
“Dark Solanum” merupakan proyek eksperimentasi Otniel Tasman selaku koreografer untuk mengekspresikan kekuatan tubuh dalam ambiguitas, kegelapan, dan keterhubungan antarkultur. Proyek ini telah melalui serangkaian proses inkubasi, yang dimulai dari “Dark Solanum (Beyond Idea of queerness)” yang mendapatkan Hibah Seni Kelola tahun 2025 dan dipentaskan secara perdana di Artjog 2025, kemudian berlanjut ke “Dark Solanum+” dipentaskan di Goethe Institut Jakarta sebagai bagian dari presentasi residensi REFLEKT di Berlin, Jerman, yang diselenggarakan oleh Goethe-Institut Asia Tenggara.
Dalam proses penciptaannya, Otniel berkolaborasi dengan Nova Ruth dan Agha Praditya sebagai komposer, serta Mariska Setiawan sebagai soprano. Pada tahun yang sama, Otniel juga mempresentasikan gagasan karya ini dalam program Dance Now Asia di Taipei serta program pendampingan praktik artistik koreografi kontemporer se-asia oleh Dance Nucleus Singapura bersama Melati Suryodarmo dan Nanako Kazima.
Pada pengembangannya yang terbaru yaitu “Dark Solanum (extended version)”, Otniel Tasman mengarahkan perjalanan karya ini pada proses re-learning atas sejarah tubuh serta posisi tubuhnya sebagai penari lengger bersama Zamzuriah Zahari sebagai penari makyong, dalam lanskap sosial budaya di Indonesia dan Malaysia. Proses kreatif ini berupaya untuk menyadari kembali cara berpikir tentang alam yang telah terkolonisasi. Fenomena Solanum (tomat) dijadikan sebagai metafora utama untuk menjelajahi konsep pemikiran dan strategi artistik atas karya ini.
“Dark Solanum (Extended Version)” berfokus pada pembacaan tomat secara saintifik dan spiritual yang disejajarkan dengan tubuh lengger dan tubuh makyong. Tomat, secara purbawi, menjadi artefak hidup dari alam yang membuktikan tidak adanya seksual biner. Hubungan biologis antara manusia dan tomat menjadi titik penting untuk memahami fluiditas gender yang berfungsi terhadap ekosistem alam–termasuk peran-peran tarian dan nyanyian ritus kesuburan dari Lengger dan Makyong.
Karya ini menjadi bagian dari presentasi Otniel Tasman sebagai seniman terpilih dalam Maybank Foundation Artist Fellowship Programme bekerjasama dengan Kaki Seni Kolektif, yang dipentaskan pada 12-13 November 2025, di Maybank Tower, Kuala Lumpur, Malaysia, serta melibatkan kembali Mariska Setiawan (Soprano), Agha Praditya (Komposer), S.Sophiyah.K (Art Director) dan Kristanto (Skenografer).
Kegiatan ini merupakan bagian dari MTN Presentasi, salah satu kegiatan dari Manajemen Talenta Nasional (MTN) Seni Budaya di bawah Kementerian Kebudayaan RI yang menjadi wadah bagi para talenta untuk menampilkan karya, memperoleh eksposur, serta mendapatkan apresiasi dari publik dan pelaku industri.
MTN Seni Budaya sendiri merupakan program prioritas nasional yang bertujuan menjaring, mengembangkan, dan mempromosikan talenta seni budaya Indonesia secara terstruktur dan berkelanjutan, sekaligus menghubungkan mereka dengan berbagai peluang pengembangan kapasitas dan akses pasar, baik di tingkat nasional maupun global.
Proyek “Dark Solanum” menjadi studi penting mengenai sinergitas antara seni, rekognisi, dan dukungan lintas sektor. Narasi yang dibangun memetakan jejak kolaborasi internasional yang signifikan, dimulai dari penguatan hubungan diplomatik Indonesia-Jerman yang membuka akses seniman Indonesia untuk berkarya di Jerman, hingga dukungan dari pemerintah melalui program Dana Indonesiana dan Manajemen Talenta Nasional Seni Budaya yang menegaskan Indonesia sebagai leading country di Asia Tenggara dalam dukungan terhadap seniman. Dukungan sektor swasta dan lembaga internasional, seperti Maybank di Kuala Lumpur, turut memperluas dampak artistik secara regional.
Tujuan akhir dari keseluruhan jejaring dukungan ini adalah agar karya Dark Solanum dapat terbaca oleh publik dan media sebagai kontribusi penting dalam wacana tubuh, gender, dan identitas budaya kontemporer di Asia Tenggara.

Tentang Otniel Tasman
Otniel Tasman adalah seorang seniman pertunjukan, koreografer, dan peneliti dan produser festival asal Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Berakar dari tradisi Lengger Lanang, tari ritual lintas gender khas Banyumas, praktik artistik Otniel menelusuri pertemuan antara spiritualitas, sensualitas, dan estetika dekonstruktif. Melalui kekaryaannya, ia meneliti bagaimana tubuh berfungsi sebagai arsip pengetahuan budaya, perjuangan politik, dan transformasi spiritual.
Otniel menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan saat ini tengah menempuh studi doktoral yang berfokus pada konsep Jawa Nyawiji, penyatuan energi maskulin dan feminin dalam praktik ritual. Pendekatannya menjembatani kosmologi tradisional dengan wacana queer kontemporer, menjadikan Lengger sebagai epistemologi hidup yang menantang sekaligus menggabungkan dikotomi gender dalam identitas ala Barat.
Karya-karya penting Otniel antara lain Dark Solanum: Beyond the Idea of Queerness (2023–sekarang), yang menelusuri kesejarahan tubuh melalui metafora tomat (solanum) sebagai simbol ambiguitas purba, kesuburan, dan hasrat; serta Lengger-Gallogallina (2022), kolaborasi lintas samudra dengan seniman Nikaragua Elyla yang mengeksplorasi solidaritas queer dekolonial. Karya-karya tersebut telah dipresentasikan di Indonesia, Jerman, Brazil dan Malaysia serta berkontribusi pada percakapan kritis tentang penjelmaan tubuh queer dan performativitas pascakolonial di Asia Tenggara.
Otniel juga merupakan penggagas Festival Jagad Lengger, sebuah platform sosial-budaya untuk merevitalisasi tradisi Lengger Banyumas melalui pertukaran lintas generasi dan ketahanan budaya lokal. Buku terbaru saya, Lengger is My Religion (2024), merefleksikan pengalaman hidup sebagai pelaku Lengger, menyigi pertemuan antara iman, tubuh, dan seni.
Ketiketik.com Mengetik dan Menalar Perubahan