
“Raden Mas” Barthes dan “Ki Demang” Foucault boleh saja menganggap pengarang telah mati, dan memang harus mati jika ingin melahirkan seorang putra mahkota, sang penerus yang diberi gelar sebagai “Susuhunan Raden Ageng” pembaca. Dan teori-teori resepsi tentang pembaca dan pembacaan-nya memang menjadi tren dan menjadi wacana postmo yang mau tak mau suka tidak suka, kita harus mengakuinya memang sangat berguna dan eksis, entah kita akui secara diam-diam maupun terang-terangan. Namun di sini saya ingin sedikit mendebat itu semua. Toh semenjak era Majapahit peran pengarang memang sudah sangat vital dan sentral, bahkan pengarang diakui sebagai salah satu jabatan elit dalam sistem kerajaan feodal. Pengarang tidak hanya sebuah profesi yang digunakan sebagai mata pencarian semata, namun juga semacam tahta yang bisa mendekatkan para pengarang pada pusat pemerintahan dan raja-raja. Seorang empu, seorang kawi, seorang sastrawan kerajaan adalah sebuah derajat yang kedudukannya begitu tinggi, diakui, dan diagungkan dari era satu ke era yang lain, dari kerajaan yang satu ke kerajaan yang lain.
Lalu tulisan ini sebenarnya ingin melihat, mengimajinasikan, dan memperbandingkan hidup dan mati seorang pengarang masa lalu dan masa kini, tulisan ini setidaknya ingin membidik tiga hal dalam kehidupan seorang pengarang, tentang bagaimana hidupnya di era lalu ke era kini. Lalu kemudian posisi sosialnya di masyarakat maupun di pemerintahan, dan goal, atau tujuan apa yang ia cari setelah menjadi seorang pengarang, entah apakah itu kekayaan atau kemasyhuran, atau bahkan keduanya. Dan yang terakhir apa dan bagaimana kematiannya dilihat dan dibicarakan.
Pujangga kerajaan atau seorang kawi, mereka adalah orang-orang pinilih, yang memiliki bakat alam kalau meminjam istilah Elliot, mereka ini adalah orang-orang dengan bakat alam dan sekaligus memiliki tradisi kepengarangan dan kepujanggan yang panjang sebelumnya. Terkadang sistem pemilihan para kawi ini sebagaimana sistem monarki kerajaan yang dilakukan secara turun temurun itu, maka seorang kawi atau pujangga pun menggunakan sistem semacam itu. Tidak ada seleksi sama sekali, berbeda dengan di Tiongkok yang memang pegawai kerajaan dipilih dengan cara tes, dan mengikuti ujian tes masuk. Kalau sekarang mungkin mirip tes CPNS yang harus lolos ujian TIU dan TWK, untuk menjadi seorang pegawai kerajaan katakanlah.
Di era sekarang untuk menjadi seorang penulis sangat mudah, apalagi mengaku-aku sebagai seorang penulis sangat mudah sekali, karena sekarang untuk mencetak buku pun sangat mudah. Apalagi di era sekarang ada artifisial intelegence atau AI, yang bisa dengan mudah menulis dan memberikan pengarang semacam perewang untuk menuliskan apa yang ingin dituliskan. Dari sinilah kemudian para penulis kiwari mendapatkan inspirasi dan ide yang tak pernah kering dan tak habis-habis.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan pengarang-pengarang, atau kawi-kawi, atau pujangga-pujangga kerajaan dulu, ketika mereka ingin membuat sebuah kitab, mereka harus melakukan tirakat, rialat, dan semacam riyadoh (jika menggunakan terma islam), agar mereka diberi petunjuk, disucikan jiwanya, dijernihkan pikirannya, dan diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyusun kitab-kitabnya. Untuk membuat sebuah kitab mereka tidak main-main, banyak tahapan tirakat yang harus mereka lakukan, seperti menyepi, puasa, bertapa. Semua mereka lakukan hanya untuk menyusun sebuah kitab. Dan tidak heran terkadang ini memerlukan waktu hingga bertahun-tahun lamanya.
Tapi ini bukan hanya sebuah kitab, ini adalah karya sastra yang tak lekang oleh zaman, ia adalah kitab yang bahkan dijadikan pegangan bagi raja-raja dan kawulanya. Ini semacam kitab “suci”, yang dijadikan pedoman hidup bagi raja-raja dan rakyatnya. Inilah yang mungkin menjadi pembeda antara pengarang era Majapahit dulu, era Prapanca, Kanwa, atau era Wangsakerta dalam menulis dan melahirkan sebuah kitab atau buku. Sedangkan sekarang para pengarang era kiwari bisa begitu mudah dan cepatnya dalam mencetak buku, terlepas dari sampah atau tidak karyanya.
Lalu bagaimana mereka hidup? Bagaimana para kawi dan pengarang itu hidup? Mari coba kita perbandingkan kehidupan pengarang era lampau dan era kini. Kawi atau pujangga kerajaan era lampau kehidupannya sudah pasti terjamin, hidupnya dijamin oleh raja, ia diberi segala macam fasilitas, bahkan pangkat di kerajaan, sehingga para pujangga dan kawi ini memang bekerja di bawah raja dan hidup mereka sangat sejahtera, dan memang harus disejahterakan agar mereka bisa berkonsetrasi dengan kitab-kitab dan karya-karya yang akan mereka hasilkan (sekaligus menumpulkan daya kritisnya). Mereka sebagaimana seorang penulis istana yang sangat dihormati dan ditunggu-tunggu karya-karyanya, bahkan mereka juga sering dimintai nasehat oleh pejabat-pejabat dan raja. Mereka tidak jauh perannya sebagaimana pemuka agama, dan penasehat raja. Namun lapangan kerja mereka tetap di dalam pembuatan karya sastra, entah di dalam kertas dluwang maupun di medium lontar. Dan tentu saja mereka digaji, gaji yang besar.
Sedangkan penulis di era sekarang jangan ditanya kesejahteraannya; minus, untuk tak mengatakannya memprihatinkan. Dengan segala kecanggihan teknologi dan kemajuan zaman ternyata tidak serta merta membuat mereka mendapatkan honor yang layak dan pantas. Bahkan untuk membeli kebutuhan sehari-hari saja sepertinya kurang, bahkan untuk mengganjal perut saja mungkin tidak cukup. Maka beginilah perbandingan kawi kerajaan dan penulis single fighter. Bahkan pekerjaan penulis sekarang masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena masyarakat lebih mengenal pekerjaan seperti pemadam kebakaran atau tukang sampah, dibandingkan pekerjaan penulis “Oh penulis, yang kerjanya ngetik di balai desa”.
Dengan demikian kesejahteraan penulis-penulis era modern seperti sekarang ini perlu dipertanyakan, untuk makan saja susah, bagaimana mereka bisa menghasilkan karya sastra yang adiluhung dan universal katakanlah. Wong perutnya saja kelaparan. Maka sahihlah apa yang kemudian dikatakan oleh Ernest Hemingway.
Bahwa kesejahteraan ekonomi dan kesehatan yang terjaga baik, merupakan situasi yang kondusif untuk menulis; bahwa salah satu kesulitan utama dalam menulis adalah Menyusun kata dengan baik; bahwa ketika menulis menjadi pekerjaan berat maka ada baiknya membaca kembali buku-buku karangan sendiri, agar selalu ingat bahwa menulis itu memang berat.
Betapa Hemingway memperhatikan sekali kondisi finansial, kesehatan fisik dan psikis seorang penulis. Bahwa seorang penulis yang sejahtera dengan tempat dan fasilitas yang nyaman untuk bekerja serta hidup berkecukupan itu selalu lebih baik dalam menulis, ketimbang penulis-penulis yang hidupnya kekurangan, terjebak dalam himpitan ekonomi, kemelaratan, kemiskinan, dan selalu lapar. Meksipun boleh jadi dalam kualitas karya belum tentu penulis yang sejahtera bisa menghasilkan karya kaliber kanon. Sebagaimana penulis yang melarat dan kelaparan belum tentu mereka tidak bisa menghasilkan karya yang bagus dan bermutu. Akan tetapi perlu diketahui bahwa menulis dalam keadaan kenyang pasti lebih baik moodnya daripada menulis dalam keadaan lapar. Wong menghadapi masa kritis diri saja belum becus, mau melahirkan karya adiluhung. Masalah perut saja belum selesai, kok bisa-bisanya memikirkan masa depan anak bangsa dan negara dengan karyanya.
Dan terakhir adalah kematian para pengarang. Bagaimana para pengarang kerajaan saat mereka mati sudah barang tentu akan diadakan semacam upacara penghormatan, dan namanya akan dicatat dalam lembaran sejarah kerajaan sebagai pujangga kerajaan yang berjasa melahirkan kitab-kitab luar biasa, yang menjadi pedoman, warisan pengetahuan dan sumber kebijaksanaan bagi orang-orang di masanya dan masa setelahnya.
Sedangkan penulis era kiwari mereka meninggal sebagaimana orang biasa meninggal, tak ada upacara meriah, paling banter tahlilan (Jika Islam NU), mati ya tinggal mati, dan kemudian dimandikan, dikafani, disalati, dikubur, dan dilupakan. Begitulah kemudian perbedaan dan perbandingan penulis era Majapahit dan penulis era kiwari masa kini ketika mereka mati.
Tapi tentu saja mereka tetap memiliki kesamaan, keduanya sama-sama akan tetap “hidup”, pikiran-pikiran mereka akan terus hidup jika karya-karya mereka terus dibaca, diulas, dan dikritisi oleh orang-orang di segala zaman. Mungkin ini juga yang dimaksud oleh Pramoedya Ananta Toer tentang menulis itu akan membuat kita abadi “Kalian boleh pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis kalian akan hilang dari peradaban dan pusaran sejarah” . Tapi jika kita mengikuti dan mengamini pernyataan Barthes dan Foucault, maka karya-karya yang lahir dari pengarang dan kawi itu akan tetap bisa hidup secara mandiri, independen. Karya itu akan melepaskan diri dari pengarangnya. Dan yang mati adalah pengarangnya, sedangkan yang hidup tinggal para pembacanya; pembaca dan pembacaannya, tabik.
BiodataPenulis:
Juli Prasetya adalah seorang penulis muda asal Banyumas. Sekarang sedang berproses di Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung. FB : Juli Prasetya Alkamzy.