
Berbicara marxisme di Indonesia itu susah, demikian yang Martin Suryajaya ungkapkan dalam esai terakhirnya dalam rubrik logika di laman Indoprogress 12 tahun lalu. Sejujurnya, ungkapan Martin tersebut memang nyata terjadi, dan siapapun yang merasa dirinya sebagai penikmat marxis di Indonesia, ia tidak akan dapat menyangkalnya.
Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa ditarik sebagai titik berangkat, 1) selain minimnya pengetahuan rakyat Indonesia terhadap marxis secara holistik; termasuk transformasi sirkuit Komoditas-Uang-Komoditas, yakni metamorfosis komoditas menjadi uang, dan menjadi komoditas yang lain hampir gagal dicerna sebagai proposisi yang sesungguhnya menyimpan rasa kepedulian, dan yang berikut adalah 2) agamawan, sejauh diartikan sebagai agamawan fanatisme, yang buta dan enggan memodifikasi proposisi yang sebenarnya bermanfaat ini untuk bisa diterima secara luas.
Esai ini diharapkan dapat menjadi awal diskusi ilmiah kita dalam konteks Islam dan marxisme yang bermutu. Sebab jika kita perhatikan lagi, kritik kaum Islam terhadap marxisme banyak yang serabutan, khususnya kaum muda Islam di Indonesia, hanya dengan unggah reels atau postingan di Sosmed yang tak berdasar, mereka dengan mudahnya mempostulatkan marxisme sebagai sebuah ajaran bid’ah yang tak layak dipelajari. Mereka mengkritik, tetapi pada hakikatnya tidak tahu pasti bagaimana cara kerja sistem yang mereka kritik, kritik mereka itu tak berlandas ilmu pengetahuan, asalan dan dangkal.
Kita ambil contoh, misalnya hanya dengan modal bayang-bayang G 30 S PKI dan pernyataan Marx “Agama itu candu”, mereka menolak keras marxisme, tanpa sedikitpun ruang toleransi. Karenanya, untuk mengkaji persoalan tersebut lebih dalam, Mari kita bahas.
Kondisi Marxisme di Mata Kaum Islam
Marxisme dianggap sebagai liang masalah, ia dianggap sebagai dalang dari konflik kelas antara proletariat dan borjuis. Hal ini tentunya bertentangan dengan konsep Islam yang banyak mengedepankan kesejahteraan dan perdamaian. Islam, seperti kita ketahui menolak ajaran yang dapat memecah belah umat, adu domba, serta pun juga yang terpenting Islam melihat kemiskinan kondisi yang sementara dan masih bisa diperbaiki, hal ini bisa kita lihat ketika Allah SWT, berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat-55 yang mengindikasikan bahwa pasti Allah akan memberikan kebahagiaan pada hambanya yang sabar manakala sedang diuji dengan sedikit kelaparan dan kekurangan harta. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki posisi yang tidak terus menerus hina. Berbeda dengan Marx, yang melihat kemiskinan sebagai aib. Namun apakah landasan tersebut cukup, untuk menilai marxisme sebagai teori dan metode yang tidak berguna?
Tidak, mari kita lebih jauh membahas bagaimana marxisme di mata kaum Islam. Bukan hanya landasan itu sebenarnya, Murtadha Muthahhari, seorang ulama, filsuf dan politikus asal Iran menjelaskan pendapatnya mengapa Islam menolak marxisme, dalam bukunya yang berjudul “Society and History”. Ia menerangkan, dengan materialisme dialektisnya, marxisme itu secara tidak langsung menyempitkan ruang bagi spiritual dan ketuhanan melalui teori-teorinya, demikianlah ia mengungkapkannya;
“There are a number of philosophies, personalities, ideas and outlooks – leave alone religions and religious ideologies – which are ahead of their times and their own class interest. There are many ideas that were the products of the material needs of a specific period which still remain alive even after the passage of a considerable time, and shine as stars over the horizons of human history.” (Society and History, Mutadha Murtadhahri)
Dalam satu paragraf di atas Murtadha Muthahhari berangkapan, bahwa semua ide, filsafat, atau kondisi manusia semata-mata lahir dari kondisi material atau kepentingan kelas sosial pada masa tertentu, seperti yang diyakini oleh Marx.
Muthahhari menyoroti bahwa sepanjang sejarah kita banyak menemukan tokoh, ide, dan berbagai pemikiran, serta agama sekalipun/ideologi religius yang malah muncul melampaui zamannya. Artinya apa? Ide dan gagasan-gagasan tidak akan punah akibat dimarjinalkan sejarah, ia akan tetap bersinar sepanjang sejarah, kendati pun sudah lewat masa pertama kali ide itu muncul. Ia tidak terbatas oleh kepentingan ekonomi atau status sosial juga.
Pada paragraf di atas itulah kita juga bisa melihat Muthahhari sedang menolak pandangan deterministik Marx yang menyempitkan ruang bagi agama. Marx menyatakan kesadaran dan ideologi manusia merupakan sebuah produk dari situasi dan kondisi ekonomi dan struktur kelas. Sebaliknya, ia justru menekankan bahwa manusia memiliki konsen kedalaman kesadaran lebih dari sekadar berpegang pada kepentingan duniawi—bahwa kesadaran bisa melampaui waktu, kesadaran sosial, bahkan klasifikasi kelas sosial yang pernah ada.
Pernyataan seperti ini menunjukan (kepada yang meyakini) teori Marx tentang hubungan mutlak antara base dan superstructure (ideologi, agama, budaya, dll) tidak sepenuhnya berlaku dalam realita. Sebaliknya kesadaran manusia mempunyai kemampuan transhistoris.
Ternyata tidak hanya dengan sebab itu kaum Islam menolak Marx. Penolakan itu terjadi ketika 1843, Marx muda yang berakar pada Hegelianisme menulis esai berjudul A Contribution to Critique of Hegel’s Philosophy of Right, dengan sebuah ungkapan terkenal; agama candu rakyat. Namun, apakah benar ungkapan itu Marx maksudkan sebagai bentuk pelecehan terhadap agama? Mari kita lihat bagaimana Marx mengungkapkan:
“Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people. The abolition of religion as the illusory happiness of the people is the demand for their real happiness. To call on them to give up their illusions about their condition is to call on them to give up a condition that requires illusions. The criticism of religion is therefore in embryo the criticism of that vale of tears of which religion is the halo.” (A Contribution to Critique of Hegel’s Philosophy of Right, Karl Marx)
Jika kita telisik lebih dalam lagi, di sana Marx berupaya menjelaskan, bahwa agama kala itu laksana bentuk ekspresi dan protes penderitaan yang dialami manusia—jika seperti itu, agama tak ubahnya sebagai sebuah pelipur lara saja, ia hanya di candu, jika ada tarikan kesengsaraan.
Coba perhatikan: “Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions”
“Penderitaan keagamaan pada saat yang sama adalah ekspresi dari penderitaan nyata dan juga protes terhadap penderitaan nyata itu. Agama adalah keluh kesah makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tanpa hati, dan jiwa dari kondisi yang tanpa jiwa.”
Marx menyatakan “religion suffering” atau dalam bahasa kita “penderitaan keagamaan”, lalu ia melanjutkan is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering, yang dalam bahasa kita, pada saat yang sama adalah ekspresi dari penderitaan nyata dan juga protes terhadap penderitaan nyata itu. Kita seharusnya dapat memahami bahwa penderitaan keagamaan itu tidak datang dari agama itu, tetapi dibubuhkan oleh manusia, dan karenanya, kedatangan manusia terhadap agama (oleh manusia) hanya ketika mereka merasa menderita. Sekarang, siapa yang tidak peduli agama? Marx, atau mereka yang mengklaim dirinya sebagai agamawan?
Agar lebih mudah mencerna apa yang dimaksud Marx silakan perhatikan diagram berikut:

Menurut Marx, agama, bukan merupakan penyebab dari penderitaan, tetapi refleksi kondisi sosial yang bagi manusia menindas. Sehingga, dengan kata lain, agama tidak mencipta penindasan tetapi dirindukan ketika ada penindasan.
Namun, karena agama menawarkan suatu rasa damai dan tentram, malah dapat membuat manusia melanggengkan status quo, mereka malah cenderung pasrah dan anteng-anteng saja melihat ketidakadilan—seolah bukan masalah. Inilah sebabnya Marx menyebut agama “candu”. Tidak hanya berbentuk kritik seperti ini, masih banyak lagi, dan kebanyakan sebagian besar dari mereka enggan untuk memodifikasi proposisi yang sebenarnya bermanfaat ini untuk bisa diterima secara luas agar dapat diimplementasikan kaum Islam.
Penulis: Moh. Farhan Maulana merupakan Santri PPA. Lubangsa yang tertarik dan menelaah filsafat dan sastra, selain itu ia juga aktif di komunitas diskusi yang ia dirikan, yakni Forum for Discussion on Religion, Philosophy, and Science (Fodireps), Forum ini, dibentuk sebagai medium diskursif para santri untuk berdiskusi seputar filsafat, sains dan agama. Bisa dihubungi via Ig: moh_farhanmaulana