Sekeping Hikayat Antroposen

sumber: Pinterest

Tulisan ini adalah tentang hikayat panjang One Piece yang ditulis oleh Eiichiro Oda sejak 22 Juli 1997 dan diterbitkan oleh Shueisa dalam majalah mingguan Weekly Shōunen Jump. One Piece mengisahkan petualangan Monkey D. Luffy dan kawan-kawan, dengan ambisinya untuk menjadi raja bajak laut. Tema utamanya adalah mimpi, dengan kru Topi Jerami yang punya aspirasi masing-masing namun tetap mendukung cita-cita satu sama lain. Dalam petualangannya yang fantastis, Luffy kemudian dihadapkan pada bangunan dunia dan realitas yang setali sama rumit dengan kenyataan di pekarangan para pembaca.

Gejala-gejala pada mitologi One Piece mengingatkan penulis pada ontran-ontran antroposen. Dalam beberapa babak terakhir, ceramah Vegapunk (1) menerangkan bahwa dunia di semesta One Piece sendiri ternyata bukanlah dibentuk kejadian natural. Melainkan, sebab konflik yang terjadi di Abad Kekosongan. Setali tiga uang dengan antroposen, penanda epos geologis yang menyatakan bahwa dunia telah terbentuk sedemikian rupa oleh ulah manusia sehingga tertatah pada permukaan dan kerak bumi. Urusan resmi atau tidaknya definisi, memang masih dalam perdebatan (2). Toh, tidak seperti pleistosen yang diidentifikasi dari bentuk kehidupan yang sudah lama punah, manusia kini masih sintas—walau, jika melihat krisis iklim dan penanganannya, terbilang berjuang untuk sekadar sintas.

Mari kita tengok dunia One Piece sebagai lanskap antroposen. Dunia dibagi melintang oleh benua dengan elevasi mahatinggi bernama Red Line, di mana kasta tertinggi dunia berjuluk Naga Langit (Celestial Dragon/天竜人 Tenryuubito) bermukim dan secara praktis menguasai dunia. Memisahkan dunia secara membujur, ada lintang laut Grand Line yang di tiap tepinya dipalangi oleh Calm Belt yang hampir mustahil diseberangi. Dua garis ini memecah dunia menjadi empat laut yang bernama West Blue, East Blue, North Blue, dan South Blue. Setiap laut punya sebaran pulau dengan adat dan folklor sendiri. Namun, Grand Line yang menjadi latar pokok hikayat One Piece-lah yang perlu kita arungi.

Penampang Dunia One Piece

Sejak melewati Twin Cape di mula Grand Line, kru Topi Jerami telah disambut berbagai macam petualangan dan laga. Setiap pulau yang disambangi, memiliki iklim yang begitu turbulen dan konstan. Tindak iklim ini seperti semesta kecil yang melatari konflik dan kondisi material sosiologisnya. Di paruh pertama Grand Line, Luffy dan kawan-kawan telah berhadapan dengan organisasi kriminal yang ingin menguasai senjata pemusnah massal (babagan Alabasta), ‘dewa’ yang ingin memusnahkan penduduk asli serta merebut sumber daya alam (babagan Skypiea), hingga sindikat rahasia pemerintah yang ingin menuntaskan misi genosida dua puluh tahun sebelumnya (babagan Water Seven dan Enies Lobby).

Ambillah Skypiea, babagan favorit saya sebelum timeskip, di mana vearth—yang ‘diangkat’ dari laut biru ke laut putih di kepulauan langit—menjadi sumber daya yang berharga dan sakral karena hanya di atas vearth-lah tanaman dapat tumbuh. Namun, vearth sendiri mempunyai penduduk asli berjuluk kaum Shandia. Enel, sang antagonis yang menjuluki dirinya dewa petir, mengontrol warga Skypiea dan berusaha memusnahkan kalangan Shandia yang berdiang di sekitar Upper Yard—wilayah sakral di mana vearth berada. Kolonialisme kemudian diperbincangkan secara alegoris—apalagi jika dikaitkan dengan hubungan antara warga Skypiea, kaum Shandia, dan bergantinya rezim dari Gan Fall ke Enel yang beriring kekerasan.

Dalam perhelatan, ‘manusia’ dengan dayanya kemudian secara harfiah  membentuk kontur lingkungan. Konflik, teknologi, usaha merawat dan memberdayakan, tertatah pada bumi dan filsafat di jidat para penduduknya. Ideologi berkembang seiring dengan teknologi dan cara manusia ‘menaklukkan’ alam. Kearifan beralih, lingkungan turut malih.

Perubahan kemudian tidak terisolasi. Se-khas apa pun kondisi suatu pulau, ia akan memengaruhi dunia pula. Seperti halnya pembalakan dan budidaya monokultur di satu negara yang turut memengaruhi gelagat dunia. Pandemi adalah salah satu eksesnya. Dalam dunia One Piece, hal ini tidak luput digambarkan. Seperti dance powder yang mengundang hujan di Alabasta, memengaruhi dan mengeringkan iklim di pulau sekitarnya.

Dalam skala yang lebih akbar, alegori soal kemajuan teknologi dan dampaknya yang terpatri pada pertiwi hadir dalam temuan-temuan Vegapunk dan senjata-senjata kuno dari Abad Kekosongan. Sebuah pulau bernama Lulusia bahkan hilang dari peta sebab Mother Flame yang hulu ledaknya ditandatangani oleh Lima Tetua (Gorōsei 五老星 Five Elders) sebagai otoritas tertinggi Pemerintah Dunia.

Antroposen sendiri diusulkan untuk mulai dirunut sejak 1950-an, ketika ledakan teknologi secara literal meninggalkan bekas nuklir yang bertahan hingga menahun. Senjata kuno dan temuan Vegapunk di sisi lain, kemudian turut mendefinisikan sejarah dan kontur dunia One Piece. Faktor-faktor ini pula yang menentukan siapa berkuasa atas siapa—struktur sosial yang sama familiarnya ketika ideologi dipersenjatai saat dan setelah Perang Dunia.

Konflik melahirkan struktur anyar yang kemudian menyumbang pada pembentukan dunia yang baru, inilah yang menjadi hakikat dari antroposen. Dunia tidak lagi berserah pada hakikat natural dan ‘kebetulan’ evolutifnya, ia dibentuk dan membentuk dengan sadar oleh kesadaran yang mewujud dalam kuasa. Kuasa ini kemudian melantai pada linimasa menjadi sejarah, yang kemudian di dalam dirinya bergejolak wacana-wacana yang ulang-alik menduduki tahta kewajaran. Perlawanan atas tatanan yang mapan, kemudian menemukan metaforanya dalam One Piece sebagai era emas bajak laut. Semakin ke sini, semakin terungkap pula, bahwa era emas bajak laut inilah yang berpotensi menantang praktik kuasa Pemerintah Dunia yang tidak berkelanjutan—sembari menyingkap apa yang terjadi di Abad Kekosongan.

Penyingkapan tersebut, dalam ceramah terakhir Vegapunk, kemudian diletakkan pada harta karun pamungkas yang maha misterius—One Piece! Penjelajahan rupanya masih berlanjut. One Piece menjadi sekeping hikayat antroposen—cerita penting untuk memahami apa dan segawat apa realitas di halaman belakang kita. Barangkali pula One Piece adalah bentuk lain dari alegori Kotak Pandora: marabahaya yang meninggalkan harapan di dasarnya—laiknya krisis iklim dan (cita-cita) sintasnya kita di era antroposen.

(1) Ceramah ini bisa disaksikan di manga One Piece babak 1108 hingga 1120
(2) Rafferty, John P.. "The Anthropocene Epoch: Adding Humans to the Chart of Geologic Time". Encyclopedia Britannica, 19 Oct. 2018.

Penulis: Hamzah, lebih suka menyebut dirinya bermatra jamak seperti larik Walt Whitman. Dapat ditemui di https://hamzah.id

Editor: Windy Shelia Azhar

 

Check Also

Merpati Balap: Kesetiaan, Persaingan, dan Romantisme Jaket Kupluk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *