Cerita Pendek – Gagak Rimang dan Tuannya

sumber gambar: pinterest

Gagak Rimang mulanya ialah nama kuda tunggangan Adipati Arya Penangsang. Entah apa arti nama itu, mungkin karena ronanya yang hitam legam bagai bayangan. Segalanya yang hitam selalu diartikan niskala—penuh kegaiban. Begitulah sangkaan banyak orang. Setidaknya hal itu juga berlaku bagi masyarakat di kampung Kali Banteng, Tegal—yang hampir semua warganya mempercayai hal mistis. Ganjil. Tidak terkecuali tuanku.

Kalau boleh jujur aku sendiri heran kenapa tuanku, majikanku, memberiku nama Gagak Rimang. Padahal aku bukan kuda, apalagi dianggap gagah layaknya kuda Arya Penangsang yang kesohor dan melegenda itu.

“Tidak ada nama yang lebih gagah selain Gagak Rimang,” kata tuanku waktu itu enam bulan yang lalu. Aku masih mengingat ucapannya saat tuanku terpesona dengan corak warna hitam legam yang menyala pada bulu-bulu yang tumbuh lebat menutupi tubuhku. “Lihat betapa gagahnya.”

Tentu saja aku senang dengan pujian yang keluar dari mulut tuanku. Sejak saat itu, dengan entengnya, tuanku mulai memanggilku Rimang. Gagak Rimang lengkapnya.

“Lihat betapa gagahnya si Rimang,” kata tuanku pada temannya yang saat itu sedang asyik berbincang mengenai nama baruku.

“Ya, pasti pemberani dan petarung,” balas teman tuanku menyeringai, sepertinya ragu dengan ucapannya sendiri.

Aku sendiri tidak bisa menolak nama itu. Benar aku tidak punya kuasa, tetapi bukan itu alasan utamanya. Tidak lain karena kebaikan tuanku yang sudah memeliharaku sedari kecil. Pada bagian ini, aku tidak bisa menafikannya. Itu sebabnya, bagaimanapun caranya, aku ingin membahagiakan tuanku—majikanku. Ringkasnya, membalas kebaikannya selama ini yang sudah mengurusku dengan amat baik.

Entah apa jadinya jika lelaki yang sebentar lagi berusia 40 tahun itu tidak menyelamatkanku yang hanyut dibawa arus sungai beberapa bulan lalu. Ah, mungkin aku sudah menjadi santapan ikan-ikan di sungai. Bayangkan saja waktu itu dengan sigap tuanku melepas ikan lele dalam genggaman tangannya sebelum meraihku yang terombang-ambing dibawa arus sungai yang deras. Percayalah, itu bukan pilihan mudah. Sebab, setelahnya aku baru menyadari ternyata di rumah, anak-anaknya sudah kelaparan menunggu bapaknya pulang membawa ikan setelah separuh harinya dihabiskan untuk memancing.

Itu sebabnya aku ingin berguna untuk tuanku. Bagaimanapun caranya, aku ingin membahagiakan tuanku dan keluarganya jikalau mampu. Dan itu janjiku enam yang lalu. Sialnya, hari ini untuk pertama kalinya aku gagal memenuhi janjiku: membahagiakan tuanku. Selain malu aku juga sangat bersedih menyaksikan air mata tuanku yang menderas tak berhenti sedari siang hingga petang. Mungkinkah matanya ialah laut yang tak pernah surut? Entah.

Sambil sesenggukan tuanku membiarkanku makan jagung kering di pekarangan setelah membasuh wajahku yang babak belur penuh luka. Meski wajahku hancur, mata kiriku picek akibat kena sepakan maut dan dadaku menganga penuh luka, sungguh aku tidak peduli. Hanya satu yang aku sesali: gagal membahagiakan tuanku. Hanya itu tok.

“Sekarang apa yang harus aku lakukan, Rimang?” tanya Tuanku masih berlinang air mata. “Aku harus bagaimana lagi? Jangankan uang, beras pun aku sudah tak punya.”

Aku diam. Kecuali, mata sebelah kananku yang tidak berhenti memandangi wajah tuanku yang begitu menyedihkan dicakar kesusahan. Beban yang ia tanggung jauh lebih pilu dan tragis daripada luka di sekujur tubuhku yang nyaris merenggut nyawaku.

“Kau harapanku satu-satunya, Rimang,” kata tuanku lagi sebelum mengusap ingusnya yang meler dari hidungnya yang pesek. “Sekarang aku tak punya apa-apa lagi.”

Hening.

Aku mengerti kesedihan tuanku. Sayangnya kesedihan itu tidak dapat dibagi denganku.

Maafkan aku telah mengecewakanmu, Tuan. Tetapi, jikalau boleh jujur, ini bukan sepenuhnya salahku. Sedari kecil hingga aku besar seperti ini, Tuan tidak pernah melatihku bertarung. Saban pagi, Tuan memandikanku dengan air hangat, menceboki pantatku, membersihkan kukuku yang runcing, dan mengibaskan kedua sayapku yang katamu begitu indah berwarna kehitam-hitaman layaknya langit malam dihiasi kelap-kelip bintang dan rembulan separuh.

Aku juga ingin bertarung, tetapi Tuan kerap melerai saat aku menghajar jagoan kampung yang kerap petentengan di depanku. Tuan juga memisahkan saat aku meremukkan jagoan milik tetangga yang menggangguku saat aku mengawini betinanya dan itu terus berlanjut sampai aku dewasa seperti sekarang ini.

Kakiku yang kekar, kukuku yang runcing, lenganku yang besar tidak Tuan latih untuk menggebuk lawan. Maka seperti inilah jadinya, aku babak belur jadi bulanan-bulanan jagoan pilih tanding. Tanpa ampun jagoan pilih tanding itu menghajarku di depan banyak orang.

Aku tidak hanya malu pada Tuan seorang, tetapi juga pada semua orang yang menyaksikan dengan mata telanjang saat aku lari tunggang langgang dihajar tanpa ampun. Tuan terhina, begitu pun aku saat semua orang menertawakanku—mengolok-olokku.

“Hajar… Pukul… Hajar terus…. Jangan kasih ampun. Pateni!” begitulah orang-orang bersorak menyaksikanku yang kalah bertarung hanya dalam lima ronde.

Aku tahu Tuan menutup mata bukan karena aku babak belur nyaris mati, tetapi uang lima juta yang dijadikan taruhan melayang sia-sia. Padahal, itu uang hasil pinjaman online. Benar, bukan?

Sekarang aku sudah pasrah. Ikhlas terserah Tuan ingin apa kan aku. Kegagahanku yang kerap Tuan banggakan, ternyata tidak dapat menebus biaya bersalin istri Tuan yang sudah menginap tiga hari di rumah sakit setelah melahirkan anak ketiganya dengan susah payah.

*

Tiga hari yang lalu tuanku kelimpungan. Ada rasa bahagia bercampur sedih. Bahagia karena operasi caesar telah menyelamatkan istri tuanku dan bayinya. Sedih karena tuanku bingung bagaimana membayar biaya bersalin istrinya di rumah sakit yang kelewat mahal bagi pekerja serabutan (yang harta mewah di rumahnya hanya radio, televisi tabung, dan aku yang tidak ada harganya).

Malam itu tuanku berjalan mondar-mandir bagai orang linglung di dalam rumahnya. Bahkan, tangisan kedua anaknya yang masih bocah tidak dihiraukannya. Aku merekam pemandangan sedih itu dari balik pintu belakang yang penuh lubang. Sesekali tuanku menutup mata untuk menghentikan air mata yang sudah di ujung sambil berteriak bagai orang kesurupan: “Gusti Allah aku mumet…”

Ya, bagaimanapun juga istri tuan harus dibawa pulang. Sungguh, aku hanya bisa mendoakan tuan. Semoga Tuhan mengirim malaikat penolong untuk tuan.

Benar saja, baru saja aku berdoa, Tuhan mengabulkannya.

“Terima kasih, kau sudah menjadi malaikat penolongku,” kata Tuanku pada sahabatnya yang meminjamkan ponsel pintarnya.

“Hanya bermodal KTP, Kang Slamet bisa dapat satu juta,” balas temannya dengan santainya.

“Tapi ….”

“Tapi, apalagi, Kang?”

“Sejuta masih kurang. Biaya operasi caesar mahal.”

Hening.

“Rimang …. Ya, Rimang.”

Aku begitu kaget ketika namaku disebut oleh teman tuanku. Entah apa yang ia rencanakan. Aku hanya membuka telingaku yang mungil bahkan nyaris tidak ada untuk mendengar percakapan dua orang ini.

“Rimang, dijual maksudnya?”

“Siapa yang mau beli. Tidak ada harganya.”

“Terus?”

“Sudah ikuti saja saranku. Kalau menang, biaya melahirkan istrimu di rumah sakit bisa Kang Slamet lunasi. Tapi, tunggu uang pinjaman online cair dulu.”

Aku tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua orang itu. Aku hanya melihat tuanku mengangguk sebelum menatap ke arahku dengan iba—tak tega. Tatapan mata yang membuat dadaku bergemuruh penuh tanda tanya: apa yang akan Tuan lakukan padaku?

Hari yang mendebarkan pun tiba. Siang itu, tuanku membopongku. Di pangkuannya, ia mengelus kepalaku, jambulku, dan memeriksa tubuhku. Mula-mula tuanku memberiku makan nasi dicampur gula merah, kemudian mencuci kakiku dengan air hangat, menggosok kukuku yang runcing, barulah setelah itu berujar, “Aku sangat berharap padamu, Rimang. Aku mohon kerjasamanya. Aku janji ini yang pertama dan terakhir.”

Aku mengangguk. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Benar saja, di pekarangan milik tetangga puluhan orang sudah berkumpul. Suara riuh mengudara bercampur sengatan panas cahaya matahari siang itu.

Di bawah pohon belimbing, semua orang berdiri melingkar. Tuanku melepaskanku dari dekapannya setelah berulang kali mencium wajahku. Baru saja aku menginjak tanah, perasaanku sudah tak karuan. Rasa ragu, cemas, bercampur takut timbul dan tenggelam. Apa yang harus aku lakukan sekarang, pikirku. Belum juga aku berdoa, dari arah belakang Panjalu menerjangku. Sepakan kakinya yang besar membuatku tersungkur ke tanah.

Panjalu, nama yang aneh. Begitulah orang-orang sorak ramai menyemangatinya, “Ayo, Panjalu, hajar …, Pukul …, Hajar terus!”

Panjalu, entah dari mana nama itu dicomot. Ia berwarna merah legam bagai bara api. Matanya tajam. Kepalanya besar. Juga kakinya. Dadanya tegap bagai pilar. Kukunya begitu kuat. Aku pun merinding menatapnya. Ingin sekali aku melarikan diri, tetapi ratapan tuanku mengembalikan ketegaran hatiku: Jangan takut, Rimang. Ayo, hajar …. Jangan kalah ….

Tidak ada pilihan aku pun melawannya.

Setelah bertarung kurang dari setengah jam tuanku membopongku dan membawaku pulang ke rumah. Tuanku pulang dengan membawa kekalahan. Aku melihat wajah tuanku tampak pucat bagai mayat saat aku lari terbirit-birit seperti dikejar-kejar tukang jagal. Sungguh, aku tak kuat lagi menahan sakit di wajahku yang penuh luka, juga dadaku yang robek begitu perih. Kini tuanku duduk lemas di belakang rumah. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya semenjak azan magrib berkumandang.

Di dalam rumah suara tangis anak keduanya yang masih berumur tiga tahun kian tak terbendung. Ia menangis meraung-raung karena rasa lapar telah mencabik-cabik perutnya. Maklum, sedari siang anak-anak tuanku belum makan. Tidak ada nasi, kecuali loyang di dapur. Aku mengetahui itu setelah anak tertua tuanku yang bernama Dul berujar dengan bahasa ngapak yang sudah akrab di telingaku.

Pak, dede ngelih urung mangan. Aku, ya, pada bae, urung mangan. Sega ne ora enak wes mambu (Pak, adik lapar belum makan. Aku, ya, sama, belum makan. Nasinya tidak enak, sudah basi)”

Tanpa pikir panjang tuanku menghampiri anaknya yang sedang meraung-raung kelaparan. Kemudian membopongnya berjalan mondar-mandir tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang kering seperti sawah di musim kemarau. Setelahnya, di dekatku, bapak dan anak itu menangis berjamaah. Aku begitu iba melihatnya. Kemudian, aku bersimpuh di kaki tuanku saat bersamaan ia berujar: “Dul, ladinge diasah (Dul, pisaunya diasah).”

Mendengar ucapan tuanku aku kembali bersemangat. Akhirnya, apa yang selama ini aku impikan kini menjadi kenyataan. Aku senang bukan kepalang. Setidaknya, aku berguna juga untuk keluarga tuanku. Segera saja aku bangkit dan berjalan mendekati anak tuanku yang sedang mengasah pisau dengan batu asahan.  Dan untuk terakhir kalinya aku berteriak lantang: “Kukuruyuk…”

Cerpenis: Ade Mulyono, lahir di  Tegal. Ia merupakan emerging writer Ubud Writers and Readers Festival 2024. Tulisannya dimuat di sejumlah media seperti Harian Kompas, Media Indonesia, Majalah Harmoni, Majalah Kandaga dan Jawa Pos.

Check Also

Filosofi Kebersamaan Sebagai Solusi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *