Cara Menjadi Diktaktor Edan

Judul: Kiat Menjadi Diktator: Pelajaran dari Para Pemimpin Edan
Penulis: Mikal Hem
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun terbit: 2023
Jumlah halaman: vi + 191 halaman
ISBN: 978-602-0788-46-3

Ketika terjadi pembredelan pada karya seni pelukis asal Yogyakarta, Yos Suprapto, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, orang berseru: “selamat datang negara diktator”. Ketika ada perencanaan pengembalian kepolisian di bawah TNI dan revisi TNI 2025, serta pemilihan kepala daerah langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, orang mengatakan: “selamat datang orde paling baru”.

Padahal, untuk mewujudkan “kediktatoran” itu, kita bisa belajar pada buku Kiat Menjadi Diktaktor: Pelajaran Dari Para Pemimpin Edan ini. Mikal Hem sebagai penulis menguraikan kiat-kiat sukses menjadi diktator, dari mulai cara mencurangi pemilu, memperkaya diri sendiri dan keluarga, hingga membangun kultus individu guna melanggengkan kekuasaan.

Buku kajian pemikiran politik ini digarap dengan cara jenaka sekaligus serius. Jurnalis Hem boleh dibilang sebagai saksi sejarah. Ia menguntit berbagai peristiwa penting dari beberapa negara-negara diktator, lalu menumpahkan dengan fakta-fakta yang bukan main pada kita. Hem menyaksikan peristiwa demi peristiwa kelahiran sebuah pemerintahan baru lalu dibarengi dengan analisis nakal.

“Untuk menjadi diktator ada satu hal yang jelas-jelas harus kau raih: tampuk kekuasaan suatu negara. Ini lebih gampang diucapkan daripada dilakukan. Jumlah negara di dunia ini terbatas dan ada banyak orang yang berambisi soal kekuasaan dan pengaruh politik. Tapi kalau kita melihat bagaimana kekuasaan berpindah tangan sepanjang sejarah, jalan ke puncak kekuasaan terkadang tampak mudah… ada yang dipilih secara demokratis. Ada yang berkuasa secara tidak sengaja, baik karena memiliki orang tua yang tepat atau sekadar berada di tempat yang tepat dan waktu yang tepat. Ada yang dijadikan boneka dalam sebuah permainan tanpa mereka sendiri menyadarinya (h.10).”

Pandangan tak terbatas Hem mengetahui segala macam peristiwa sepanjang sejarah kediktatoran negara-negara di dunia. Hem memakai mata jurnalismenya untuk mengungkit lalu memotretnya secara gamblang. Kemudian, Hem mengingatkan bahwa semua ini adalah riwayat manusia diktator yang akan berulang dari masa ke masa.

Cara Menjadi Diktaktor

Mikal Hem memperjelas bagaimana cara orang menjadi diktator. “Ada banyak cara menjadi diktator yang cocok untuk berbagai macam negara dan situasi. Kalau kau bercita-cita jadi diktator, kau sebaiknya memikirkan dengan seksama bagaimana mewujudkan impian itu… Ketika ini ditemukan, maka tentukan di mana letak kekuasaan sebenarnya? Siapa yang harus ditangkap? Bagian mana dari polisi dan kekuatan pengamanan yang harus dinetralisasi terlebih dahulu?” (hal 17).

Satir sekaligus ironi. Saya menduga, narasi itu dimunculkan Hem sebagai bentuk bahwa tidak semua negara kediktatoran berjalan mulus. Hampir semua negara berupaya menjadi diktator baik dalam intenal negara sendiri ataupun diktaktor kepada negara lain. Bruce Dickson dalam The Dictator’s Dilemma: The Chinese Communist Party’s Strategy for Survival, menegaskan negara-negara diktator seperti Tiongkok masih memiliki pekerjaan rumah tangga dalam internal dan eksternal. Karena itu ia masih tidak ajeg dalam kediktatoran mengelola manajemen negaranya.

Dalam babak sejarah kediktaktoran, seorang diktaktor biasanya mengambil alih kekuasaan dari diktaktor penduhulu. Atau, seorang tiran meniru seorang tiran pendahulunya. Menurut Hem, salah satu jaminan untuk menjadi diktaktor adalah memiliki atau mewarisi ayah dan kepemimpin diktaktor. Dan ini sudah terjadi di negara-negara Eropa maupun Asia.

Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev misalnya, mengambil kekuasaan dari bapaknya Heydar Aliyev pada 2003. Bashar Assad menjadi presiden Suriah saat bapaknya meninggal pada 2000. Di Gabon ada Ali Bongo Ondimba mengganti bapaknya pasca meninggal 2009. Di Kore Utara, Kim Jong-un mengambil kekuasaan saat bapaknya meninggal. Lalu ada banyak lagi pemimpin diktaktor di Asia maupun Timur Tengah, Raja Mswati II (Swaziland), Sultan Hassan Bolkiah (Brunei), Raja Abdullah II (Yodania), dan Sheikh Khalifa bin Zayed di Uni Emirat Arab.

Di Asia Barat, Vladimir Putin menarik jauh Rusia dari pemerintahan demokrasi ke dalam rezim diktator. Di Eropa Barat, ada Portugal dan Spanyol. Ada juga Presiden Belarusia Alexander Lukashenko disebut sebagai diktator Eropa terakhir. Namun ada Pangeran Hans-Adam II dari Liechtenstein, yang mengamputasi sistem demokrasi dengan undang-undang kekuasaan penuh kepada Pangeran, sehingga dia bisa memilih dan memecat menteri, bahkan bisa melakukan veto terhadap sejumlah kebijakan yang dia tidak sukai. Akhirnya, rakyat kehilangan demokrasi tetapi bisa menambah Pangeran Hans masuk jumlah diktator di Eropa.

Jadi, kalau ayah kita bukan diktator, maka kemungkinan mewarisi sebuah kediktatoran sangat kecil. Tetapi kemungkinan itu tidak tertutup sama sekali. Ada cara lain yang bisa dilakukan yaitu menikahi seorang pewaris kediktatoran, atau lewat jalur politik demokrasi seperti dilakukan Putin dan Pangeran Hans-Adam II (hal, 27).

Ada sejarah lain lain, diktator justru digulingkan karena tidak menjamin negaranya lebih sejahtera dari sistem demokrasi. Negara ini sempat dikuasai diktator malah mengubah diri. Di Amerika Latin seperti Argentina dan Cile misalnya, sekarang memilih jalan demokrasi. Negara-negara ini kemudian menjadi negara demokratis yang aman dan stabil hingga sekarang (hal 11).

Keuntungan Menjadi Diktator

Namun, seperti kata Hem, tidak ada alasan berputus asa kalau mau menjadi diktator. Ada banyak cara menuju kediktatoran. Menurut sejarawan militer Edward Luttwak, ada tiga faktor yang harus diperhatikan untuk menjadi diktator. Pertama, melihat skala pertumbuhan ekonomi. Ketika ekonomi rendah, otomatis negara menjadi miskin. Saat itulah pakai tangan besi, karena tidak mungkin rakyat kecil melawan di tengah perut yang kosong. Kedua, independensi politik. Ketiga, kekuasaan terpusat. Ketika ini sudah dilakukan, maka harus tahu siapa yang setia, dan tahu cara menangani reaksi perlawanan. Yang paling penting, harus tahu bagaimana mengumumkan berita pada rakyat dan negeri luar.

Saya menduga, kajian pemikiran politik kocak di buku ini sengaja dihadirkan Hem untuk memberikan ”kiat” pada masyarakat Indonesia untuk bersiap-siap bila ada orang yang menjadi diktator. Setidaknya dapat mengambil pelajaran atau keuntungan. Menurut Hem ada banyak yang dapat dipungut dengan menjadi diktator. Salah satunya, bisa mewacanakan diri menjadi “Tuhan”. Seperti Rafael Trujillo, diktator Republik Dominika dengan memasang plang neon besar di ibukota bertulis “Dios y Trujillo” (Tuhan dan Trujillo). Atau seperti Ali Soilih, pemimpin Cemoros sebagai sosok ilaihi tertinggi. Ali Soilih berkata: “Aku adalah Tuhan dan guru kalian, aku adalah jalan ketuhanan, aku adalah obor penerang dalam kegelapan. Tidak ada Tuhan selain Ali Soilih.” (h. 2).

Keuntungan lain menjadi diktator bisa membuat peraturan aneh. Misalnya pemimpin Rumania Nicolae Ceausescu membuat peraturan melarang penggunaan mesin tik tanpa surat izin resmi. Dan membuat peraturan untuk meningkatkan jumlah penduduk Rumania. Sehingga semua alat kontrasepsi dilarang dan para wanita yang tidak punya anak harus membayar pajak selibat. Ayatollah Ruhollah Khomeini melarang semua jenis musik. “Musik membodohi pendengarnya dan membuat otak tidak aktif dan konyol. Kalau kau ingin negaramu merdeka, maka kau harus melarang musik dan jangan takut dikatain kuno,” katanya. Lalu atas peraturan ini, para Pengawal Revolusi pada 1079, menggeledah rumah-rumah penduduk mencari alat musik, piringan hitam, dan kaset video (h, 4).

Yang paling menguntungkan menjadi diktator adalah bebas dalam mendapatkan apa yang diinginkan. Batasannya hanyalah imajinasi. Misalnya bisa menetapkan hari-hari penting menjadi libur nasional. Atau hari libur dianggap tidak ada presiden dan bisa melakukan apa saja. Di Irak, Saddam Hussein pernah menetapkan hari lahirnya sebagai hari libur nasional. Pemimpin Turkmenistan Saparmurat Niyazov juga menetapkan hari lahir ibunya sebagai hari libur nasional. Atau, bisa menganugerahi diri sendiri dan keluarga dengan berbagai gelar dan penghargaan. Seperti Idi Amin, dia menyebut dirinya sebagai “Penguasa seluruh hewan di bumi dan ikan di laut” dan “Raja Skotlandia terakhir”. Pemimpin Rumania menggelari diri sebagai “Sang Jenius dari Carpathia”. Muammar Gaddafi menggelari diri sebagai “Kakak, pemimpin, dan petunjuk jalan revolusi”.

Buku berhalaman 191 ini, bisa menjadi petunjuk menjadi diktator hebat. Kita bisa mempelajari secara lengkap dan bisa mengambil hikmah di baliknya. Minimal bisa menginspirasi untuk meraup kekayaan, menulis novel laris, buku best seller, membangun monumen, istana, kota dan memperbudak banyak orang. Setidaknya kita dapat dikenal melalui penyebutan nama terhormat dan slogan-slogan mentereng. Mari jangan patah semangat!

Penulis: Agus Wedi. Penjaga Website Islamsantun.org. Bisa disapa di akun instagram  @aguswedi___ dan FB Agus Wedi, Surel: wediagus6869@gmail.com

Check Also

Pria Tua Casio Jatuh Dalam Repetisi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *