Menanam Kesadaran Lewat Tanah: Cerita dari Kebun Regeneratif Anak-anak Sekolah Desa Adat Darmaji

Langit belakangan seperti penyair tua yang kehilangan ritme—kadang cerah menawan, lalu tiba-tiba mengamuk dalam hujan. Alam tampak gelisah. Dan kita, manusia, sibuk menebak-nebak. Cuaca seolah kehilangan pakem. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini semata hanya gejala alam yang biasa, atau justru isyarat bahwa kita kehilangan hubungan paling mendasar dengan bumi?

Hidup Bersama Alam: Luka dan Ketekunan

Saya tidak begitu ahli dengan kasus semacam itu untuk menjawab. Namun beruntungnya, saya kenal seseorang yang konsisten melibatkan diri dalam upaya-upaya untuk hidup selaras dengan alam. Ia adalah Dwi Hartanto (31) seorang pegiat alam, petani organik, penyair, filsuf, dan julukan-julukan lain yang disematkan orang-orang kepadanya. Bagi saya, ia cukup dipanggil Mas Dwi.

Belakangan, saya mendengar kabar bahwa Mas Dwi baru saja menyelesaikan misi ekologis yang tak biasa. Ia dikirim oleh Bumi Langit Institute (Bantul, Yogyakarta), bekerja sama dengan Yayasan East Bali Poverty Project (EBPP), untuk mendampingi siswa-siswi sekolah adat di Desa Darmaji, Karangasem, Bali. Misinya: mendirikan kebun pangan regeneratif di lahan tandus desa.

Pada Senin sore, 5 Mei 2025, saya mengajak Mas Dwi duduk bersama di Kedai Sabana Tak Bertepi (Ngaglik, Sleman). Saya ingin belajar tentang alam melalui kisahnya. Tentang bagaimana kebun bisa menjadi ruang pendidikan ekologis, dan bagaimana tanah bisa menumbuhkan kesadaran. Dengan begitu, saya berharap bisa mendapatkan ilmu yang tidak hanya sekedar di awang-awang, alias berhenti sampai di teori, melainkan nyata dalam praktik.

Pertanyaan yang saya ucapkan pertama kali sudah pasti tentang kabar. Klise. Namun, saya kira itu sesuatu yang penting, yang perlahan dihiraukan oleh sebagian masyarakat modern. Mas Dwi pun juga berlaku demikian. Kami berbasa-basi saling menanyakan kabar, cukup panjang. Terutama seputar asmara. Dan dari dulu sampai saat ini sama saja, Mas Dwi maupun saya, masih suka berpatah hati.

Setelah itu saya memulai pembicaraan pada topik utama. Saya meminta Mas Dwi menceritakan pengalaman empirisnya secara kronologis—dari awal, dari akar—perjalanan sunyi seorang pegiat alam.

Dari Lahan Gersang ke Ladang Harapan: Memikul Masa Depan di Tanah Tandus

Mas Dwi memulainya dengan quotes ala-ala yang cukup menarik, demikian ucapnya: “Keberlangsungan ekologi adalah pangkal dari ketaatan, dan manusia hanyalah cabang-cabangnya.” Saya hanya diam, ia melanjutkan:

“Agenda yang digagas oleh Yayasan East Bali Poverty Project itu sudah dimulai sejak awal 2023 di Desa Manikaji, dengan tajuk yang sama: pembelajaran pertanian regeneratif lahan kering. Memberikan bekal kepada siswa-siswi sekolah untuk mengolah lahan tandus keluarga mereka yang berpasir abu vulkanik agar menjadi lahan kebun yang produktif dan berkelanjutan. Kemudian agenda serupa dilanjutkan di Desa Adat Darmaji, dengan penyelenggara yang sama pula dimulai pada bulan Agustus 2024 kemarin. Bedanya kali ini mereka mengajak Bumi Langit untuk berkolaborasi.” Ia menegaskan juga bahwa agenda tersebut diselenggarakan juga berkat hibah yang disponsori oleh salah satu donatur yang berbasis di Bali pada bulan Januari 2023.

Mas Dwi telah mendampingi dua tahap:

  • Tahap pertama: 1–15 Oktober 2024
  • Tahap kedua: 13–31 Desember 2024

Tahap Satu: Tangan Kecil yang Merangkul 

Langkah awal dimulai dengan pendekatan ke sekolah. Mas Dwi dan Wayan Ngurah (pendamping dari EBPP) berkenalan dengan anak-anak sembari menyatukan energi satu sama lain. Setelah itu anak-anak diajak ke lahan yang dipinjam dari warga sebagai ruang pembelajaran.

Sesampainya di lahan, mereka memberikan materi kepada anak-anak terkait pengetahuan dasar pertanian: menata lanskap lahan garapan, bagaimana membuat terasering, pentingnya kompos dan mulsa, tanaman pendamping, serta cara menangani gulma di sekitar tanaman. Selain itu, pemaparan materi terkait sistematika di lapangan juga dijelaskan. Seperti: persiapan alat-alat yang dibutuhkan, pembagian tugas, serta penjelasan alur pengerjaan.

“Usai pemaparan materi, anak-anak langsung bergegas masing-masing mengerjakan apa yang menjadi bagiannya. Jadi, ada yang macul membuat terasering, mengumpulkan bahan-bahan untuk kompos, mengambil air dari cubang.” Kata Mas Dwi.

Saya menangkap kegembiraan Mas Dwi ketika menceritakan pengalamannya itu, katanya lagi, “Saya tidak terlalu kesulitan selama mendampingi anak-anak di sana, mereka antusias dan cepat menangkap arahan saya. Lagipula, sebelum ke lahan mereka juga sudah melakukan kunjungan ke kebun pangan regeneratif yang sudah dibuat di Sekolah Manikaji, belajar dari siswa yang lebih dahulu menjalankan program tersebut. Jadi, sedikit banyak mereka sudah mendapat gambaran apa yang akan mereka lakukan ketika di lapangan.”

Anak-anak Belajar Hidup Sebagai Siklus Dari Kompos dan Kontur

Dari Mas Dwi, saya baru tahu bahwa lahan berpasir pun bisa dikelola menjadi kebun yang bisa ditanami. Asal sabar dan telaten. Prosesnya: membersihkan lahan, menentukan kontur dengan A-frame dari bambu, membuat terasering, dan kolam penampung air hujan, lalu membentuk bedengan.

Bersamaan dengan itu, pekerjaan lain yang mesti digarap ialah membuat kompos organik. Cara membuat kompos organik pun juga simple, yakni memanfaatkan bahan-bahan di sekitar lahan. Misalnya: dedaunan kering (Brown Material), dedaunan hijau, sisa-sisa makanan dapur, buah-buahan (Green Material), kotoran hewan (Black Material), dan air.

Kompos organik sendiri menduduki peran penting untuk kesuburan tanah. Fungsinya untuk menjaga kelembaban tanah agar tetap stabil, mengikat tanah yang berpasir untuk meningkatkan kekuatan struktur tanah, memperkaya unsur hara dan mikroorganisme di dalam tanah, dan menyediakan nutrisi bagi tanaman.

Pikiran yang Tak Disemai, Lepas Hilang Tak Berjejak

“Hampir setiap ada jeda kegiatan, saya selalu menyisipkan semacam evaluasi ke anak-anak terkait apa yang mereka kerjakan. Harapan saya, mereka tidak hanya sekedar menjalankan arahan, melainkan memahami betul apa yang mereka lakukan. Misalnya dalam konteks pembuatan kompos, anak-anak mesti tahu jika kompos setelah dibuat tidak bisa langsung digunakan, melainkan harus didiamkan dulu selama kurang lebih satu bulan untuk mencapai kematangannya.” Ujar Mas Dwi.

Dengan jangka waktu dua minggu pengerjaan, terasering sudah jadi 2/3 dari lahan yang membentang seluas kurang lebih 700 m persegi. Selain itu, anak-anak juga berhasil membuat tiga tumpuk kompos.

“Setelah tahap pertama selesai, sebelum pulang saya meminta kepada anak-anak setidaknya dua hari sekali sepulang sekolah untuk menilik perkembangan kebun secara bergiliran.” Kata Mas Dwi.

Tahap Kedua: Anak-anak dan Alam yang Tabah

Satu bulan kemudian, Mas Dwi kembali ke Darmaji. Hari pertama: Ia berkata merasa gembira sekaligus terharu melihat kondisi kebun. Selama ditinggal Mas Dwi pulang, anak-anak melanjutkan pekerjaan secara mandiri. Mereka membuat sembilan tumpuk kompos baru dan satu terasering tambahan. Di sisi lain, yang membuatnya senang adalah melihat kolam-kolam yang dibuat pada tahap pertama sudah terisi air. Artinya, kehidupan akan segera dimulai.

Hari-hari berikutnya, Mas Dwi mengajak anak-anak untuk mengumpulkan bibit-bibit. Mas Dwi membagi tugas, ia bagian mengurus bibit sayur-sayuran dan buah-buahan. Sementara anak-anak mengumpulkan tanaman pendamping seperti rumput vetiver, gamal/kleresede, bunga-bungaan, pisang, dan beberapa tanaman lain yang ada di sekitar rumah. Setelah tanah dicampur kompos dan dilapisi mulsa, mereka mulai menanam: dimulai dari tanaman pendamping—penjaga ekosistem dan keberagaman—lalu bibit-bibit utama.

Pada agenda tahap kedua ini, Mas Dwi mengakui jika prosesnya sedikit lebih lama daripada tahap pertama. Yakni memerlukan waktu kurang lebih tiga minggu pengerjaan. Hal tersebut dikarenakan cuaca yang tidak menentu, atau bisa dibilang wilayah Darmaji dan sekitarnya sering diguyur hujan lebat. Kadang pula, anak-anak dan Mas Dwi harus basah kuyup ketika tiba hujan di tengah-tengah proses menanam.

“Berkat semangat anak-anak dan bantuan Allah SWT, alhamdulilah kegiatan dapat terlaksana dengan baik. Kami berhasil menanam aneka ragam tumbuhan dan menambah dua terasering lagi. Saya pun juga memberikan tanggung jawab oleh anak-anak ke depannya, yakni memastikan tumbuhan beserta ekosistemnya tumbuh dengan baik dan terjaga selamanya.” Kata Mas Dwi yang meneduhkan.

Tambahnya lagi, “Harapan saya kepada anak-anak di Desa Adat Darmaji mereka bisa menerapkan proses serupa di rumah masing-masing. Selain upaya untuk membiasakan hidup selaras dengan alam. Secara tidak langsung mereka juga memudahkan keluarga untuk tidak bergantung pada pembelian bahan-bahan makanan di pasar. Mereka jadi lebih irit, dan uangnya bisa ditabung untuk digunakan hal-hal lain yang sama manfaatnya.”

Menanam Kesadaran, Memanen yang Tak Pernah Selesai

Mendengar semua kisah dari Mas Dwi, saya sisa termenung. Campur aduk. Bangga, terharu, sekaligus sedih. Ternyata, kondisi cuaca yang saya pertanyakan sedemikian bukan hanya soal usia bumi, atau ketidaksadaran manusia. Melainkan kegagapan manusianya sendiri menentukan tindakan setelah sadar.

Saya kira sebagian besar orang-orang sudah banyak yang peduli terhadap krisis iklim global ini. Mereka juga tak segan membahasnya secara mendalam. Baik di ruang kelas, seminar, dan forum-forum lain. Saya pun juga sering terlibat. Memang inisiatif semacam itu adalah sesuatu yang mulia, saya sepakat. Namun setelahnya—kita lupa. Pengetahuan itu mengambang, tidak tahu arah pulang. Bukannya salah, tetapi eman-eman saja.

Mungkin, sesederhana tidak membuang sampah sembarangan pun sudah cukup berarti hari ini. Atau, mulai menanam satu benih. Di halaman rumah. Di kepala. Di hati.

“Lihat itu kebun di depan kedai, Mas,” ujar Mas Dwi sebelum kami pulang. “Ayo kita garap lagi.”
Kami tertawa.

Yogyakarta, Mei 2025

Penulis: Kind Shella, lahir di Ponorogo pada 5 September 2001. Kini memilih bermukim di Yogyakarta untuk merawat hidup. Aktivitas hari ini—belajar semesta keredaksian Di Kobuku Penerbit. Selain itu, ia juga tergabung dan aktif dalam komunitas Suku Sastra. Untuk berkenalan lebih dekat, dapat dihubungi melalui instagram @kindshella

Dokumentasi: Project Kebun Pangan Regeneratif by Dwi Hartanto

Check Also

Berpetualang ke Negeri Osi

Judul : Rahasia Negeri Osi Penulis : Abinaya Ghina Jamela Penerbit : Gorga Edisi : …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *