
Pria Tua Casio
Melenturkan tubuhnya
seperti karet yang renggang
di bawah matahari
terik—membuat tulangnya
agak berderik.
Ia sudah tidak tahu
cara membaca waktu.
baginya hanya ada tiga
waktu.
untuk bangun
untuk hidup
untuk tidur
Jika sudah waktu,
ia akan mengingatkan
dirinya sendiri—sudah waktunya!
Ia adalah pria yang kesepian.
punya segalanya tapi waktu.
mula-mula ia selalu mencoret
setiap detik yang berlalu
di dinding. sekedar untuk
mengingat sudah berapa lama
ia berada di dunia.
tetapi sekarang—ia lupa
waktu berdetak untuk apa.
selalu maju untuk apa.
Pria tua casio
masih gagah dan tampan
di usia senjanya,
lentur dan pintar.
bertanya-tanya
sampai kapan waktu?
entah. itu kutukannya.
sampai kapan?
setidaknya
masih ada satu dekade
lagi, sebelum jantungnya menyerah.
Jatuh Dalam Repetisi
Seekor kucing,
menjatuhkan toples
berisi makanan kucing.
berceceran di meja
makan.
kau merapikannya.
Kucing itu lalu menjatuhkan
toples berisi nastar,
makanan manusia
berceceran di
lantai kamarmu.
kau kumpulkan remah-remahnya.
Tak lama, kucing itu
menjatuhkan gelas
favoritmu. gelas dari
pernikahan, pasangan yang
tidak kau kenal.
kau raup serpihannya.
Sesuatu yang jatuh
selalu berceceran, meski
tidak selalu kucing
yang menjatuhkannya.
dan yang jatuh pun
tidak selalu benda mati.
bisa saja—ya—dirimu.
tetapi tetap selalu
kau punguti
satu per satu.
kepingannya.
lantas, selalu merapikannya.
Penyair, Dali Daulay, lahir di Medan, 28 Juli 2001. Lulus dari Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta. Pernah bekerja sebagai penulis untuk Malaka Project dan kini mengulang film untuk Apa-Apa Tentang Film. Ia juga gemar menulis apa saja yang dilihat dan dialaminya sehari-hari, yang kemudian dibagikannya melalui laman Medium pribadi