Pergelaran akustik kecil SikuMeja sukses dilaksanakan Minggu, 23 Juni 2024, bertempat di Cantabile Musik, Bangka. Pergelaran tersebut diberi tajuk “Bagian Dari Suara” untuk memperkenalkan track pertama yang berjudul “S.I.K.U.M.E.J.A.” yang rilis di beberapa platform dengar digital.
“Track ini adalah pembuka sekaligus self titled untuk album “Menemukan Kehilangan” yang sedang kami persiapkan dan akan kami hidangkan di kemudian hari. Dalam pergelaran ini kami membawakan empat lagu cover dari beberapa musisi Indonesia dan satu lagu dari kami sendiri,” ujar Pandu.
“Kami menamakan pergelaran ini “Bagian dari suara” adalah sebuah efek pasca setelah membaca sajak Chairil Anwar berujudul Catetan Th.1946, pada baris //Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu//keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat//,” terang Chaca.
SikuMeja adalah grup musik beraliran folkpop-coustic yang berasal dari Bangka Belitung. Grup ini terdiri dari Chaca (vokal & viano), Pandu (vokal), Donius (gitar), Vega (cello), serta Luthfi (perkusi & cajon). Pada pergelaran akustik kali ini, SikuMeja berkolaborasi dengan Stefanus Dwi Nugroho sebagai pemain klarinet.
“Umpamanya begini, lahir seorang musisi besar dan tenggelam beratus ribu. Di antara suara-suara besar dan suara-suara kecil yang “terpinggirkan”, semuanya adalah “Bagian dari Suara”, yang selayaknya semua dapat tempat di pendengar masing-masing,” sambung Donius.
Sering kali kita melihat sebuah karya sebagai sesuatu yang penuh dengan simbol dan representasi, yang bermakna dan tidak bermakna. “Sebuah karya dapat juga dilihat sebagai hasil interaksi dari berbagai kekuatan material. Bahan baku apa saja yang bekerja sama menjadi kekuatan dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk menciptakan sebuah karya,” jelas Vega.
Namun, ada alternatif lainnya yang lebih sederhana dalam rangka melihat sebuah karya, yaitu dengan menimbang tentang perasaan apa yang muncul setelah mendengarkan sebuah lagu.
“Ferid Muhic dalam esai yang berjudul “Puisi Sebagai Doa” mengatakan; lagu-lagu pada prinsipnya tidak harus ditafsirkan, tetapi menulis tentang apa yang disebabkan (dirasakan) dalam diri kita oleh puisi (atau oleh sebuah lagu), bukan hanya memberikan alibi untuk menulis tentang puisi, melainkan juga cara nyata untuk berkomunikasi dengan penyair dan puisinya,” tutup Luthfi. (JM)
di tunggu artikel lainnya 👍
Terima kasih dukungannya, kak.