Salah satu tokoh sastra terbesar abad 20 ialah Jorge Luis Borges yang berasal dari negeri sepakbola, Argentina. Ia merupakan penulis prosa, esai, puisi, kritik, dan kerja-kerja penerjemahan. Lelaki kelahiran 24 Agustus 1899 itu pernah bekerja sebagai kepala perpustakaan nasional di negaranya. Tak sedikiti yang curiga—baik dari kalangan penulis atau pembaca—bahwa Borges membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan tempat ia bekerja.
“Aku membayangkan bahwa surga itu merupakan sebuah perkampungan sederhana yang di tengahnya terdapat perpustakaan besar dan berisi buku-buku dari berbagai zaman dan bangsa.” Sabda yang diucapkan Borges tersebut sangat legendaris di kalangan para pecinta buku. Bagi para pecinta buku, anggapan tersebut memang nyata benarnya. Perpustakaan—dengan kualitas dan kuantitas bacaan yang baik—di benak para pembaca tentu adalah “kepingan” surga di dunia tempat orang-orang hidup.
Hampir semua penulis di bawah kolong langit, jika ditelusuri sejarah proses kreatifnya, bisa dipastikan memiliki ikatan dengan perpustakaan, baik perpustakaan umum atau pribadi. Kecintaan pada buku pada tingkatan tertentu bisa dikategorikan pada tahapan “gila”, hal itu misalnya bisa kita lihat di buku bertajuk The Man Who Love Book too Much. Buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan tajuk Gilkey si Pencuri Buku.
Tokoh sentral dalam buku ini adalah seorang yang bernama Gilkey. Ia merupakan pencuri buku yang tak pernah bertobat, telah mencuri buku-buku langka dari seluruh penjuru negeri. Namun, tak seperti kebanyakan pencuri yang mencuri demi keuntungan, Gilkey mencuri demi cinta, cinta pada buku. Rumahnya dipenuhi buku-buku koleksi pribadi maupun hasil curian. Dari buku ini kita mengetahui bahwa di Eropa, adanya perpustakaan & koleksi buku di rumah pribadi, merupakan penanda kelas. Orang yang memiliki perpustakaan dan koleksi buku yang baik di rumahnya, disegani masyarakat lain. Perpustakaan sebagai simbol intelektualitas dan orang yang memiliki perpustakaan pribadi dianggap sebagai orang yang berbudaya.
Melihat bagaimana perpustakaan menjadi ruang gelanggang kebudayaan di Indonesia, kita perlu mundur ke belakang, menilik sejarah. Jika dibandingkan dengan negara Eropa atau Arab, sejarah perpustakaan di Indonesia masihlah tergolong muda. Sejarah perpustakaan di pulau Jawa dimulai pada masa Kerajaan Mataram. Pujangga keraton kala itu menulis berbagai karya sastra. Pada era ini pula karya-karya kitab bertema agama Buddha dihasilkan.
Pada abad ke-16 bangsa Barat datang dan turut membawa corak budaya tersendiri. Demi menunjang program penyebaran agama, perpustakaan didirikan. Perpustakaan gereja di Batavia dibangun sejak 1624 pada masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) berkuasa. Namun karena terjadi kendala, perpustakaan ini baru diresmikan pada 27 April 1643. Pustakawan bernama Dominus Abraham Fierenius ditunjuk untuk mengelola perpustakaan. Perpustakaan bisa diakses oleh masyarakat umum, bukan hanya diperuntukkan bagi keluarga kerajaan saja. Satu abad kemudian, tepatnya 25 April 1778 berdiri lembaga Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia. Bersamaan dengan berdirinya BGKW, berdiri pula perpustakaan milik lembaga tersebut.
Museum Pusat yang sebelumnya bernama Lembaga Kebudayaan Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia tahun 1962. Nama Museum Pusat kemudian berganti jadi Museum Nasional, perpustakaannya dikenal sebagai Perpustakaan Museum Nasional. Perpustakaan Museum Nasional kemudian dilebur ke Pusat Pembinaan Perpustakaan tahun 1980. Tahun 1989 perubahan terjadi lagi ketika Pusat Pembinaan Perpustakaan dilebur jadi bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Selain didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, perpustakaan juga dibangun oleh bumiputera. Pihak Keraton Mangkunegoro mendirikan perpustakaan keraton dan Keraton Yogyakarta membangun Radyo Pustoko. Koleksi-koleksi di perpustakaan milik keraton didominasi naskah kuno. Koleksi perpustakaan ini tidak dipinjamkan, tapi bisa dibaca di tempat. Era pendudukan Jepang, tidak ada perkembangan dan pembangunan perpustakaan yang cukup berarti. Pihak Jepang hanya mengamankan beberapa gedung penting, di antaranya Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen.
Selama pendudukan Jepang, Volkbibliotheek dijarah oleh rakyat dan lenyap dari permukaan bumi. Pengamanan yang kokoh pada gedung Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen membuat koleksi perpustakaan ini dapat dipertahankan. Gedung inilah yang jadi cikal bakal dari Perpustakaan Nasional. Pasca kemerdekaan, diperkirakan dimulai dari 1950-an berdiri perpustakaan baru. Perpustakaan Yayasan Bung Hatta berdiri tanggal 25 Agustus 1950. Koleksi perpustakaan ini memiliki titik fokus pada pengelolaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Indonesia.
Badan kerja sama kebudayaan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda bernama perpustakaan Stichting voor Culturele Samenwerking, diserahkan kepada pihak Indonesia pada 7 Juni 1952. Perpustakaan tersebut kemudian berganti nama jadi Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial Departemen P & K. Kemudian Perpustakaan Rakyat didirikan untuk memberantas buta huruf di pelosok tanah air. Pada sekitaran masa ini pulalah dibangun perpustakaan negara sebagai perpustakaan umum yang didirikan di ibu kota provinsi.
Perpustakaan negara yang pertama didirikan di Yogyakarta pada tahun 1949, kemudian disusul Ambon (1952); Bandung (1953); Ujung Pandang (1954); Padang (1956); Palembang (1957); Jakarta (1958); Palangkaraya, Singaraja, Mataram, Medan, Pekanbaru dan Surabaya (1959). Menyusul kemudian perpustakaan negara di Banjarmasin (1960); Manado (1961); Kupang dan Samarinda (1964).
Perusakan Perpustakaan dan Buku
Apa alasan manusia menghancurkan perpustakaan dan merusak buku? Pertanyaan semacam itu muncul selalu dalam tiap masa dan konteks sosial tertentu. Merunut sejarah, penghancuran buku sama tuanya dengan ditemukan buku itu sendiri (tentu bukan dalam bentuk yang diketahui seperti sekarang). Sekitar 4.000 tahun sebelum masehi, penghancuran buku telah terjadi di Sumeria Kuno. Sedangkan di Indonesia, pengancuran buku telah terjadi sejak masa kolonial hingga hari ini.
Sejarah pembakaran buku dengan kompleksitasnya dicatat dengan cukup baik dan lengkap oleh Fernando Baez. Baez merupakan seorang kepala Perpustakaan Nasional Venezuela. Lewat buku berjudul Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, Baez menjawab dan memaparkan peristiwa dan kondisi mengenaskan yang dialami perpustakaan beserta buku-buku di dalamnya. Baez menyimpulkan alasan manusia menghancurkan buku ialah untuk memusnahkan memori penyimpanannya. Pemusnahan tersebut mengandung arti menghabisi warisan pengetahuan dari suatu kebudayaan secara total.
Media penyimpanan memori manusia terus berkembang. Mesir misalnya menggunakan media yang berasal dari alang-alang Papirus yang dikeringkan. Salah satu orang pertama yang membakar buku ialah Akhenaton. Ia merupakan penganut monoteisme, motif dirinya membakar naskah-naskah tentang kepercayaan lain agar kepercayaan yang dianutnya menjadi unggul. Selain Mesir, di Yunani, filsuf Aristoteles juga mengalami penghancuran atas buku-bukunya karena dituduh murtad oleh pemuka agama.
10 Mei 1933 di seluruh kota universitas di Jerman mahasiswa membakar karya-karya penulis yang tidak sesuai dengan ideologi NAZI. Sejak beberapa pekan sebelumnya mahasiswa sudah mengambil buku karya penulis dan jurnalis dari perpustakaan publik dan universitas. Masyarakat internasional bereaksi marah terhadap aksi pembakaran buku oleh NAZI Jerman itu. Majalah berita AS “Newsweek” menyebut kejadian itu “Holocaust of Books.”
Sastrawan Heinrich Heine yang karyanya juga dibakar oleh para mahasiswa pro-NAZI, tahun 1821 sudah menulis: “Di mana orang membakar buku, pada akhirnya orang juga membakar manusia.” Kata-kata Heine terbukti secara amat mengerikan. Seabad kemudian dimulai pembunuhan massal warga Yahudi yang kini dikenal sebagai peristiwa Holocaust.
Perpustakaan pertama yang mengalami tragedi penghancuran ialah Perpustakaan Alexandria yang berada di Mesir Selatan. Perpustakaan legendaris ini hancur tahun 389 M akibat perang. Jika menilik sejarah penghancuran buku di Nusantara, kasus pembakaran karya-karya milik penyair Hamzah Fansuri terjadi tahun 1637 di halaman Masjid Raya Kutaraja. Pasca kemerdekaan, era Orde Lama, tahun 1964 pemerintah Indonesia membakar sekitar 500 buku tentang sejarah dan bahasa yang dianggap bertentangan dengan ideologi Indonesia kala itu.
Sedangkan di masa Orde Baru, hal-hal yang berkaitan dengan paham komunisme dimusnahkan. Peristiwa tersebut menimpa, salah satunya penulis Pramoedya Ananta Toer. Ia yang dianggap berhaluan komunis, karya-karyanya turut dilenyapkan. Sedangkan di era reformasi, tahun 2001, buku-buku yang dianggap sentimentil semacam karya penyair Lebanon Kahlil Gibran dan seri Chicken Soup dibakar oleh sejumlah mahasiswa di kota Bandung. Motif dari tindakan ini ialah bentuk protes kelompok mahasiswa tersebut terhadap minat baca mahasiswa pada buku-buku yang dinilai cengeng, rendahan, dan tidak mencerdaskan.
Ketika ada wacana pengembalian naskah-naskah rampasan era kolonial kepada Indonesia, nada skeptis menyeruak di segelintir kalangan penulis. Lewat status di media sosial, beberapa penulis menuliskan tentang ketidaksetujuan mereka terhadap wacana tersebut. Alasannya, mereka menilai bahwa pemerintah Indonesia, termasuk pustakawan belum siap mengelola naskah-naskah tersebut. Hal ini berkaca dari banyaknya kasus artefak-artefak bersejarah yang hilang dari museum, tidak terawat dengan baik, atau rusak karena penanganan yang salah.
Membangun Perpustakaan & Kerja Pustakawan
Tokoh utama dalam film Ada Apa Dengan Cinta, Rangga dan Cinta ialah anak muda yang gemar membaca dan mencintai buku. Keduanya sering terlibat adegan di perpustakaan. Salah satu adegan yang cukup mengena ialah saat Cinta dimarahi Rangga karena berisik di perpustakaan sekolah. Sebagaimana yang disampaikan Borges di awal, perpustakaan seharusnya jadi surga. Surga pengetahuan atau berkonsentrasi tingkat tinggi dalam membaca buku.
Salah satu cerpen Borges pun menuliskan tentang perpustakaan, judulnya “Perpustakaan Babel”. Cerpen itu melukiskan gambaran alam semesta semacam perpustakaan dengan jumlah buku dan rak buku yang tidak terbatas. Seandainya perpustakaan seperti itu nyata adanya di bumi ini, The Tianjin Binhai New Area Library (TTBNAL) mungkin mendekati gambaran tersebut. Perpustakaan futuristik ini berada di area Pusat Kebudayaan Binhai, Tianjin, China. Perpustakaan ini menempati area seluas 33.700 meter persegi dengan bangunan setinggi lima tingkat. Konon, perpustakaan ini diisi 1 juta lebih buku bertema sains dan fiksi.
Jika ingin mendambakan suasana membaca yang tenang dan eksklusif seperti yang diharapkan Rangga, salah satu perpustakaan di Rusia bisa jadi alternatif. Perpustakaan Book Capela di St.Petersburgh memberikan sensasi membaca yang tenang dalam ruangan bergaya gothic abad pertengahan. Setelah menilik perpustakaan di benua Asia dan Eropa, kita bergeser ke Afrika. Perpustakaan yang diyakini sebagai perpustakaan tertua di dunia, Al-Qarawiyyin yang berdiri sejak abad kesembilan di Maroko. Perpustakaan ini telah beradaptasi dengan perkembangan zaman dengan melakukan digitalisasi koleksi-koleksi di dalamnya. Perpustakaan ini menyimpan manuskrip langka dan unik yang selama ini hanya bisa diakses oleh kurator. Pengalihan ke bentuk digital, selain untuk melindungi data-data koleksinya, juga bertujuan, agar koleksi-koleksi tersebut bisa diakses oleh masyarakat.
Perpustakaan, selain harus memberikan ruang dan suasana yang nyaman untuk menyuntuki bacaan dan pengetahuan, seperti perpustakaan Book Capela, mestinya juga bisa menyelaraskan dengan kondisi zaman, contohnya seperti perpustakaan TTBNAL di China dan Al-Qarawiyyin di Maroko. Kondisi-kondisi tersebut selain dapat dimulai dari bangunan yang nyaman juga harus diiringi pendukung sumber daya manusia, pustakawan ialah salah satu faktor terbesar dalam ekosistem perpustakaan yang baik.
Perpustakaan perlu membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat umum untuk datang dan meminjam buku, dengan administrasi yang tidak rumit. Mengadakan acara diskusi buku, menonton film bareng, dan lain hal, agar perpustakaan tidak menjadi ruang yang eksklusif, tidak hanya untuk pencinta buku. Menanamkan rasa kecintaan masyarakat untuk datang perlu dilakukan terlebih dahulu.
Seorang pustakawan seharusnya tahu koleksi apa saja yang dimiliki perpustakaan. Jika memungkinkan, pustakawan ialah orang yang mencintai buku dan senang membaca. Selama ini yang terjadi, kerja pustakawan berhubungan dengan masalah administrasi. Memang mustahil seorang pustakawan mengetahui segala jenis buku. Tiap pustakawan tentu memiliki minat terhadap disiplin ilmu tertentu. Maka kerja-kerja pustakawan bukanlah perorangan, melainkan kerja tim. Tiap perpustakaan mestinya memiliki pustakawan-pustakawan yang mencintai bidang ilmu yang disenanginya.
Seseorang, entah itu seorang pustakawan atau bukan, mereka-mereka yang mencintai buku, mestinya juga melakukan kerja-kerja pengarsipan. Pengarsipan bukan hanya tentang menyimpan bahan kepustakaan, melainkan mencari, menyimpan, mendata, merawat dengan baik, serta membuka akses kepada publik. Pada ranah kesusastraan misalnya, Hans Bague Jassin telah mencontohkan bagaimana daya upaya dirinya melakukan kerja-kerja pengarsipan. Warisannya tersebut hari ini dapat kita lihat, hayati, dan nikmati dengan adanya Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Tempat ini merupakan hasil pendokumentasian arsip kesusastraan nasional Indonesia maupun internasional yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Pada tanggal 28 Juni 1976 pusat dokumentasi ini didirikan. Sebelum berbentuk lembaga, Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin awalnya adalah dokumentasi sastra milik pribadi, yang bermula dari kegiatan hobi Jassin mengumpulkan antara lain: buku harian, tulisan-tulisan beliau dalam media massa, maupun surat-surat dan foto pribadi dengan tekun. Kemudian di masa penjajahan Belanda dan Jepang, kesenangannya bertambah yaitu mendokumentasikan majalah ataupun surat kabar yang terbit pada masa tersebut. Artikel-artikel yang dirinya anggap penting dan berharga, digunting dari surat kabar atau majalah, lalu dikliping.
Bayangkan, jika kerja-kerja pengarsipan saat itu tidak dilakukan oleh H.B. Jassin, mungkin hari ini, beberapa karya-karya penting gubahan anak bangsa Indonesia lenyap dan tidak dapat dinikmati. Dalam hal ini, perpustakaan jadi semacam gudang menyimpan informasi-informasi penting. Perpustakaan adalah semesta tempat pengetahuan berkumpul, baik itu pengetahuan dari masa lampau maupun masa kini, dan masa yang akan datang. Perpustakaan sebagai ruang identitas suatu bangsa tertampung, semoga saja tidak jadi tempat laba-laba berumah tangga, diselimut debu-debu, atau yang lebih menyedihkan, tidak ada yang mengunjungi.
Referensi
Temple, Carnac. 2010. The Travels of Peter Mundy, in Europe and Asia, 1608-1667 Volumes I-V. London: Hakluyt Society.
Ba’ez, Fernando. 2017. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Serpong: CV. Marjin Kiri, 2017.
“Jakarta Burns Books For Its Education Day”. The New York Times. 1964-05-03. ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2022-12-09.
“Pelarangan Buku dan Kepedihan Pramoedya Ananta Toer”. Tirto.id. Diakses tanggal 2022-12-09.
Adhe. DECLARE! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007). Yogyakarta : KPJ (Komunitas Penerbit Jogja), 2007.
“Pembakaran Buku 10 Mei 1933 di Jerman”. DW.com. Diakses tanggal 2022-12-10.
“The Most Expensive Library in the World Book Capella Opens for Russian Elite”. theguardian.com. Diakses tanggal 2022-12-11.
“Tianjian Library MVRDV Plus Tianjin Urban Planning and Design Institute”. archdaily.com. Diakses tanggal 2022-12-12.
—–
Jemi Batin Tikal. Seorang pemuda yang menyenangi buku. Saat ini berdomisi di Yogyakarta sebagai pekerja buku di sebuah penerbit. Belajar menulis puisi, esai-esai pendek, cerpen, dan semacamnya.