
Dalam segi pengembangan pemikiran, dunia barat mengalami revolusi ilmu pengetahuan secara besar-besaran. Mungkin pernyataan ini terdengar terlalu oksidentalis memang, namun tak dapat ditampik pula. Salah satu cabang pemikiran yang mengalami perkembangan pesat sebagai akibat dari dunia pasca kebenaran selepas perang dunia kedua adalah eksistensialisme. Walaupun menurut runut waktu, eksistensialisme telah ada sejak abad ke-19 dengan pelopornya yang cukup termahsyur seperti Kierkegaard dan Nietzche. Eksistensialisme kemudian berkembang pesat pada abad ke-20 dalam napas kepenulisan Perancis oleh Jean Paul Sasrtre dan Albert Camus.
Seperti kebanyakan pemikiran barat lainnya, eksistensialisme memiliki kecenderungan berfokus pada satu individu yang berdiri sendiri daripada tatanan komunal. Inti dari pemikiran eksistensialisme seperti yang dirumuskan oleh Sartre, yaitu “existence precedes essence” yang diterjemahkan menjadi “eksistensi mendahului esensi.” Hal ini berarti bahwa eksistensi manusia merupakan komponen utama. Eksistensi dibangun dan dibentuk sendiri oleh individu tersebut. Alhasil, segala prinsip, gaya hidup, dan pandangan akan suatu hal berasal dari pengolahan ide dan pengalaman individu tersebut tanpa validasi dan pelabelan dari orang lain seperti yang ada pada nilai esensi.
Bisa dikatakan bahwa eksistensialisme merupakan oposisi biner dari positivisme dan rasionalisme yang menitikberatkan pikiran rasional sebagai suatu kebenaran absolut. Eksistensialisme menawarkan kebebasan berpikir dengan menampatkan rasional sebagai satu dari sekian makna subjektif yang bebas dibentuk oleh masing-masing individu. Hematnya, eksistensialisme mengedepankan kehendak bebas sebagai nilai fundamental dalam kehidupan dan kepercayaan sehingga esensi yang diberikan orang lain terhadap diri individu tidak menjadi suatu hal yang begitu penting.
Tulisan-tulisan eksistensialisme ini diproduksi besar-besaran di Perancis tidak hanya dalam bentuk esai akademik, namun juga karya fiksi seperti novel yang memang menjadi cara ampuh untuk menyebarkan dasar pikiran eksistensialisme ini bahkan ke lapisan dasar masyarakat. Tidak terlalu menggurui, sebaliknya menawarkan kesempatan bagi kita untuk berpikir.

Nausea – Jean Paul Sartre
Sebagai salah satu akademisi yang vokal menyuarakan dirinya sebagai seorang eksistensialis, Jean Paul Sartre menaruh segala unsur eksistensialisme ke dalam karya-karyanya seperti Being and Nothingness, L’Existentialisme est un humanisme, Nausea, serta drama yang ia tulis berjudul The Flies dan Huis Clos. Karya-karya Sartre dianggap memberikan perspektif baru akan kebebasan individu dan memberikan pencerahan hingga ia mendapatkan hadiah nobel sastra pada 1964. Namun, ia menolak hadiah tersebut dengan alasan bahwa ia tidak mau terinstitusionalisasi oleh lembaga resmi. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip eksistensialisme yang menjadi prinsip hidupnya. Lalu, sedalam apakah nilai eksistensialisme tersebut dalam karyanya?
Salah satu karyanya yang berbentuk cerita fiksi adalah Nausea yang ia tulis pada 1938. Nausea menceritakan tentang seorang penulis Perancis bernama Antoine Roquentin. Roquentin memiliki ketakutan dan kekhawatiran akan eksistensi dirinya sendiri. Roquentin menyadari akan kehampaan dan kebanalan atas eksistensi manusia. Roquentin kemudian mengalami serangan mual yang dating berkala sehingga memengaruhi kesehatannya. Segala aktivitas Roquentin terganggu sehingga ia mengabaikan penelitiannya bahkan kehilangan teman-temannya.
Roquentin kemudian mencatat kesehariannya dan penemuannya akan makna hidup dalam format jurnal keseharian. Awalnya, catatannya tersebut ia buat dengan harapan untuk mendeteksi penyakit tak lazim yang ia punya yang kemudian ia panggil nausea. Catatan ini kemudian merefleksikan konflik antara masa lalu dan masa kini Roquentin, yang kemudian dalam doktrin eksistensialisme distilasikan bahwa hidup dalam masa kini adalah pilihan yang lebih baik.
Selain catatan jurnal Roquentin, Sartre juga meletakkan idenya akan eksistensialisme dengan metafora akar pohon berangan yang diamati Roquentin. Akar pohon berangan memiliki beragam karakteristik seperti warna, ukuran, dan usia yang dilabeli alam sehingga hal ini dikategorikan sebagai esensi. Akar pohon berangan menjadi demikian pasif dengan hanya menerima validasi dari pihak di luar kendalinya. Sementara itu, Roquentin mendapatkan pencerahan bahwa ia sebagai manusia yang memiliki pilihan bebas untuk menentukan label apapun yang dapat melekat dalam dirinya tanpa campur tangan orang lain. Sehingga, ia memutuskan untuk memutus kegalauan masa lalunya dengan memberhentikan penelitian lamanya lalu berpindah ke Paris untuk menulis novel yang sudah lama ia dambakan.

The Stranger – Albert Camus
Albert Camus demikian terkenal dengan pemikirannya yang ia sebut sebagai absurdisme. Meski ia menampik bahwa cara berpikirnya persis seperti terminologi eksistensialisme milik Sartre, absurdisme memiliki irisan yang kuat dengan eksistensialisme dengan menyepakati bahwa arti hidup tidak diturunkan atau ada bersama individu sejak dilahirkan. Eksistensialisme mengacu pada pengalaman individu sebagai subjek yang bebas dan bertanggung jawab melalui tindakan kemauan. Hal ini juga menekankan bahwa hanya sedikit, jika ada, tindakan yang tidak mempunyai konsekuensi negatif. Arti hidup dibentuk seiring dengan perjalanan hidup manusia yang memiliki pengalaman empiris berbeda-beda, oleh sebab itu masing-masing individu bebas menentukan arti kehidupannya. Absurdisme sedikit pesimis bahwa alam semesta yang demikian luas ini tidak bermakna, sehingga manusia berkutat dalam hal membentuk maknanya masing-masing.
Hal ini kemudian direpresentasikan dalam salah satu buku paling terkenal milik Camus yang berjudul “The Stranger”. Buku fiksi berbentuk novel ini menceritakan tokoh utama bernama Meursault yang sangat merepresentasikan pemikiran eksistensialisme versi Camus. Konsep pemikiran Camus tercermin dalam tindakan dan pemikiran Meursault, tokoh utama novel yang memiliki dunia luar yang ditentukan oleh pengamatan tanpa emosi terhadap lingkungan fisiknya, namun sebenarnya bisa sangat rinci. Hal ini menjadi jelas dalam dua kalimat pertama buku ini, yaitu:
“Ibuku meninggal hari ini.
Atau mungkin kemarin, entahlah.”
Tindakan dan cara berpikir Mersault cenderung tak terarah dan anomali. Pernyataan di atas menjelaskan bagaimana apatisnya Mersault hingga tidak peduli dengan kematian ibu, yang dalam berbagai budaya tentunya akan menjadi kesedihan mendalam saat kita kehilangan induk. Ketidakpedulian Meursault terhadap peristiwa menunjukkan sisi non-moral dari keberadaan, yang mencerminkan klaim Nietzsche bahwa tidak ada fenomena moral, yang ada hanya interpretasi moral atas fenomena. Meursault tidak melakukan evaluasi moral dan tidak terpengaruh secara internal oleh evaluasi moral.
Meursault melakukan apa yang diinginkannya, tidak lebih, tidak kurang. Dia tidak memiliki wawasan yang canggih. Tidak ada kedalaman filosofis atau psikoanalitik, representasinya atas eksistensialisme mengacu pada “kehidupan hewan” fundamentalnya, yang berarti bahwa bagi kita semua ada dimensi seperti itu, kesadaran sehari-hari, prekognitif, hidup, konkrit, dan prototipenya.
Camus dalam novelnya ini, mengadopsi gaya penulisan eksperimental untuk menciptakan atmosfer yang sesuai dengan tema-tema eksistensial. Pemakaian bahasa dan struktur naratif yang tidak konvensional dapat menciptakan pengalaman membaca yang intens dan memprovokasi pemikiran.
Penulis: Windy Shelia Azhar merupakan penulis lepas di berbagai medium. Ia menulis cerpen, puisi, essai, dan opini berkutat pada isu feminisme, lingkungan, kebahasaan, dan sosial. Pernah kuliah di jurusan Sastra Inggris dan saat ini menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi. Ia juga tergabung dalam komunitas literasi Kebun Kata yang berbasis di Bangka Belitung. Saat ini, ia bermukim di Bali dan berkarier di bidang kreatif. Jenguk tulisannya di medium.com/@windyazhar atau bermutualan dengannya di akun Instagram @windysazhar