
Pada suatu siang yang tidak sibuk-sibuk amat. saya menyempatkan diri untuk mampir ke salah satu toko buku yang berada di pusat kota kami. Salah duanya berada tidak jauh dari toko buku yang saya hampiri tersebut. Dan tidak pernah ada salah tiga, salah empat dan seterusnya. Sejak sekolah dasar, seingatku kota ini cuma punya dua toko buku.
Sesampai di sana saya langsung saja menuju dan menyusuri rak buku-buku fiksi. Dan, lekas dirundung kebingungan antara hendak membawa pulang kumcer Edgar Allan Poe atau Novel Yoko Ogawa. Sebab, tidak dibutuhkan kemampuan menghitung yang jenius-jenius amat untuk menyadari, bahwa uang yang saya miliki hanya cukup untuk membawa pulang tidak lebih dari satu buah buku saja.
Di tengah upaya dalam menentukan buku mana yang hendak saya bawa pulang, tiba-tiba masuk serombongan polisi. Toko buku pun sekonyong-konyong mendapati dirinya ramai sekali dikunjungi, bahkan lebih ramai saat sedang mengadakan diskon cuci gudang sekalipun.
Mereka semua mengenakan topi, dan dari balik topi tersebut saya cukup tahu bahwa mereka semua berambut cepak. Kecuali satu polisi yang tidak mengenakan topi dan berkepala plontos dan menjadi pusat sorotan di antara mereka. Semacam jenis sorotan yang menjadi fitur di instagram. Sorotan yang dengan sadar dan sengaja digunakan pengguna instagram agar postingan cerita mereka bisa dilihat oleh semua orang yang mengikuti.
Dari tempat saya berdiri, di antara rak buku-buku fiksi, saya menyaksikan polisi berkepala plontos itu masuk ke toko buku sembari beberapa dari polisi lainnya sibuk mengarahkan segala jenis kamera yang kebetulan mereka bawa ataupun sengaja mereka bawa ke arahnya. Mulai dari kamera di gawai sampai kamera dalam artian sesungguhnya.
Tidak diperlukan waktu yang lama untuk polisi berkepala plontos tersebut untuk segera berbasa-basi dengan semua pekerja dan pengunjung yang kebetulan ada di toko buku siang itu. Sembari, beberapa dari polisi lainnya sibuk menyusuri rak buku agama Islam demi mengambil sebanyak-banyaknya kitab suci Al-quran untuk dibawa ke kasir. Mereka memilih versi kitab suci yang dicetak–barangkali dengan ekslusif. Kitab suci yang berukuran paling besar yang tersedia di toko buku tersebut, dengan manik-manik berkilau di tiap huruf yang tercetak di hardcovernya. Tebakanku: satu kitab suci untuk tiap rombongan polisi yang datang.
Sebenarnya ini bukan kali pertama saya melihat polisi berkepala plontos tersebut. Terkecuali melihatnya secara langsung seperti di toko buku siang itu. Sebelumnya, algoritma akun instagram saya pernah mempertemukan saya dengan akun kepolisian daerah di kota kami. Dan, dari media sosial tersebut saya melihat semacam video ketika polisi berkepala plontos tersebut sedang asyik berkeliling kantor tempat dia bekerja dengan menggunakan semacam kendaraan yang barangkali mirip golf car. Saya tidak tahu apakah kendaraan tersebut memang dari jenis yang sama dengan jenis kendaraan bermotor kecil yang biasanya digunakan khusus untuk mengangkut pemain golf beserta perlengkapannya di sekitar lapangan golf atau bukan sama sekali. Yang saya tahu dan saya bayangkan pastinya kantor mereka sungguh memiliki area yang luas.
Video itu menampilkan ramah-tamah polisi berkepala plontos tersebut, yang sesekali menghampiri dan berbincang dengan beberapa pegawai harian lepas yang bekerja di area perkantoran mereka. Dan, setiap jenis percakapan yang ditampilkan video itu selalu diakhiri kebiasaan dermawan polisi berkepala plontos itu dengan memberi mereka uang dengan bersalaman. Pegawai-pegawai lepas itu nampak berterima kasih dan senang.
Kembali ke toko buku. Sembari bertanya ke beberapa pengunjung yang datang dan kebetulan berpapasan dengannya. Sesekali di tengah percakapan polisi berkepala plontos tersebut akan bertanya: “Muslim?”
Siang itu, barangsiapa yang mengiyakan ke-musliman-nya. Akan ditraktir kitab suci.
Di rak buku-buku fiksi tempat berdiri, saya memutuskan untuk selesai dengan kebingungan yang merundung dan menjatuhkan pilihan kepada Novel Yoko Ogawa yang berjudul “Polisi Kenangan” untuk dibawa ke kasir.
Untuk sampai di kasir saya musti antre. Bukan antrean yang panjang. Hanya ada dua pengunjung yang mendahului saya. Sembari menunggu, saya berada tepat di tengah rombongan polisi, dan polisi yang berkepala plontos tersebut berada tepat di kasir sebelah. sepertinya menunggu untuk menyelesaikan pembayaran kitab suci yang diborongnya.
Selama waktu mengantre. Setiap pengunjung yang sampai di kasir akan dihampiri oleh polisi berkepala plontos untuk secara langsung diajak berbincang.
“beli apa?”
“Beli buku apa?”
dan ditanyai secara langsung kemuslimannya agar bisa ditraktir Al-quran.
Tidak butuh waktu lama dan tibalah giliranku untuk menyelesaikan pembayaran di kasir. Polisi berkepala plontos tersebut nampak tidak acuh dengan kehadiranku. Padahal sepanjang mengantre, saya sudah menyiapkan semacam jawaban untuk menjawab keramahtamahannya. Jawaban yang terus melayang gusar di langit-langit kepala saya selama mengantre. Jawaban yang akan saya berikan di depan kawan-kawan polisinya yang akan sigap mengarahkan mata kamera ke arah saya saat polisi berkepala plontos itu bertanya.
“Halo, beli buku apa itu? Maaf, sebelumnya abangnya muslim tidak? Kebetulan saya lagi ada rezeki dan pengen traktir Al-Quran kalau abangnya muslim? ”
Di langit-langit kepalaku, siang itu, hanya ada dua burung gagak melayang-layang, gagak pertama berkoak serak “1312”, dan gagak kedua yang mengeja huruf “A. C. A. B” satu persatu.
Tapi gagak-gagak itu segera terbang menjauh diusir angin kenyataan bahwa saya tidak diacuhkan oleh polisi berkepala plontos itu.
Kuat dugaan say, sebab penampilan. Siang itu saya mengenakan anting-anting dan jaket jeans renyuk yang sudah saya potong bagian lengannya. Jaket tersebut dipenuhi dengan gambar-gambar yang lebih mirip lukisan Kurozumi Kanjuro saat dia sedang berpura-pura menjadi seniman gambar yang buruk dengan menggunakan bagian tangannya yang tidak dominan saat menggambar.
Ya, penampilan, kau tahulah. Penampilan saya barangkali tidak mencerminkan seorang muslim dan warga negara yang baik berdasarkan kompas moral polisi. Saya sama sekali tidak keberatan atas kejadian tersebut. Melainkan hanya semakin menebalkan perasaan gemas saya kepada polisi-polisi. Bukan karena saya tidak diacuhkan. Tetapi karena siang itu koak gagak di kepala saya semakin terdengar serak meskipun sudah terbang menjauh.
Begitulah kenangan saya bersama para polisi dan novel Polisi Kenangan karya Yoko Ogawa yang saya bawa pulang dari salah satu toko buku di kota kami. Dan salah duanya berada tidak jauh dari toko buku yang saya hampiri tersebut. Dan tidak pernah ada salah tiga, salah empat dan seterusnya. Sejak sekolah dasar, seingatku kota ini cuma punya dua toko buku.
Penulis: Pandu S. Bimantara, seorang musisi. Tergabung dalam grup musik Sikumeja & Kembali Sakral, juga komunitas sastra KebunKata.