
Pernah merasa dunia ini makin terbagi? Ya, bukan hanya karena pilihan politik yang saling jegal di media sosial, tetapi juga soal nilai, identitas, dan pandangan hidup yang semakin sulit disatukan. Kita kini hidup di zaman yang lebih terhubung, tapi malah lebih terpecah belah.
Polarisasi semakin terasa, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Namun, bagaimana jika saya katakan bahwa filosofi lokal yang berasal dari Pulau Masela bisa menjadi jawaban untuk semua perpecahan ini?
Pulau Masela, yang terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya, menyimpan kekayaan budaya yang begitu khas. Salah satunya adalah filosofi hidup dari sebuah realitas yang menjadi jantung budaya masyarakat dalam bentuk moto hidup yakni “Limuk Limor Kweunun Kweamam.”
Ungkapan yang memang terdengar puitis ini memiliki makna yang sangat mendalam, Filosofi ini mengajarkan bahwa dalam hidup, baik dalam suka maupun duka, kebersamaan adalah yang utama. Terjemahan harfiahnya adalah “susah senang kita hadapi bersama”.
Sebelum melangkah jauh untuk memaknai filososi tersebut kita terlebih dahulu harus mengenal bahwa wilayah Maluku kaya akan tradisi sosial budaya, di mana “Pela Gandong” menjadi dasar dari realitas budaya “Limuk Limor Kweunun Kweamam.” dan pilar utama dalam menjalin hubungan antar komunitas.
Tradisi ini memperkuat ikatan sosial yang diwarnai dengan semangat saling bantu bahu membahu dan rasa kepercayaan antar sesama.
Pela Gandong ini adalah ikatan persaudaraan dan perjanjian damai yang dilakukan oleh masyarakat Maluku untuk menyatukan berbagai perbedaan, dalam bahasa lokal Pela berarti ikatan, dan merupakan relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain, sementara Gandong berarti bersaudara, dan berasal dari kata kandung atau kandungan.
Bentuk nilai yang dihasilakan dari Pela & Gandong inilah yang menjadi cikal bakal dari “Limuk Limor Kweunun Kweamam”. Dalam semangat yang sama hal ini menjadi bagian dari nilai kehidupan sehari-hari yang meneguhkan kebersamaan dan solidaritas.
Masyarakat Pulau Masela percaya bahwa kebersamaan adalah fondasi untuk menghadapi tantangan hidup. Dalam tradisi mereka, tak ada yang dibiarkan sendiri menghadapi kesulitan. Sebaliknya, setiap individual adalah bagian penting dari komunitas besar yang saling menopang.
Gampang, kan? Tapi kalau dipikir-pikir, di dunia yang serba sibuk dan individualistik seperti sekarang, prinsip ini justru bisa jadi revolusi kecil yang sebenarnya kita butuhkan.
Bayangkan, dunia yang penuh dengan egoisme dan perbedaan ini bisa disatukan hanya dengan satu hal yakni kebersamaan. Di mana kita tidak lagi melihat lawan sebagai musuh, tetapi sebagai teman seiring dalam perjalanan hidup.
Filosofi “Limuk Limor Kweunun Kweamam” mengajarkan kita untuk saling berbagi, bukan hanya dalam kebahagiaan, tetapi juga dalam kesulitan. Kita tidak perlu merasa sendirian, karena ada orang lain yang akan membantu kita, dan kita pun siap membantu mereka.

Apakah Kebersamaan Memang Masih Ada?
Coba lihat sekitar kita. Apa yang terjadi dengan dunia yang katanya “global” ini? Polarisasi politik yang semakin tajam, perdebatan tak berujung di media sosial, sampai perbedaan budaya yang seolah tak bisa lagi disatukan.
Sosial media, yang dulu diharapkan bisa menjadi alat untuk menyatukan, justru sering menjadi medan perang antar pendapat. Kenapa? Karena kita lebih mudah mengunggah meme atau status yang memperkeruh keadaan daripada berdiskusi dengan kepala dingin.
Tapi apa jadinya jika kita mencoba mengadopsi Limuk Limor Kweunun Kweamam dalam dunia yang serba terpecah ini? Mungkin, kita tidak akan saling memaki hanya karena pilihan politik yang berbeda.
Mungkin, kita akan lebih banyak mendengarkan, mencoba memahami, dan mencari solusi bersama daripada saling menjatuhkan. Dan mungkin, dunia maya yang semakin ramai ini tidak akan lagi dipenuhi dengan “trending topic” yang menambah ketegangan, melainkan dengan #SolidaritasBersama.
Mengapa Filosofi Ini Penting?
Filosofi ini bukan hanya relevan dalam konteks lokal, tetapi juga dalam konteks global. Ungkapan Limuk Limor Kweunun Kweamam secara etimologis mencerminkan nilai budaya lokal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat Masela. Secara mendalam, “Limuk-Limor” merujuk pada kondisi susah dan sengsara.
Sementara “Kweunun-Kweamam” menggambarkan kebersamaan yang erat dan saling mendukung. Jika diartikan secara harfiah, ungkapan ini bermakna “susah senang kita hadapi bersama-sama,” menjadi simbol solidaritas dan gotong royong yang terus hidup di tengah masyarakat pulau Masela.
Filosofis dari “Limuk Limor Kweunun Kweamam” menegaskan bahwa dalam kehidupan, baik dalam kondisi sulit maupun menyenangkan, kebersamaan adalah hal yang utama.
Nilai ini menjadi perekat hubungan antar individu, di mana setiap orang merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan bersama. Makna ini juga mengajarkan ke kita semua bahwa tidak ada yang ditinggalkan.
Paham individualisme yang berkembang pesat dari cita-cita untuk “menjadi sukses” dengan cara kita sendiri hingga mimpi untuk bisa hidup tanpa bergantung pada siapa pun seringkali membuat kita melupakan nilai kebersamaan.
Padahal, “Limuk Limor Kweunun Kweamam” mengingatkan kita bahwa kebersamaan adalah dasar dari kehidupan yang lebih manusiawi.
Di dunia yang serba cepat ini, di mana kita sering terjebak dalam rutinitas dan tuntutan untuk tampil lebih baik dari orang lain, nilai kebersamaan menjadi semakin langka. Namun, tidak ada salahnya untuk mengingat kembali prinsip ini, bahkan dalam konteks global yang makin terpecah.
Pergerakan global seperti kampanye perubahan iklim atau gerakan hak asasi manusia adalah contoh konkret bagaimana kebersamaan bisa mengatasi perbedaan dan membangun solidaritas antarindividu dari berbagai latar belakang.

Menarik Pararel “Limuk Limor Kweunun Kweamam“ di Era Media Sosial
Mediakan, dunia maya, dan media sosial adalah salah satu tempat paling subur bagi polarisasi. Pagi kita mungkin sedang ngopi sambil scroll timeline, dan tiba-tiba menemukan perdebatan yang memanas soal hal-hal yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan.
Dalam dunia yang semakin terhubung ini, kita malah merasa lebih terpisah. Orang-orang berbicara dalam “bubbles” mereka masing-masing terisolasi dalam echo chamber.
Namun, jangan salah. Media sosial, meski sering menguras kesabaran, tetap bisa jadi alat untuk menciptakan kebersamaan. Bayangkan kalau kita bisa mengubah dinamika ini menjadi ruang untuk saling mendukung, bukan saling menjatuhkan.
Seperti yang terjadi pada kampanye-kampanye kebaikan yang viral, seperti galangan dana untuk korban bencana atau dukungan untuk mereka yang terpinggirkan. Bahkan di dunia maya, Limuk Limor Kweunun Kweamam bisa dipraktikkan dengan berbagi informasi positif, bukan hanya tentang diri sendiri, tapi juga tentang bagaimana kita bisa membantu sesama.
Menghidupkan “Kebersamaan” di Dunia yang Terpecah
Memang, kita tidak bisa mengubah dunia dalam semalam. Namun, dengan sedikit usaha dari sekadar mendengarkan dengan empati hingga membantu yang membutuhkan kebersamaan ini bisa hidup kembali.
Limuk Limor Kweunun Kweamam bukan hanya sekadar filosofi kuno dari Pulau Masela, tetapi prinsip universal yang bisa diterapkan di mana saja, bahkan di dunia yang sangat modern ini.
Jadi, saat dunia merasa semakin terpecah, mari kita coba menatapnya dari sudut pandang yang berbeda. Tidak perlu terjebak dalam polarisasi atau perdebatan tanpa ujung.
Tidak ada yang salah dengan memulai dari kebersamaan. Lagipula, seperti kata filosofi Masela, “Susah senang kita hadapi bersama.” Jika kalo bukan sekarang, kapan lagi?
Filosofi Limuk Limor Kweunun Kweamam menawarkan sebuah ajakan sederhana yang bisa membawa kita ke arah yang lebih baik yakni tentang kebersamaan.
Di tengah dunia yang semakin terpecah, mungkin kita memang harus kembali belajar untuk saling membantu, saling mendengarkan, dan saling berbagi. Karena, mungkin saja, hanya dengan itu dunia bisa sedikit lebih baik.
Dokumentasi Foto & Penulis: Adipatra Kenaro Wicaksana, Lulusan dengan ilmu terapan Kesehatan Masyarakat & Kesehatan Lingkungan. Bekerja Sebagai Surveyour dan Asisten Ahli Kesehatan Masyarakat. Sesekali menjaga lingkungan tetap sehat, sambil mencoba untuk tetap ingat kapan terakhir kali nyiram tanaman di rumah. Bisa berkorespodensi melalui surel: Kenaro11@gmail.com atau Instagram @adipatrakw