Korupsi Timah, Diamnya Penegak Hukum, dan Lingkungan yang Tidak Diperhitungkan sebagai Korban

warga & anak-anak di bekas galian timah, sumber: pinterest

Ada satu truisme yang sudah lama melekat pada Bangka Belitung (Babel). Bahwa wilayah ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil timah terbesar di Indonesia. Bahkan, Babel menjadi produsen timah terbesar di dunia setelah Tiongkok. Sejak ratusan tahun lalu, timah telah membentuk lanskap tanah, ekonomi, bahkan cara orang memandang masa depan di Bangka Belitung. Dari penambangan sederhana yang jejaknya bisa kita lacak sampai abad ke-7 melalui Prasasti Kota Kapur, berlanjut ke masa Kesultanan Palembang pada abad ke-17, hingga hadirnya Billiton Maatschappij yang membawa pola penambangan modern pada masa kolonial, timah selalu hadir sebagai kata kunci sejarah daerah ini. Setelah Indonesia merdeka, kegiatan pertambangan kemudian diintegrasikan ke dalam perusahaan negara pada 1953–1958 dan pada 1976 bertransformasi menjadi PT Timah Tbk.

Aturan pemerintah tentang tambang timah terkait perubahan izin atau penerbitan tambang ilegal menandai principium kebijakan yang silih berganti. Emas putih ini dijejali kepada masyarakat Bangka Belitung sebagai menu mata pencaharian utama oleh pemangku kebijakan, meninggalkan lada dan karet yang semula menjadi komoditas utama. Alih-alih bertemu dengan kehidupan yang lebih mapan, banyak keluarga justru berhadapan dengan ketidakpastian, konflik, dan ketergantungan ekonomi yang rapuh. Truisme pahit yang beredar dari mulut ke mulut pun akhirnya terdengar: dari praktik pertambangan ini, yang benar-benar diuntungkan hanya segelintir orang yang rakus.

Banyak dampak buruk dari praktik pertambangan yang musti kita hadapi secara kolektif. Salah satu masalah paling nyatanya yaitu hadirnya lobang-lobang besar bekas kegiatan penambangan timah yang dibiarkan menganga dan di beberapa titik ironinya dijadikan lokasi wisata. Selain tidak tepat, hal ini jelas bertentangan dengan UU No.3 tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba dan Batubara tentang pelaksanaan reklamasi pascatambang. Tak hanya itu, kegiatan penambangan meninggalkan noda hitam dalam bidang korupsi dan keculasan lain.

Sulit untuk memisahkan praktik pertambangan timah di Bangka Belitung hari ini dari kasus tata niaga timah yang belakangan mengguncang Indonesia. Kasus ini mencuat setelah Kejaksaan Agung, berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), menemukan penyimpangan serius dalam pengelolaan timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk pada periode 2015–2022. Dalam penjelasan resmi, Kejaksaan Agung menyebut adanya kerugian negara yang sangat besar, yang sebagian besar berasal dari praktik penambangan ilegal yang bijihnya disalurkan dan “dilegalkan” melalui jalur resmi, kerja sama penggunaan smelter yang merugikan, serta kerusakan lingkungan yang luas. Angka kerugian ini disebut sebagai real loss, kerugian nyata yang harus ditanggung negara, bukan sekadar hitungan di atas kertas. Dari sinilah pintu penyidikan besar-besaran terhadap tata niaga timah dibuka, menyeret banyak pihak ke dalam proses hukum.

Dalam kasus ini kejaksaan berperan sangat besar dengan melakukan penyelidikan, memeriksa banyak pihak, menetapkan sejumlah pejabat serta perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kasus ini. Kita bisa melihat betapa rumitnya persoalam tata niaga timah yang terjadi. Kejaksaan juga melakukan upaya penyitaan aset dan melakukan perhitungan kerugian negara yang sangat besar.

Kejaksaan Agung telah menetapkan sejumlah tersangka (termasuk mantan direksi PT Timah Tbk dan lima korporasi smelter) dalam kasus tata niaga timah periode 2015–2022, dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp300 triliun, termasuk kerugian lingkungan senilai Rp271 triliun. Kejaksaan sejumlah aset dalam jumlah besar sebagai barang bukti, mulai dari uang tunai, alat berat, hingga berbagai harta bergerak dan tidak bergerak lainnya. Dari sisi hukum pidana, para tersangka diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sementara itu, dari sisi hukum lingkungan, sebenarnya tersedia juga dasar hukum melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memberi kewenangan kepada negara untuk menuntut pemulihan lingkungan dan ganti rugi atas kerusakan alam. Namun dalam praktiknya, kejaksaan memilih menggunakan pasal-pasal korupsi sebagai dasar utama proses hukum karena dinilai paling kuat untuk menjerat para pelaku kasus tata niaga timah.

Di sinilah pertanyaan etis mulai mengemuka. Di satu sisi, kita melihat kejaksaan bergerak dengan menggunakan pasal-pasal korupsi yang dianggap paling kuat untuk menjerat para pelaku. Ini tentu penting, karena korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam bukan kejahatan kecil. Ia merampas hak publik, merusak kepercayaan, dan menambah derita masyarakat yang sudah hidup dekat dengan risiko. Namun, di sisi lain, kerusakan lingkungan yang begitu besar seolah hanya ditempatkan sebagai “angka kerugian” dalam perhitungan negara, bukan sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap hak masyarakat atas lingkungan hidup yang layak. Padahal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 secara jelas membuka ruang bagi negara untuk menuntut pemulihan ekologis, bukan hanya mengganti kerugian finansial.

Dalam konteks etika profesi, jaksa seharusnya tidak hanya mengejar dakwaan yang paling mudah atau paling aman, tetapi kejaksaan juga harus mempertimbangkan keadilan yang luas bagi masyarakat dan lingkungan yang rusak. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah Keputusan tersebut di ambil murni berdasarkan penilaian hukum yang objektif, atau karena kecenderungan untuk memilih jalur yang lebih sederhana secara prosedur.

Pada titik ini, integritas dan keberpihakkan jaksa terhadap kepentingan publik diuji, sebab etika profesi menuntut mereka bertindak bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara moral, terutama ketika dampak kasusnya menyentuh lingkungan hidup yang seharusnya dilindungi. Etika profesi juga menuntut jaksa memiliki keberanian moral untuk benar-benar menempatkan kepentingan Masyarakat di atas kepentingan institusi. Artinya mereka di tuntut menjaga kejujuran, keobjektifan dan keberpihakan pada kebenaran meskipun harus menempuh langkah-langkah rumit yang berpotensi menimbulkan tekanan sekalipun. Sebab, kejaksaan tidak hanya bertugas menegakkan pasal demi pasal, tetapi dituntut memiliki kepekaan sosial dan kepedulian terhadap dampak lingkungan, sehingga proses hukum yang dijalani tidak berhenti pada pembuktian formal saja, melainkan menunjukkan tanggung jawab terhadap kerusakan alam dan masa depan masyarakat yang terdampak.

Ketika prinsip etis seperti ini tampak kurang diindahkan dalam penegakkan suatu perkara, wajar jika muncul kritik bahwa kewajiban moral profesi belum dijalankan sepenuhnya dan bahwa tentutan etika untuk membela kepentingan publik secara utuh masih belum terlihat kuat dalam praktiknya. Selain itu, tuntutan etis tersebut juga ditegaskan secara formal melalui Kode Etika Jaksa dalam Peraturan Jaksa Agung PER-014/A/JA/11/2012 serta dipertegas kembali melalui Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kode Perilaku Jaksa, mewajibkan setiap jaksa menjunjung tinggi kejujuran, objektivitas, independensi, serta menghindari konflik kepentingan. Jaksa tidak boleh menerima keuntungan dari pihak yang berkepentingan, wajib melindungi hak masyarakat, dan harus menjalankan penuntutan secara profesional tanpa memihak.

Selain itu, menurut Undang-Undang Kejaksaan UU NO.16 Tahun 2004 memang menegaskan bahwa jaksa memikul tanggung jawab besar untuk bertindak demi kepentingan umum, menjaga kehormatan profesinya, dan menjalankan penegakkan hukum secara merdeka, jujur, serta sesuai hati nurani. Pasal dalam UU tersebut mewajibkan jaksa bertindak berdasarkan hukum sambil menjunjung nilai kemanusiaan, kesusilaan, serta integritas pribadi, sehingga setiap keputusan penanganan perkara harus selaras tidak hanya dengan keputusan.

Melihat penanganan kasus tata niaga timah, peran jaksa tampak berfokus pada penggunaan pasal-pasal korupsi yang paling kuat. Namun, pilihan ini menimbulkan pertanyaan etis karena kerusakan lingkungan yang begitu besar tidak diproses melalui jalur hukum lingkungan yang sebenarnya tersedia. Padahal, sebagai pemilik perkara, jaksa memiliki mandat teoretis untuk menyeimbangkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dalam menentukan arah penuntutan, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 11 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa kejaksaan adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan wajib bertindak untuk kepentingan umum. Mandat ini juga diperkuat oleh UU No. 16 Tahun 2004 yang mewajibkan jaksa menjaga martabat profesinya, bertindak jujur, merdeka, objektif, serta menggali nilai kemanusiaan dan kepentingan publik dalam setiap keputusan hukum. Lebih lanjut, Peraturan Kejaksaan RI No. 4 Tahun 2024 tentang Kode Perilaku Jaksa mengatur norma perilaku yang harus dijunjung jaksa, seperti integritas, independensi, larangan konflik kepentingan, dan kewajiban menjaga kepercayaan publik, baik saat bertugas maupun di luar tugas. Jika kerangka teori dan aturan ini disandingkan dengan praktik dalam kasus timah, wajar apabila muncul kritik bahwa pilihan penuntutan yang tidak menonjolkan hukum lingkungan belum sepenuhnya mencerminkan kewajiban etis dan legal jaksa untuk melindungi kepentingan masyarakat serta lingkungan yang rusak, sehingga kasus ini menjadi ujian nyata apakah kewenangan penuntutan dijalankan sesuai integritas profesi dan amanat undang-undang.

Dalam melihat penanganan kasus tata niaga timah, muncul kesan yang sulit diabaikan bahwa penerapan etika jaksa masih menyisakan ruang pertanyaan, terutama karena langkah hukum yang ditempuh tampak lebih terfokus pada kerugian keuangan negara dibandingkan dengan kerusakan lingkungan yang nyata dan luas. Padahal, etika profesi dan kode perilaku jaksa menuntut keberanian moral serta independensi yang utuh, termasuk kesediaan untuk menggali seluruh aspek pelanggaran tanpa memilih jalur yang hanya paling praktis atau paling aman secara prosedural. Ketika dimensi ekologis tidak ditempatkan sebagai bagian yang mendapatkan perhatian setara, publik secara wajar mempertanyakan apakah kewenangan jaksa telah digunakan secara maksimal? Dalam konteks ini, implementasi etika tampak berjalan, tetapi belum sepenuhnya menunjukkan ketegasan nilai-nilai profesi yang ideal nilai yang semestinya membuat jaksa berdiri pada posisi tegak dalam mengakkan keadilan dan untuk melindungi kepentingan masyarakat, lingkungan, dan integritas hukum itu sendiri.

 

Penulis: Callysta Fauziyyah Rahmadani, menetap di Pangkalpinang, Bangka Belitung. Sekarang tercatat sebagai mahasiswi semester 1 di Universitas Bangka Belitung, Prodi Hukum. Dapat dihubungi melalui media sosial ig : _chacah

Editor: Habib Safillah Akbariski & Pandu S. Bimantara

Check Also

Emansipasi Lintas Tradisi: Genealogi Demokrasi Modern dari Luther, Locke, hingga Piagam Madinah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *