Jakarta, 11 hingga 13 September 2025, Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII, orang-orang berulang menyampaikan makalah-makalah bicara perihal ini-itu, tetapi luput memberi kesempatan penyair muda untuk bicara. Penyair muda sekadar penonton dan penggembira pemberi tepuk tangan. Duduk terpisah-pisah dalam barisan tanpa bisa membagi gagasan-gagasan serta keresahan sastra. Kegiatan berisi penyair tua yang mengisahkan kejayaan masa lalu.
PPN sekadar kumpul-kumpul pikiran kelompok “lama” mengelap-elap masa lalu, berkisah pernah menang ini-itu, juara seabrek penulisan puisi, antologi-antologi penuh satu lemari, ya begitulah. Penyair muda disuguhi mitos-mitos usang. Penyair muda mulanya berpikir PPN ialah forum ketika semua suara diberi kesempatan bicara dengan porsi sama untuk merumuskan arah perkembangan puisi di masa kini maupun masa depan.
Penyair muda merenung, sastra kita rasa-rasanya tak beranjak dari mental lama, feodalisme. Panggung-pangung yang tersedia seolah hanya etalase berdebu untuk penyair senior memajang masa lalunya yang telah lewat dan berkarat.
Penyair muda berkisar antara perdebatan tak selesai, makalah-makalah mengapung. Penyair muda mengetuk pintu-pintu penyair tua, tetapi pintu itu terkunci, membiarkan keluhan generasi muda menguap. PPN tak lebih dari kegiatan reuni-reunian semata. “Sabar adalah kunci, nanti ada kok masanya kalian penyair muda bicara, berkoar bareng kawan-kawan sastra yang dulunya doyan meributkan ini-itu.”
Penyair muda menangkap kesan: tulis dan ikutilah antologi-antologi puisi bermacam, lalu karanglah cerita nostalgia, dulu kami pernah ini-itu, ke sana-ke sini, lalu mengajukan diri untuk meraih penghargaan setelah 40-50 tahun berkarya.
Acara pertemuan ini semacam hore-hore saja, berisi nyanyi-nyanyi, joget bareng. Lalu dinihari ada yang mengirim pesan, “yuk pulang, besok bangun pagi, mandi, tulis 10 puisi, lalu kirimkan untuk antologi.”
Para penyair muda datang jauh dari berbagai daerah, hanya untuk “diminta” duduk menyimak kelompok “lama” dengan omongan perihal puisi hari ini. Penyair muda mengantuk mendengarnya, sebab kelompok itu hanya menjabarkan algoritma gambar-gambar statistika tanpa melibatkan isu mutakhir yang sedang berlangsung di era kiwari. Tak pernah ditanya bagaimana penyair muda memandang teknologi yang kian deras tak terbendung.
Penyair muda bertanya satu-dua, tetapi itu belum cukup terjawab, bahkan terkesan bahwa kelompok itu hanya sekadar ceramah ilmu teknologi belaka, tanpa melibatkan pengalaman-pengalaman tubuh teks sastra dan kaitannya dengan rekayasa teknologi. Rasa-rasanya paparan demikian jadi dialog satu arah saja.
Forum PPN XIII sudah selesai. Baiklah, para penyair muda, sekarang apa lagi yang hendak kalian lakukan?
Penulis: Muhammad Daffa, kelahiran Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 1999. Salah satu perwakilan peserta dari generasi muda PPN XIII 2025. Puisi-puisinya tersiar di Koran Tempo, jernih.co, omong-omong.com, Majalah Mata Puisi, Majalah Sastra Kandaga, dan Harian Rakyat Sultra. Bergiat sebagai tenaga pengajar Kelas Prestasi di sebuah sekolah menengah pertama. Dapat ditemui di akun instagramnya: @sebermulahujan.