Cerita-Cerita, Alur Baca, dan Apa-Apa yang Didapat Kala Bertandang ke Muria – Bagian 1

Catatan atas Folktarium Muria: Pameran Residensi Tapangeli 2025

Kudus, 25 April 2025

Setelah perjalanan yang panjang dan penuh kelokan, akhirnya kau sampai ke Kudus, tepatnya sampai ke alun-alun Kota Kudus. Dan setelah memastikan barang-barang serta titik pertemuan, kau dan kedua kawanmu berjalan. Hari yang panas, dan sepasang matamu terpukau pada apa yang hadir dan terhadirkan: jalan-jalan dan tatabangunan. Di sebuah kedai kopi, kau dan dua kawanmu bertemu kurator dan penata artistik Folktarium Muria, Pameran Residensi Tapangeli: Santri, Kretek, dan Muria. Di sana, kalian istirah dan berbincang sejenak. Setelah beberapa hal, kalian semua berangkat ke kampung Piji Wetan. Di tengah perjalanan, kalian berhenti sejenak: makan siang. Ya, selugu agar sesampai di sana sudah bisa mengikuti dengan selumrahnya.

Sesampainya di sana, kau dan kedua kawanmu turut serta pada acara yang tengah berlangsung: Jagongan Seniman. Saat itu, yang tengah berbincang adalah Feri Arifianto. Dan di teras sebuah rumah, yang jadi bagian dari serangkaian, kau duduk; dan menyimak dari agak jauh—sambil menikmati semangka. Di teras, ada anak-anak yang bermain dengan begitu asik dan riuh. Setelah rampung, dan potongan semangka habis, kau mendekat ke karya, menyaksi lebih lekat. Pohon lebih tua dan lebih banyak menyaksi dari manusia. Pohon jambu air yang tak berbuah, jambu air yang dibeli di pasar, kembang, menyan, telur, dan foto dalam lampu taman membuatmu terpukau; juga selawat penyambut azan sebelum sembahyang bergema. Karya berjudul “Hantaran” itu, bagimu, seperti hendak membincang lagi soalan sakral dan profan, bukan untuk salinglah bertegang, tetapi berbincang.

 

Kemudian, kau dan kawan-kawanmu beramah tamah sembari rehat kembali. Perkenalan dan kembali menikmati jajanan di teras. Di dekat sana, ada karya Kolektif Matrahita yang berjudul “Ageman Amongjiwo”, karya yang berkolaborasi dengan warga Piji Wetan pula. Sepasang matamu tentu terpukau mendapati kain-kain, yang ternyata kain bekas dan sisa, dapat menjadi sebuah karya. Ada serangkaian narasi dan visualisasi dari kegiatan sehari-hari yang menjadi sejenis relief yang hidup. Teks dan tekstil di kepalamu kembali bergema; dan bagaimana kerja menjahit, dalam arti sesungguhnya maupun kias, bisa menjelma pertemuan antargenerasi. Dan, selepas itu kalian bergeser ke tempat Pak Jesy, menyimak kembali Jagongan Seniman lain lagi, sebelum melakukan tur secara mandiri…

Dan, kalian berjalan ke panggung utama kampung Piji Wetan. Di sana, kau mendapati karya-karya yang berdekatan. Karya pertama, di sana, yang dikenalkan oleh kurator adalah karya dari Lembana Artgoecosystem yang berjudul “Abhantal Tana, Asapo Bhako”. Sebelum ke Kudus, linimasamu telah menampilkan karya itu; dan ketika melihat serta mengalami langsung, kau kian terpukau. Keterpukauanmu bukan hanya sebab adanya kuburan buatan yang diberi narasi atau serangkaian kain bergambar dan sarung yang ditulisi aksara hijaiyah berbahasa Madura, atau lapak untuk melinting kretek, tetapi kenyataan bahwa karya itu berdiri di sebuah lapak dagang telah membuat kepalamu riuh dengan tanya dan serangkaian upaya menelusuri jawaban. Kau pun duduk di tikar dan menatap kuburan itu. Sepasang telingamu menyimak kurator yang mengatakan bahwa Lembana melihat relasi yang berkelindan antara Kudus dan Madura, khususnya soalan kretek dan santri. Betapa Kudus dikenal sebagai kota kretek, tetapi tak punya ladang tembakau—dan mendatangkan dari Madura. Sepasang telingamu menyimak itu; tapi kepalamu dan sepasang matamu lebih tercuri pada kuburan: meski tahu itu buatan: dari mana tanah itu diambil, ya? Ah, aku ingin menabur kembang, batinmu, dan apakah menabur tembakau ke perkuburan itu lumrah?

Dan Karen, selaku kurator, yang memberi tur itu sore berkata agar kalian berlekas; serta berkata bahwa esok pagi kalian bisa melakukan tur lagi—dengan kawan-kawan yang lebih ramai lagi. Dan ia pun membawamu dan kedua kawanmu pada karya selanjutnya, pada karya Umar Farq. Di situ, ada bata-bata yang tampak menjelma bangunan, yang bagimu bergerak antara masjid dan candi. 777 bata, kata Karen. Di sana, ada tulisan aksara hijaiyah; rajah. Salah satu kawanmu berkata, penempatan di sana kurang pas, sebab terlampau dekat dan berdempetan dengan karya lain. Dan kau jelas bisa mengamini hal tersebut. Akan tetapi, kau menganggap penempatan itu memberi sejenis penegas judul, “Ambang”. Karya itu ada di antara lapak, ada dan dibelah jalan lalu-lalang. Dan kesan kepadatan yang ditambah dengan adanya pralon-pralon pengantar air memberimu rasa sesak yang ganjil: lenggang yang mengambang. Rumah ibadah yang berkisar antara rampung dan tak rampung, candi atau masjid, pengertian nyata atau metafora; bedekatan dengan pasar, dan hadir sebagai seni di antara pipa-pipa jelas menciptakan riuh di kepalamu, riuh tafsiran yang beraneka ragam.

Kemudian, kalian bergeser ke karya selanjutnya; dan tentu, kau ada di baris akhir, betah untuk terpukau pada karya sebelumnya. Karya yang ketiga di kantor dan area KBPW itu adalah karya kolaborasi Jaladara Collective dengan ibu-ibu di kampung Piji Wetan. Karen berkata bahwa ia menyebut instalasi dapur itu sebagai dapur performatik. Ia juga menjelaskan relasi dapur itu dengan dapur warga yang ada di belakang itu karya. Dan karya itu pun dapat dipakai—seperti selumrahnya dapur. Karen menjelaskan di sana ada serangkaian resep yang diwariskan. Dan tentu saja kau teringat gurauanmu pada beberapa kawan-kawanmu: Memasak itu performatik, dan resep masakan itu agaknya bisa disebut sejenis teks dramatik-performatik multi tafsir. Dan karya berjudul “Rewang: Perigi di Balik Panggung Perayaan” itu berhasil membawamu pada rewang, ater-ater, dan dapur yang bergerak antara publik-domestik; juga tubuh yang mengarsip rasa. Ah, tubuh-tubuh yang terluka untuk menghadirkan makanan; makanan yang lama dibuat, tetapi habis begitu lekas…, tetapi rasanya betah menetap.

 

Lalu, kalian pun berjalan menuju karya Febri Anugerah, karya berjudul “Ingatan-Ingatan yang Berkabut”. Dalam perjalanan itu, Karen membincang tentang gagasan mula tentang Fokltarium Muria; dan kedua kawanmu, Latief dan Juwita, menyimak dan turut dalam obrolan, sedangkan kau sambil berjalan di belakang lebih melihat sekeliling—mengamati seperti kanak di suatu tempat yang baru: tanaman dan tanah, aroma dan apa-apa yang muncul. Sesampainya di karya Febri, kau menyimak cerita itu, sambil melihat sekeliling: burung-burung plastik olahan daur ulang dari tutup botol di antara pohonan dan kebun, juga relief dari bahan yang sama. Karen berkisah, dalam proses itu Febri dan warga melalui seni, berhasil menemu kembali sumber air (mbelik) yang telah lama hilang—dengan berbekal ingatan dan keinginan menelusuri. Dan tentu, kau terpukau: mendapati suatu yang nyata juga metafora. Material plastik duar-ulang yang menjadi burung-relief di antara mbelik itu jelas membuat kepalamu memunculkan serangkaian tafsiran. Saat itu, ada dua kanak selesai bermain: mandi-mandi di sana. Sepasang telingamu mendengar sound dari rumah warga: selawat dalam alunan koplo. Dan sambil turut melihat secara dekat; kau ditemani hal-hal yang kian kuat.

Setelah puas melihat sumber itu, kalian naik dan melanjutkan perjalanan. Di perempatan, ada karya Dipo, Divasio Putra, yang merespon gardu poskamling, karya berjudul “Tilar Jati: Dharmaguna kang Lestari”. Di sana, saat kau melintas bersama kedua kawanmu, juga Karen dan Adnan, ada seniman-seniman residensi Tapangeli. Dan Karen pun meminta Dipo berkisah tentang karyanya. Dipo pun berkisah tentang bagaimana ia membangun kembali dan menghias poskamling dengan batik-batiknya. Motief batik itu berkisar antara biografi dari si seniman dan lintasan persentuhan histori di Kudus. Ada corak bungkus rokok di sana, dan lanskap-lanskap yang disukai si seniman. Di sana, ada pula serangkaian hal yang bisa dilakukan: seperti aktivasi karya dengan kegiatan nglelet. Ah, kau membayangkan ketika malam tiba: Akan seperti apa ya karya ini? Dan di dekat sana, sisi lain, ada mural-mural garapan kawan-kawan seniman.

Bersama seniman residensi Tapangeli, kau dan lainnya melanjutkan tur. Di dekat lapangan, ada sebuah tanah lapang; dan di sana karya Mellsana terpasang, karya berjudul “Menilik Bilik Muria”. Saat melintas, kau dapati lapangan tengan dipakai bermain bola dan ramai. Sepasang telingamu masih betah untuk menangkap suara: selawat dan puji-pujian kala petang. Perpaduan yang asik, batinmu. Mellsana pun diminta Karen berkisah pula; dan ia berkisah… Corak kolase dari si seniman begitu terasa. Ada dua papan: papan di sisi kiri ada stiker yang bisa dilepas dan ditempel di sisi kanan. Dan ketika kau ke sana, seluruh stiker itu sudah berpindah ke sisi kanan. Bekas stiker yang telah dilepas itu, bagimu, menawarkan visual yang asik dan mengusik. Dan hasil di kanan berupa kolase partisipatif pula. Dan karya itu hendak menunjukkan apa-apa yang sehari-hari tapi luput disadari. Lintasan antara histori, biografi, kolase, dan juga teks membawa pada semacam jalinan. Ada pernyataan yang muncul di kepalamu: ingatan, biografi atau histori, adalah juga kolase. Namun, sambil menyimak pujian-pujian dari masjid, sepasang matamu melihat lebih lebar; dan hal demikian menghadiahimu tanya: Apa karya ini sudah pas di tempat ini? Amat janggal, batinmu. Namun, kau juga bercuriga: Apa sejenis kejanggalan ini adalah yang memang hendak dikejar?

Dan kau sampai pada karya Medialegal, karya seri berjudul “Racikan Tangan Terampil”, karya yang ada beberapa di dekat bambu-bambu—sekaligus juga tersebar. Kata-kata yang ada dalam karya itu, menurutmu, memberi kesan tersendiri: mudah untuk diingat dan membekas. Lalu, ketika Karen bercerita bahwa warna-warna yang diambil Medialegal bersumber pada etiket bungkus rokok, kau pun jadi semacam paham dari mana rasa betah memandang visual itu…

Dan kalian sampai ke karya Budi Kusriyanto, karya berjudul “Bapak & Brak: Melihat Lebih Dekat”. Hari sudah genap gelap; dan azan magrib telah genap rampung dikumandangkan. Karya itu tersusun dari screen-screen sablon. Dan si seniman pun berbagi kisahnya dengan dan melalui karya itu. Screen itu adalah milik bapak si seniman, yang langsung tak langsung terwariskan. Dan dengan demikian ada suatu narasi dan suatu nilai yang terwaris. Dan sambil menikmati suasana, seperti biasa, kau bertanya-tanya pada dirimu sendiri: Bagaimana orang tahu latar belakang ini bila tak diberi tahu oleh si seniman atau turut di tur pameran, apa hanya dari deskripsi karya? Di situ, ada kursi sederhana, yang dibuat Budi dari kayu sisa yang ada di sana, dan kau duduk di sana sambil melihat layar itu: buram tak genap terang. Tak ada lampu—dan tentu saja memunculkan pernyataan di kepalamu: tidaklah hadir untuk dipandang malam. Akan tetapi, untuk itu kali, kau suka-suka saja menerka tanpa nyala senter dari gawai. Orang-orang biasa di balik industri yang luar biasa, terang Budi itu malam setelah berkisah di belakang rumahnya ada pabrik rokok. Ah, begitukah kehidupan ini, ucapmu kala melihat papan penuh screen itu sebelum menyusul rombongan pergi berlanjut, samar dilihat, amat lembut, dan hanya lamat-lamat bisa diterka kala malam?—inikah yang diminta si seniman: melihat lebih dekat?

Di rumah yang garasinya terpasang karya Matrahita, kalian istirah; beberapa sembahyang atau sekadar duduk ngopi dan menyulut rokok. Dan kau lihat lagi karya di garasi itu kala malam… Dan setelah sejenak istirah, beberapa seniman ada yang pamit bergeser; dan kau pun, bersama dua kawanmu, juga Karen dan Adnan, setelah beberapa teguk kopi dan isapan rokok, menuju karya Feri lagi. Ah, taman kala malam… Di tepi jalan, di dekat karyanya, Feri kembali berkisah tentang proses penciptaan, tentang latar belakangnya yang fotografi dan hasil akhir presentasi dari residensi. Dua kawanmu bertanya sedemikian rupa, dan kau memilih untuk menyimak, memilih untuk berjalan menyusuri taman itu. Namun, sepasang matamu dan telingamu begitu betah mendekat-menjauh, mencari variasi jarak. Setelah lebih cermat dan juga teliti, kau dapati bunyi tahlil dan serangkaian zikir yang menyala kala sensor aktif.  Lampu itu menyala 3 menit, jelas Feri, dan menyala lagi bila ada orang yang melintas, berjalan atau naik kendaraan. Siasat yang menarik bagimu, sebab orang akan tertarik mendekat. Namun, ketika menilik kembali siang dan sore tadi, kau jadi bertanya: Bukankah suara dari instalasi lampu taman dengan foto simbolis-metaforis ini jadi kian samar dan tidak terdengar? Meski begitu, kau suka saja konsep itu, sebab masih memunculkan pernyataan jika batu, pohon, dan benda-benda itu memuji Gusti; dan untuk mendengarnya manusia memanglah mesti benar-benar menyimak dan mendengar.

Dan kemudian, kau dan dua kawanmu, juga Karen dan Adnan, berjalan ke karya Fitri DK, karya yang telah mencuri pandangmu saat tadi datang, sebab ada di sudut perempatan sebelum kau berbelok di perhentian pertama. Karya itu berjudul “Urip Urup”. Hari sudah genap malam; dan tentu, tempat samar. Namun, kau tetap terpukau; dan membayangkan, siapa yang melintas, dan  tak tergesa, pastilah akan tergoda untuk mampir, untuk mendekat dan melihat. Di sana, tak genap ada lampu yang menerangi karya. Dan hal itu mengingatkanmu pada karya Budi; dan memunculkan suatu hal dalam kepalamu bahwa karya itu tak genap hadir untuk dipandang malam. Namun, tempat yang dipilih oleh Fitri menawarkan hal menarik: dekat jalan besar dan ada lampu jalanan, meski jelas tak menaruh sorot khusus ke karyanya. Dan Karen pun kembali berkisah tentang latar belakang dan proses penciptaan dari karya Fitri itu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, kau biarkan sepasang telinga menyimak; sepasang mata dan kakimu menjelajah. Di tengah karya itu, ada ruang; dan kau masuk. Di sana, kau melihat tangga yang meyuguhkan semacam perjalanan menuju langit. Dan kenyataan bahwa tangga itu dikelilingi oleh kain batik bermotif gunungan hasil bumi, serta tiang-tiang penuh hasil bumi, telah membuat pernyataan di kepalamu tentang hubungan vertikal dan horisontal, ke atas dan menyebar. Karya ini, ucap Karen, mengangkat wejangan-ajaran dari Mbah Sunan tentang pagar mangkok. Dan lamat-lamat kau ingat ucapan itu: Pagar mangkok luwih kuat tinimbang pagar tembok. Ah, kau ingat ibu-bapakmu, juga simbahmu, yang betah mengamalkan wejangan-ajaran itu: dan membuat tetangga jadi penjaga yang rela—dan membuat mata sendiri pun awas memperhatikan-menjaga milik tetangga.

Setelah cukup, kalian berjalan ke seberang, menyeberang jalan ke sisi timur. Dan setelah genap menyeberangi, kau melihat sisi barat kembali; melihat karya Fitri: komposisi di mana ada plang larangan membuang sampah. Karya selanjutnya yang kau lihat bersama kawan-kawan adalah karya dari A.O.D.H, berjudul “Widada Nir ing Sambekala”. Sebuah ruko di tepi jalan diubah sedemikian rupa jadi instalasi! Dan kau seperti masuk ke ruang yang asing, tapi memberi suatu perasaan agar enggan keluar. Lampu merah menyala di dalam ruangan. Pintu ruko tidak genap terbuka lebar, tidak terbuka semua. Di dalam sana, ada kendi dan seperangkat ubarampe mitoni. Dan kau baru sadar, yang kau pijak bukanlah tanah atau pasir, tetapi grajen, serbuk kayu sisa pemotongan kayu. Dan Karen pun bercerita, kalau diperhatikan dengan lebih saksama, akanlah tambah ada ubarampe yang tak lengkap. Namun, ada pula umbarampe yang khas Piji Wetan; meski secara keseluruhan komposisi tetap ada yang rumpang. Dan setelah cukup, kalian duduk di luar ruko sejenak, mencari angin sebelum berjalan lagi. Dan seperti biasa, sambil berjalan di belakang, kau menimbang lagi, seorang yang tak ikut tur bagaimana bisa tahu di bangunan itu ada karya, ada instalasi mitoni? Atau, bagaimana seorang tergoda untuk masuk dengan pintu yang tak terbuka lebar itu—meski kau tahu jika dibuka lebar, semacam dramaturgi ruang akan kacau. Dan kau jadi iseng menerka: Apa ritus-ritus atau upacara memang berada dalam situasi semacam ini: ada tapi tertepi, pintu masuknya kecil, dan mesti ada orang yang mengantar? Dan dari cerita Karen, tentang pertunjukan karya itu di lain-lain tempat, kau jadi sedikit menyesali, sebab tak genap datang kala pertunjukan itu berlangsung…

Dan kau, serta yang lain, menyusur mural dari Kudus Art Street, seri berjudul “Harmoni Lereng Muria”. Lantas kau masih dihantui tanya yang sama: Bagaimana warga atau publik bisa genap menikmati karya-karya—serta latar belakang yang memberi ruang lebih terhadap makna?

Dan sampailah kalian di karya dari Kolektif Arungkala, karya berjudul “Museum Orang Biasa: Sejarah dan Ingatan Warga”. Di sana, kalian kembali duduk dan istirah: sembari menanti Amos dan Ashari. Beberapa seniman kembali bergabung. Dan sesampainya Amos dan Ashari, lekas saja mereka menyampaikan semacam lekturnya. Amatlah terpukau kau pada gagasan awal dan bentuk presentasi karya. Tawaran melihat dan menilik kembali Muria tidak hanya dari Sunan-Sunan memukaumu. Bahwa ada peneliti Belanda, Hassekarl, dan citra tokoh imajiner bernama Kirdjo, membuat kepalamu dilimpahi imajinasi dan keinginan menelusuri kembali. Tentu, papan-papan berisi kertas penuh pertanyaan spekulatif begitu asik dan mengusik. Dan di sisi rumah satunya, ada berjejer lembar-lembar zine yang memuat sejarah lokal dan tokoh-tokoh yang hidup di Piji Wetan: tokoh yang sehari-hari dan biasa—meski setelah ditelusuri-dipetani punya lintasan peristiwa yang tak biasa. Dan hampir seperti sebelumnya, kau dihinggapi tanya: Tawaran ini menarik, tapi bagaimana jika tak ada juru bicara yang membunyikan benda-benda, yang mengarahkan ada barkode yang bisa disimak; dan bagaimana publik bisa tahu ada sesuatu saat rumah yang dijadi ruang presentasi bisa dikata juga tersembunyi—tanpa suatu spaktakel? Namun, bagimu, Arungkala telah menunjukkan bahwa museum bukan kata benda, tapi suatu kata kerja, dan kerja ini masihlah belum rampung, atau memang menghendaki tak rampung…

Setelah itu, perjalanan dicukupkan; kau dan dua kawanmu menuju ke rumah warga yang jadi tempat nanti istirahat. Di sana, kalian mandi, sembahyang, dan juga pergi untuk makan malam. Kemudian, kalian menuju tempat Pak Eko, berbincang dengan para seniman, menyaksi mural yang dibuat secara kolaborasi, dan menikmati jajanan dan juga makanan.

Penulis: Polanco S. Achri
Foto: Polanco S. Achri

 

 

 

 

Check Also

Cerita-Cerita, Alur Baca, dan Apa-Apa yang Didapat Kala Bertandang ke Muria Bagian Tiga

Catatan atas Folktarium Muria: Pameran Residensi Tapangeli 2025 dalam Bagian Tiga [Selesai] Yogya, setelah dari …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *