Sastra bagi Martin Suryajaya adalah kembali ke awal mula, kembali ke hancur lebur, kembali ke awal penciptaan. Bahwa apapun yang modernis pada hari ini akan menjadi tradisional di masa depan. Dan ia senang sekali mengolok-olok sastra Indonesia yang sok gagah dan megah itu. Keyakinannya atas sastra hancur lebur ini ia sampaikan dalam prolognya, bagaimana dan mengapa ia memilih spirit “hancur lebur” dalam prinsip-prinsip kesusasteraannya.
Setidaknya ia mengawalinya ketika para sastrawan-sastrawan Semarang berkumpul di rumah ayahnya, ketika ia masih kecil. Martin kecil mengingat dan mendengarkan percakapan-percakapan para sastrawan dalam diskusi tersebut. Ia kemudian memiliki kecenderungan bahwa sastra Indonesia adalah sastra puing, sastra yang kembali ke hancur lebur, dan semangat itulah yang ia bawa di hampir semua esai yang termaktub di dalam buku Kesusasteraan dan Kehancuran
Baginya sastra Indonesia tak lebih dari hanya perihal kuburan dan batu nisan, bahwa sastra Indonesia hanya ada di “kuburan”, dan mesti diziarahi oleh mereka-mereka yang mengaku sebagai sastrawan. Dan bagaimana kita melihat ini sebagai lelucon dan satire, dan memang benar bahwa sastra Indonesia harus dicari sampai ke akarnya, meskipun harus menengok dan berziarah ke arah kijing para sastrawan dan pujangga-pujangga nusantara.
Martin dalam bukunya Kesusasteraan dan Kehancuran mengawali bab pertamanya dengan manifesto komunis, yang nanti akan ia bawa-bawa dan kaitkan dengan manifesto-manifesto yang lain yang terkenal di dunia. Dan pada akhirnya nanti juga akan sampai dan lewat di sastra Indonesia bahkan membahas terkait sastra dan sastrawan Avant Garde. Menurut Martin pengaruh dari manifesto ini sangat luar biasa persebarannya dan pengaruhnya di dunia, dan ini juga akan dikatikan pula pada awal-awal perkembangan kesusasteraan Indonesia.
Martin seperti melakukan perjalanan ulang alik ke masa lalu-masa kini, masa kini-masa depan, dan masa depan-masa lalu. Dan ternyata sastra Indonesia tidak ditemukannya di manapun. Kecuali di kedisinian, dan kekinian; on progress dan hancur lebur. Namun dari nada satir dan pesimisnya itu, Martin ternyata diam-diam juga menyimpan harapannya sendiri terhadap sastra Indonesia. Meskipun ia seperti seorang pemuda cuek yang tengah merajuk kepada kekasihnya yang terlihat tua dan sempoyongan; si sastra Indonesia. Tapi Martin tak bisa melepaskan dan membiarkan kekasihnya yang tua renta itu sendirian. Martin masih ingin terus membersamainya, meskipun dengan perasaan dongkol dan tak berpengharapan. Tapi tepat di titik itulah Martin selalu bisa kembali dan selalu bisa mencarikan argumentasi dan alasan untuk selalu menemani si perempuan tua renta sastra Indonesia.
Martin mungkin melemparkan wacananya terkait dengan kehancur leburan itu, bahwa segala seuatu pada akhirnya akan hancur, termasuk sastra Indonesia. Tapi ia juga ingin mencecap kebersamaan lebih lama dengan sastra Indonesia, untuk semusim lagi, dan semusim lagi. Bahkan di akhir bab ia masih memikirkan profesi sastrawan di masa depan. Seorang sastrawan yang hidup di dunia cyberpunk. Bagaimana seorang penyair yang masih memiliki kesadaran dan rasa estetika zamannya dibenturkan dengan teknologi canggih dengan energi tak terbatas dengan para manusia setengah humanoid di masa depan. Martin masih mau membayangkan masa depan itu, masa depan sastra yang absurd dan tak menentu, sebagaimana pengarang dan penyair yang mengalami nasib yang sama sepanjang sejarah peradaban umat manusia.
Martin telah berhasil melakukan perjalanan ulang-alik dengan pembacaan yang sangat unik dan berbeda tentang sastra Indonesia, bahkan ia mengawali asal-usul api itu dengan mendedahkan satu ideologi yang sampai sekarang belum mati. Sampai kemudian ia menyimpulkan tentang estetika puing-puing. Saya sendiri merasa seperti dibawa bertamasya melakukan perjalanan masa lalu dan masa depan dengan seorang pemandu yang cerdas dan cerewet, berambut gondrong, bertubuh tambun, sinis, satir, pesimis, tapi juga masih terus menerus menyisipkan harapannya sendiri kepada nenek-nenek tua renta yang dicintainya itu; sastra Indonesia.
Ia masih ingin menyisipkan napas harapan itu, meskipun sastra pada akhirnya juga hanya perihal kehancurleburan yang hanya menyisakan puing-puing. Namun Martin ingin terus mengenang puing-puing itu, mendalami puing-puing itu, dan ingin juga terus menerus mecintai puing-puing itu. Kuburan sastra Indonesia.
Penulis: Juli Prasetya adalah seorang penulis muda asal Banyumas. Sekarang sedang berproses di Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung.