Membaca Jejak Perantau dan Petualang dari Dua Buku Puisi

Bagi penyair, perjalanan serupa momen perenungan akan berbagai fase kehidupan.   Sebagaimana halnya pasangan penyair, Indrian Koto dan Mutia Sukma yang ‘memotret’ perjalanan mereka dalam buku kumpulan puisi “Harum Serbuk Tembok” karya Mutia Sukma dan “Menolak Menjadi Batu” karya Indrian Koto. Kedua buku tersebut menjadi topik perbincangan pada acara Perayaan Pinggir Kali, 31 Desember 2024, di sekretariat Jejak Imaji, Yogyakarta. Diskusi dipandu oleh Michael Djayadi selaku moderator, serta menghadirkan Eko Triono sebagai pembahas.

Harum Serbuk Tembok: Refleksi Perjalanan Seorang Penyair dan Ibu

Buku ketiga Mutia Sukma yang berjudul Harum Serbuk Tembok menandai perjalanan hidup sang penulis, yang sekaligus berperan sebagai seorang ibu, dengan segala kompleksitas dan tantangannya.

Sebagai seorang ibu, Mutia tidak hanya berhadapan dengan dunia luar, tetapi juga dengan perubahan dalam tubuh dan perasaan yang terkait dengan peranannya tersebut. Ia menyadari bahwa tubuhnya bukan hanya miliknya sendiri. Ada tanggung jawab yang tidak dapat digantikan oleh orang lain, seperti melahirkan dan menyusui. Mutia meyakini bahwa suara perempuan yang khas dan berbeda perlu didengarkan.

Dalam buku Harum Serbuk Tembok, Mutia seolah menghidupkan sosok anak kecil dalam dirinya. Ia menelisik perjalanan menuju ingatan di masa lampau dan melukiskannya ke dalam puisi. Dalam buku ini Mutia banyak bercerita tentang Kotagede, sebuah daerah di Yogyakarta yang menyimpan banyak ingatan akan masa kecilnya. Penceritaan tersebut begitu mendetail hingga menyentuh dan memberikan makna mendalam pada benda-benda material, seperti tembok, perangko, dan toples-toples gula.

Menolak Menjadi Batu: Perjalanan untuk Menemukan Pulang

Jika pada buku kumpulan puisi Indrian Koto sebelumnya, yaitu “Pledoi Malin Kundang”, menandai periode perjalanan, maka buku “Menolak Menjadi Batu” merupakan refleksi sang penulis di masa kini perihal masa lalu dan masa depannya. Bagi penulis kelahiran Sumatera Barat tersebut, masa depan adalah tentang pulang dan kembali. Sejauh-jauhnya pergi, pada akhirnya ada keinginan untuk kembali.

Indrian Koto tidak hanya melihat masa lalu sebagai kenangan, tetapi sebagai sesuatu yang tetap relevan dan membentuk siapa dirinya di masa kini. Ia menggali pengalaman masa lalu dan menghubungkannya dengan realitas saat ini, menciptakan sebuah jembatan antara keduanya. Masa depan, dalam konteks ini, tidak dilihat sebagai sesuatu yang jauh atau terpisah, melainkan sebagai sebuah proses berkelanjutan, sebuah “pulang” ke diri sendiri yang tak pernah benar-benar selesai.

Penyair adalah Seorang yang Bersaksi di Tepi Jalan

Eko Triono menyatakan bahwa seorang saksi juga dapat sekaligus menjadi pelaku, dalam konteks perjalanan. Ia juga mengatakan bahwa semakin kita pergi, semakin kita kehilangan sebagian dari diri kita, dan kita merasa memiliki hutang untuk kembali ke tempat asal kita, untuk mencari makna yang mungkin terlewatkan.

Menurut Eko, penyair punya kecenderungan menyimpan tempat, lalu membenturkannya dengan tempat yang lain. Tempat di mana kita dilahirkan menjadi konsepsi awal tentang hidup, dan dari situ dimulailah petualangan emosional kita. Untuk menciptakan makna baru, penyair harus membandingkan dua hal yang berbeda, agar dapat menggali kedalaman pengalaman yang belum terungkap.

Selain menandai perjalanan kehidupan masing-masing, diterbitkannya dua buku puisi tersebut rupanya merupakan sebuah penanda perjalanan 20 tahun menulis bagi Indrian Koto dan Mutia Sukma secara pribadi, serta menandai 10 tahun pernikahan sepasang penyair tersebut.

Penulis: Aqilah Mumtaza
Pemeriksa Aksara: Jemi Batin Tikal
Foto: Wijatmiko & Bagus

 

Check Also

Dinamika Komunitas: Menjaga Nyala Sastra di Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *