Tentu, tiga dimensi ketokohan mestilah diperhatikan, bukan hanya oleh aktor, tapi juga sutradara dan penulis naskah—kala menyadari kepastian tempat pertunjukan. Ah, kau sungguh suka iseng membayangkan andai hujan benar turun kala itu pertunjukan; dan serangkaian alat elektronik itu tak menjadi soal. Betapa kau tergoda membayangkan bagaimana Ibu Jauharin, juga Ninda, merespon hujan itu. Hujan yang andai turun itu akan jadi bagian dari dramatik. Hujan yang nyata! Apa Ibu Jauharin akan tetap bisa berkisah, bila hujan begitu deras menyamarkan suaranya sendiri? Apa air matanya akan jatuh bersama hujan dan disaksikan para tamunya? Bahkan dari sisi penonton-tamu: Mestikah kami pulang atau menunggu hujan reda?

Dan kau tuliskan pula pada lembar kertas burammu itu tentang soalan yang membuatmu iseng bertanya sendiri setelah menyoal tentang tempat dan durasi. Kapankah peristiwa pentas itu berlangsung? Dengan lekas, kau bisa menjawab tanyamu: Ketika Soerjopranoto ditahan di Bandung. Namun, kau masih bertanya: Berapa usia Ibu Jauharin—kala peristiwa itu terjadi? Lalu: sudahkah itu muncul pada tubuh dan kebahasaan si aktor? Kepalamu jadi lebih iseng bertanya: Apa bahasa yang muncul di kurun waktu linimasa itu memang begitu? Meski begitu, soalan yang sungguh mengusik, walau mungkin tak genap genting, bagimu, adalah bolpoin dan minuman botolan yang dihadirkan kala pertunjukan. Bukankah itu sangat masa kini sekali? Ah, ucapmu sambil terhenti menulis, apa aku terlalu memandang realis? Kau gelengkan kepala, mengusir pikiran; kembali membuat catatan. Pertanyaan iseng lain yang membuatmu terusik adalah posisi duduk, di mana Ibu Jauharin duduk di bangku, dan tamunya lesehan pada tikar. Setelah dari pertunjukan itu, kau baru merasa terusik. Seperti apa posisi Ibu Jauharin dan para tamunya? Apa sebab beliau sepuh jadi mesti duduk di kursi, apa penonton memang diposisikan sebagai tamu yang lebih muda hingga wajar duduk di bawah dan lesehan saja, atau sebab soalan teknis saja—seperti keterbatasan kursi?

Kau meminum kopimu, dan genap menyelesaikan catatan kecil-kecilan—yang esok lusa akan dipindah ke laptop dan ditimbang-perbaiki. Ah, kau ingin menonton tubuh lain Soerjopranoto; tapi tanggung jawab lain mesti kau kelarkan lebih dulu. Dan kau dapati bapakmu, yang jebolan Taman Siswa itu, masuk ke ruang kerjamu; menengok apa yang dilaku anaknya, lalu berkata: Istirahat, esok dilanjut lagi. Dan kau mengiyakan. Andai ada yang bertanya tentang bagaimana pertunjukan “R.M.  Soerjopranoto”, kau ingin sekali berkata, bahwa pertunjukan itu menarik, padat dan memberi gema—dan bila segala aspek bisa dimanfaatkan lebih, makinlah semua itu. Sambil mematikan lampu, kau menyadari, satu pertunjukan sudahlah membuat bergeser: dari pertanyaan (si) apa Soerjopranoto ke bagaimana menjadi Soerjopranoto. []

(Yogyakarta, Desember 2024)

Polanco S. Achri lahir di Yogyakarta, Juli 1998. Ia adalah penulis puisi, prosa-fiksi, dan esai-esai tentang sastra dan seni. Ia tergabung di Komunitas Utusan Negeri Dongeng sebagai penulis naskah dan penata artistik. Selain menulis, untuk keperluan pertunjukan dan pameran, ia juga mengelola Pendjadjaboekoe dan Majalah Astro. Kini, ia tengah menempuh studi sastra lanjut di kampus utara Yogya. Ia dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.

Check Also

Merpati Balap: Kesetiaan, Persaingan, dan Romantisme Jaket Kupluk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *