Joko Pinurbo dalam Berbagai Rupa

Dedy Maryadi, Ika Nur Izza, & Abdul J. Nugroho

Pameran: Membaca Jokpin yang diadakan pada 20-28 Juli 2024 di Sekretariat Jejak Imaji telah berhasil menampilkan karya rupa, instalasi, dan puisi sebagai respons terhadap sosok dan karya Joko Pinurbo. Namun, sebelum pameran usai, Jejak Imaji mengadakan sebuah acara bincang-bincang mengenai proses kreatif beberapa seniman yang terlibat dalam pameran tersebut. Acara diberi tajuk Artist Talk yang diadakan pada 27 Juli 2024 dengan mengundang Ika Nur Izza, Abdul J. Nugroho, dan Dedy Maryadi sebagai pembicara, serta dipandu oleh Juwita Wardah selaku moderator.

“Saya mengenal Jokpin lewat puisinya yang berjudul Kamus Kecil, lalu pernah bertemu secara personal untuk minta izin memindahkan karya puisinya ke dalam seni rupa” tutur Ika. Rupanya praktik merespons puisi Jokpin ke dalam karya lukis sudah ia lakukan sebelum pameran tersebut, yaitu dalam rangka memenuhi tugas akhir studi S1-nya di ISI Yogyakarta.

Ia pun mengaku proses yang dilakukan cukup lama, mulai dari membaca banyak puisi Jokpin, mengkaji puisi, membaca blog dan tulisan ilmiah, menonton podcast, hingga diskusi dengan orang-orang yang memiliki pemahaman lebih. Nilai utama dari puisi Jokpin yang dipetik dan direspons oleh Ika melalui lukisan cat airnya adalah persoalan agama yang dilatarbelakangi oleh pengalaman pribadi serta terinspirasi dari para budayawan yang juga merespons puisi Jokpin dari segi agama.

Berbeda dari respons Ika yang berbentuk lukisan, Abdul J. Nugroho mewakili Citrus Studio merespons puisi Jokpin dalam bentuk kriya keramik yang diberi judul “Bunga & Burung”. Dua elemen tersebut merupakan simbol yang sering diselipkan dalam puisi-puisi Jokpin.

Masyarakat menyimak diskusi

.

Dijelaskan dalam keterangan mengenai karya tersebut bahwa bunga melambangkan keindahan, kehidupan, dan keberadaan yang lembut sekaligus rentan. Sedangkan burung melambangkan kebebasan, perjalanan, dan keinginan untuk lepas dari keterbatasan kehidupan. Dalam memaknai puisi Jokpin, Abdul membacanya ketika suasana hatinya sedang sedih, agar pesan di dalam puisi dapat ia resapi secara dalam.

Bentuk respons yang berbeda dalam pameran tersebut kemudian dimunculkan pula oleh Asosiasi Pematung Indonesia. Dalam bincang-bincang yang diwakilkan oleh Dedy Maryadi, diceritakan bahwa patung potrait setengah badan Jokpin yang ditampilkan pada pameran dibuat secara on the spot dalam acara Umbul Dunga: Mengenang 40 Hari Joko Pinurbo di Plaza Monumen Serangan Umum 1 Maret pada awal Juni yang lalu.

Beberapa seniman yang terlibat dalam pembuatan patung tersebut yaitu Dedy Maryadi, Khusna Hardiyanto, Purwanto, dan Fathurahman Ramadhan. “Pembuatan patung potrait harus diusahakan semirip mungkin dengan sosok aslinya, karena kita tidak hanya mengontrol ekspresi, melainkan juga perasaan yang timbul ketika melihat patung tersebut,” terang Dedy. Warna putih yang digunakan pada patung tersebut dipilih dengan mempertimbangkan faktor pencahayaan.

Karya-karya dari ketiga pembicara pada sore itu memperlihatkan respons dan cara yang beragam dalam membaca sosok maupun karya Joko Pinurbo. Dengan begitu, Jokpin telah menggapai keinginannya, bahwa ia tidak ingin menjadi penyair, melainkan menjadi puisi. Sebagaimana puisi pada umumnya, ia pun terbuka untuk dibaca dengan berbagai interpretasi dan dituangkan kembali dengan bentuk ekspresi yang berbeda.

Reporter: Aqilah Mumtaza
Foto: Tim Dokumentasi Jejak Imaji

Check Also

Armageddon: Mendengarkan Kekacauan Akhir Zaman dalam Album Perdana Horush

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *