Judul: Aku Suka Caramu
Penulis: Audelia Agustine
Ilustrator: Haikal
Ukuran: 29 × 21 cm
Penerbit: Litara
Tahun: 2015
ISBN: 978-602-1101-21-6
Harga: Rp52.500,-
Kategori: Cerita anak bergambar
Dari sekian buku cerita, yang lebih sering minta diceritakan oleh anak-anak, terutama Rumbia, justru Aku Suka Caramu. Padahal pada saat bersamaan ada buku lain, seperti Mantel Emas, Misteri di Pasar Terapung, Dunia Tanpa Roda, dan beberapa buku lain yang dibeli lebih duluan. Saya tidak tahu pasti apa penyebabnya dan bagaimana pula proses seorang anak bosan terhadap sebuah buku, tapi bisa bersetia untuk buku yang lain.
Bagi saya, sejak awal melihat buku yang ditulis oleh Audelia Agustine dan diilustratori oleh Haikal ini memang menarik. Judul: Aku Suka Caramu. Cara apa yang disukai oleh aku ini adalah pertanyaan yang muncul pertama kali. Ilustrasi: ada dua anak di bagian sampul depan. Satu anak laki-laki yang lebih besar memegang semacam tongkat, sementara gadis kecil mengikuti di belakangnya. Mereka sedang berjalan menuju sebuah tempat.
Setelah mengetahui buku tersebut menceritakan Rano yang difabel tunanetra, saya langsung ingin membelinya. Meski begitu, kesempatan itu baru datang ketika saya menghadiri bazar buku di Nusantara Dharma Book Festival (2024).
Saya menganggap buku ini berbeda dibanding buku-buku cerita anak lainnya, terutama dalam urusan tema. Saya merasa perlu meneruskan cerita itu kepada Rumbia dan Kal. Saya ingin mengajak mereka untuk memahami dunia ini dengan lebih luas, dari berbagai arah. Mereka perlu berkenalan dan kemudian memahami bahwa dunia ini tidak semata terang, tetapi juga gelap, baik dalam arti sesungguhnya maupun metafor.
Buku terbitan Litara ini bercerita tentang Rano yang ingin pergi ke pesta ulang tahun Ali, temannya. Di perjalanan, Rano berangkat bersama Wuri, seorang gadis kecil, yang entah awal munculnya dari mana. Satu tokoh lagi yang juga membersamai mereka adalah seekor kucing. Tidak disebutkan namanya siapa. Pembaca diberi ruang untuk menamainya. Kehadiran kucing ini menarik karena ekspresif setiap kali Rano menemui beberapa petunjuk jalan.
Persoalan dimulai ketika Wuri ingin menawarkan bimbingan agar Rano bisa sampai ke rumah Ali dengan lancar. Namun, Rano menolaknya‒saya tidak tahu apakah diksi tersebut tepat. Dari penolakan inilah alur cerita kemudian dibangun dan menyodorkan sebuah wacana kepada pembaca: kemandirian.
Wuri, atau barangkali kita lupa, bahwa manusia tidak hanya memiliki satu indra. Indra-indra manusia, selain penglihatan, dapat dikerahkan semaksimal mungkin. Itulah yang ingin diketengahkan oleh buku ini. Rano mendayagunakan indra penciuman ketika melewati tukang sate‒ya, jelas, prototipe tukang sate adalah Madura. Ia tahu harus berbelok ke kanan. Kemudian, Rano menggunakan indra peraba ketika sampai di sebuah tembok yang terbuat dari batu kali. Ia tahu setelah itu harus belok ke kiri. Ketika hampir sampai rumah Ali, Rano mendengar gonggongan anjing. Saat itu, ia tahu hanya perlu berjalan lurus sedikit sebelum akhirnya sampai.
Tak cukup itu, ketika pesta ulang tahun dimulai dan anak-anak sudah mulai makan berbagai kudapan, Rano justru lebih tahu makanan apa saja yang dihidangkan dengan mendayagunakan indra pengecapnya. Di sana ada gemblong, kue cucur, kembang goyang, dan sebagainya.
Bila diamati lebih jauh, menurut saya, sikap antara Wuri dengan Rano dipengaruhi oleh perbedaan paradigma nilai yang dipegang. Wuri sebagai representasi orang pada umumnya memegang teguh‒karena dari awal sampai akhir dia tetap ingin membimbing Rano‒pada nilai gotong royong (yang pada realitasnya diksi tersebut cenderung politis karena kerap menjadi jargon kampanye dan kepentingan lainnya), yaitu saling menolong. Sementara itu, Rano sebagai yang tidak mewakili orang pada umumnya berpegang‒dan sudah menjadi kewajaran‒pada kemandirian. Walaupun berbeda dengan Wuri, ia sama dalam kemampuan, hanya berbeda cara. Berkaca dari kondisi tersebut, kiranya nilai-nilai sosial perlu memperhatikan di mana dan pada siapa ia akan bekerja.
Terlepas dari itu, Wuri sudah mencoba ke arah sana dengan memilih kata “membimbing” dibanding dengan kata yang lain misalnya. Diksi tersebut terkesan lebih deep dan memiliki cakupan yang lebih luas. Ada nuansa kepedulian, tetapi ada pula kecanggungan apakah yang akan ia lakukan tepat atau tidak.
Rano punya banyak cara mengenali dunia dan sampai ke rumah Ali. Karena itulah, Wuri menyukainya, begitu juga saya, Rumbia, dan Kal.
Penulis: R. Ari Nugroho, Pemimpin Redaksi di Jejak Pustaka. Mengajar di Atap Bahasa. Jacques Ranciere dan Subjek Politik ’65 adalah buku pertamanya. Tinggal di Yogyakarta.