
Malam ketujuh bulan Ramadan belum begitu larut, lantunan ayat suci dari TOA musala yang sember masih mengalun dengan khidmat. Di bawah remang lampu 5 watt, Rojaman membereskan segenap alat dadunya di kolong ranjang. Suaranya sedikit berisik hingga istrinya yang belum begitu lelap terjaga. “Apa telurnya habis, Kang?” tanya Darini bangun dari ranjang sambil mengikat rambutnya yang lusuh mengilat.
“Ludes!” jawab Rojaman dengan sumringah di wajahnya. “Hari ini anak-anak ramai pasang telur.”
“Alhamdulillah.”
“Besok, siapkan aku telur lima kilo, Dar! Kuclak lagi rame.”
Darini sangat senang dengan usaha suaminya malam ini. Tiga kilo telur asin tandas tak tersisa. Barangkali bulan Ramadan membawa berkah bagi keluarga kecil mereka, entahlah, keuntungan mana yang halal bagi Darini sudah tidak dipedulikan lagi baginya. Ia sadar betul jika suaminya saban malam membuka pasangan endog untuk usaha tambahannya. Terutama di malam sepanjang bulan Ramadan seperti ini. Mendapatkan keuntungan lima puluh ribu hinggga ratusan ribu adalah hal yang mewah bagi keluarga mereka.
Di lantai semen rumahnya yang tak begitu luas, ketiga muka anaknya yang pulas mengilat terkena cahaya lampu 5 watt, yang satu usia 5 tahun, satu lagi usia 2 tahun, dan yang paling kecil usia 10 bulan. Rojaman dan Darini dikaruniai anak perempuan, kecuali yang paling kecil.
***
Sebenarnya, kampung asal Rojaman sangat dikenal di berbagai wilayah khususnya daerah Cirebon-Indramayu sebagai kampung yang banyak santrinya, banyak kyainya, dan warganya banyak yang sejahtera oleh sebab banyak orang bergelar haji dengan sawah luas.
Tidak melulu anak seorang haji, warga di kampungnya gemar mengantarkan anak-anak mereka untuk mondok di pesantren-pesantren Cirebon. Di antara yang paling populer biasanya di sekitaran Ciwaringin, Kempek, Buntet, bahkan tak jarang di pesantren Benda Kerep–pesantren yang masih asri sejarahnya sampai sekarang.
Sepulang mondok; anak-anak mereka, jika tidak jadi kyai dan guru mengaji, pastilah jadi orang alim yang kaya akan ilmu dan kemudian menjadi salah satu tokoh masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka.
Sejak dulu, semacam bagian dari tradisi, sebenarnya masyarakat di kampungnya sudah lama gemar mengirimkan anak-anak mereka untuk berguru agama. Banyak yang menceritakan kepada anak-anak mereka, dulu orang tua mereka juga demikian; ada yang mondok karena betul-betul untuk bertujuan menuntut ilmu, ada juga mondok yang karena memang kurangnya biaya hidup. Sehingga beberapa anak terpaksa harus dikirimkan ke pondok-pondok tertentu.
Dahulu, orang-orang yang kurang beruntung nasibnya dalam hal ekonomi, selalu dikaruniai banyak anak. Seolah Tuhan ingin menguji mereka melalui cara itu. Lalu orang-orang tua mereka mengantarkan anaknya satu per satu di pondok yang telah dikenalnya dengan baik. Setiap satu anak, mereka dibekali satu tas jinjing plastik berisi beras penuh beserta satu sisir pisang untuk diberikan pada pengasuh pondok sebagai ongkosnya. Di kemudian hari, orang tua mereka seperti ‘meninggalkan pakaian kotor tidak tahu pemiliknya’, bertahun-tahun anak tersebut tidak diberikan kiriman lagi atau barang hanya untuk ditengok sesekali. Plass … Sampai usia dewasa dan kembali ke desa dengan membawa ilmu.
Oleh karena itu, dengan melalui cara apa pun, kampungnya kemudian dikenal banyak santri dan kyainya dari jebolan pesantren-pesantren hebat. Bahkan sampai saat ini pun demikian adanya. Masih banyak kyai-kyai sepuh yang bergiat di masjid, banyak kegiatan-kegiatan agama, pengajian rutin, dan pemudanya juga banyak yang berkegiatan sebagai pemuda muslim yang baik, aktif di organisasi-organisasi Islam.
Tapi sayangnya, apa yang telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya itu semua sudah tidak berlaku. Kampungnya sekarang sudah berubah. Jika dulu banyak pemuda yang bersarung, orang tua teladan yang sepuh nan arif atau kyai yang dihormati di setiap tempat, sekarang pemandangan itu sudah menguap. Sekarang hanya di beberapa tempat ibadah atau tempat tertentu saja kalian akan menemuinya. Sedang di pelosok-pelosok kampung seperti antarblok dan pekarangan rumah sudah berubah drastis menjadi pemuda yang gemar mabuk dan menjadi pejudi ulung.
Beberapa faktor utamanya adalah perkembangan zaman yang belum bisa diterima oleh pemuda-pemuda di generasi berikutnya. Banyak mereka yang membawa budaya-budaya buruk dari luar kota selepas mereka merantau dan kembali menetap di kampungnya lantaran gagal mengadu nasib yang tak kunjung membaik di kota orang. Sekarang, yang terlihat adalah pemuda di kampungnya sudah akrab dengan kegiatan mabuk, berjudi, dan menenggak puluhan pil rombongan seperti destro, trihex, sampai komix oplosan.
Di belakang-belakang pekarangan rumah, pemuda bertelanjang dada dengan kaus disampir di pundak duduk melingkar untuk menentukan nasibnya bermain kartu dengan cara qiu-qiu, capsa, gapolan atau juga dengan pokeran. Bahkan, di perkembangan desa yang semakin bobrok, mereka telah menganggap itu hal lumrah. Mereka seperti hidup di antara batu-batu dan pohon yang tak saling peduli; “Toh juga taruhannya masih kecil”. Hal tersebut kemudian semacam menjadi sebuah kebiasaan, bahkan sejak kecil mereka telah diajari judi kecil-kecilan. Tidak sedikit ibu-ibu di satu lingkungan dengan meriah mengajari anaknya bermain Op-op’an, bermain kartu Wayang Petruk untuk siapa yang lebih dulu menemukan pasangan kartunya yang keluar dari bandar akan diberhentikan dengan mengatakan; “Op”, dan dia yang menang. Tidak banyak, pemainnya hanya dikenakan urunan uang sebesar 500 sampai 1000 rupiah.
Jika tiba bulan Ramadan, alih-alih menjadi momentum untuk merenungkan diri dan bertobat mengakui serta menyesal atas perbuatan-perbuatannya selama satu tahun, mereka justru tetap lanjut dan menganggap itu bukanlah suatu hambatan atau hari libur untuk berjudi. Barangkali, siangnya mereka tampak tidak terlihat tak berpuasa–atau memang benar sebagian besar dari mereka berpuasa, tapi malamnya tetap melangsungkan judi seperti main capsa atau gaple. Sedang anak-anak kecil mereka dibiarkan untuk memasang kuclak endog, beberapa dari mereka akan riang tak kepalang jika mendapat “balak enam” dari kartu gaple yang menjadi taruhannya, sebab mereka akan mendapat endog asin atau telur asin. Orang tua mereka tidak ada yang melarang, justru sebaliknya, akan bangga jika anak mereka pulang membawa dua sampai tiga telur, atau minimal barang satu telur, karena telur itu yang nantinya akan disimpan dijadikan lauk sahur dan memotivasi anak-anak mereka untuk belajar berpuasa pada keesokan harinya.
Semasa muda, ia hidup dari teman ke teman. Baginya, seorang teman tak ubahnya bagian hidup yang memberikan kebebasan dan kesenangan. Tidak ada hari atau tindakan apapun yang dilakukannya tanpa seorang teman. Tentu teman yang bangsat! Tapi mereka adalah teman yang baik bagi Rojaman.
Saban malam, sebagai bujangan, ia hampir tidak pernah tinggal barang di rumah sehari saja. Bahkan pulang ke rumah hanya mengganti bajunya yang kotor dan mencuri uang orang tuanya atau diam-diam memanggul satu karung padi dari gudang belakang untuk modal taruhan. Hingga suatu ketika, jauh di belakang pekarangan rumah, ia dan teman-temannya digerebek polisi oleh sebab ada seorang warga yang merasa resah dan melapornya ke Polsek setempat.
“Diam di tempat!” Teriak polisi setelah melepaskan tembakan peringatan ke langit. Beberapa dari mereka berhamburan lari tunggang-langgang menyelamatkan diri mereka masing-masing. Termasuk Rojaman yang selamat meloloskan diri meskipun harus merelakan ayam jagonya yang masih tarung dan baru dibelikan kemarin sore hasil ia memanggul satu karung padi dari gudang orang tuanya.
Tepat dua setengah bulan Rojaman menghilang dari peredaran setelah kejadian penggrebekan itu. Yang kemudian kelak kita tahu bahwa Rojaman hidup dari rumah teman ke rumah teman lainnya di sekitar tetangga desa dari kampungnya. Hingga pada akhirnya ia merasa lelah dan bertobat setelah menemukan gadis pujaannya dari desa satu kampungnya sendiri. Darini, perempuan yang mampu membawa dirinya berubah total untuk tidak nakal lagi.
Di kehidupan rumah tangganya sekarang, ia benar-benar tobat tidak lagi mengenali judi, sabung ayam, sampai minum-minuman keras. Ia benar-benar membina rumah tangganya dengan baik dan membuka usaha warung kecil-kecilan di depan rumah mertuanya yang ramai anak-anak mengaji. Sayangnya, anak-anak itu bukanlah anak biasa. Ia kembali hidup di lingkungan yang membawanya beberapa tahun silam sebelum ia meminang Darini.
“Apa kamu yakin, Kang?” ujar Darini memastikan kepada suaminya.
“Lumayan, buat cari tambahan, lagi pula ini hanya menghibur anak-anak.”
Darini hanya bisa senyum dengan kegigihan suaminya mencari nafkah lahir. Jika dibandingkan dengan Yusni–suami Napi’ah teman masa kecilnya, Rojaman masih lebih baik. Yusni suami teman masa kecilnya itu hidupnya lebih parah. Menjalani profesi menjadi tukang bangunan yang kerjanya hanya musiman, jika tidak ada yang memanggilnya untuk barang hanya mengaduk semen atau mengunjal bata ia hanya sibuk mengukur kasur di siang hari, sedang malamnya ia harus dilayani.
Meskipun banyak tidak bisanya, setidaknya Rojaman mau terus berusaha untuk menafkahi anak dan istrinya. Kadang-kadang ia ikut kerja membantu menebang bambu di pekarangan, atau sekadar ikut menjadi buruh tani kalau ada yang membutuhkan tenaganya. Jika tidak ada, ia juga sama akan menganggur.
“Ya, ini bulan puasa. Malamnya, sebelum anak-anak melangsungkan salat tarawih atau pulangnya, mereka pasti mampir dulu ke sini.”
“Seperti suaminya Bi Warsini dulu; sama, buka kuclak endog.”
“Persis,” katanya dengan air muka yang riang penuh harap.
Di malam berikutnya, Rojaman mulai menggelar kembali bisnisnya dengan modal tambahan. Telur lima kilo sudah disiapkan istrinya. Kardus digelar selebar empat kotak lantai porselen masjid, batu bata dipasang di setiap ujungnya untuk menindihi papan agar permukaannya tetap stabil, dan lilin “Cap Wereng” dipasang di kedua sisinya. Mukanya yang penuh minyak itu tampak mengilat oleh pantulan cahaya lilin, sementara anak-anak mulai mengerumuninya memasang angka-angka yang dianggap keberuntungannya malam ini sampai salat tarawih ditunaikan dan menjelang larut malam.
Malam itu Rojaman kembali untung banyak, dan Darini kembali senang dibuatnya. Dengan begitu, ia mungkin akan cepat kaya jika terus-terusan mendapat untung. Ia bergegas membantu suaminya untuk membereskan alat kartu dan dadunya. Tapi anak bungsunya tiba-tiba menangis oleh sebab mereka yang terlampau berisik. Dan di pembaringannya, Darini baru saja memikirkan anak perempuannya yang besar sudah mulai sekolah, ia tentu tidak mau anaknya melihat pekerjaan mereka yang demikian.
“Aku juga sering memikirkan itu, Dar,” jawab Rojaman setelah selesai membereskan peralatannya.
“Lalu bagaimana baiknya, Kang?”
“Kirim saja dia ke Pondoknya Nang Apid!”
“Nang Apid? Anaknya Bi Rokanah jebolan Kempek yang ngajinya enak itu?”
“Iya, biar dia pintar agama dan ngajinya bagus,” jawab Rojaman sambil mulai menyumat kretek 234-nya di halaman rumah.
“Bagaimanapun, aku tidak mau anak lanangku nanti suka berjudi dan dikejar-kejar polisi. Aku tidak mau anak-anak wadonku nanti salah gaul yang tidak benar. Aku tidak mau mengajari mereka puasa siang hari dengan telur asin hasil pasang uang di kuclak endog. Aku tidak mau itu semua, Dar.”
Dari atap rumahnya, angin kumbang berkesiur menggoyangkan ranting dan daun-daun pohon mangga yang buahnya mulai ranum. Sementara itu, suara dangdut tarling dari tape sayup-sayup masih terdengar di antara rumah-rumah tetangga. Seperti bertaruh dengan dadu, keduanya menaruh harapan pada anak-anaknya.
“Iya, Kang.”
“Kirimkan mereka!”
Djoyo Mulyono, prosais kelahiran Cirebon. Tulisannya telah dimuat di sejumlah koran, majalah, dan media nasional seperti Kompas.id, Republika.id, Jawa Pos, Harian Sultra, Majalah Unesa, Majalah Elipsis, dan Majalah Kandaga. Novel pertamanya: You X, telah terbit sebagai pemenang sayembara novel Diomedia, 2024. Instagram: @agungdjoyo