Persona Media Baru: Alienasi dan Manifestasi Topeng Sosial yang Digunakan

sumber gambar: pinterest

Salah satu tokoh Psikologi, Carl Gustav Jung, menyebutkan bahwa topeng sosial yang biasa manusia kenakan untuk beradaptasi dengan lingkungannya disebut dengan persona. Persona erat kaitannya dengan cara seseorang menampilkan dirinya dan memberikan kesan kepada orang lain, dan di sisi lain menyembunyikan seluruh ataupun sebagian sifat asli individu tersebut. Di era serba digital, istilah ini semakin kerasa kental. Pada dasarnya, jika dulu seseorang harus menampilkan personanya secara nyata di dunia sebenarnya, maka saat ini persona seseorang cukup bisa dirasakan ataupun  dilihat secara langsung melalui apa yang disebut dengan media baru.

Media baru menurut McQuail di dalam buku Sosiologi Komunikasi, merupakan istilah yang digunakan untuk berbagai teknologi komunikasi dengan digitalisasi dan ketersediannya yang luas untuk penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi. Media baru menjadi sangat relevan untuk menjadikan seseorang menampilkan personanya, karena media baru saat ini mengubah konsep media yang telah ada sebelumnya berupa ‘waktu yang sama’ dan ‘di tempat yang sama’ menjadi ‘dimana pun’ dan ‘kapan pun’. Tentunya ini menjadi sangat realistis untuk menampilkan persona tanpa harus menganut konsep face to face atau bertemu secara langsung. Dengan begitu, seseorang tidak harus repot-repot menunjukkan dirinya secara langsung. Cukup dengan menampilkan diri dan memvisualisasikan diri seperti apa yang diinginkan.

Platform – platform media sosial adalah bentuk dari media baru yang dikenal di dunia digital. Media sosial yang sangat merebak saat ini, tentunya memberikan pilihan kita ingin dikenal secara profesional, kasual, alter ego ataupun sisi anonim kepada khalayak. Semua ini tergantung dari karakteristik yang ingin kita tampilkan di media sosial tersebut. Sebut saja seperti media sosial Instagram, banyak orang yang berlomba-lomba menampilkan citra ideal mereka di sana, atau juga menampilkan sisi profesional di LinkedIn misalnya.

Pada dasarnya, setiap platform media sosial tersebut akan menampilkan realitas yang berbeda, yang tanpa kita sadari hal ini akan membentuk identitas kita yang semu bahkan terkesan identitas yang kita tampilkan saat ini bukanlah cerminan dari diri kita yang sebenarnya. Sebenarnya hal ini tidaklah masalah jika masih disikapi secara bijak, tapi bagaimana jika pembentukan citra seseorang di media sosial ini menjadikan seseorang mengalami keterasingan pada dirinya sendiri? Tentu hal ini akan sangat berisiko karena seseorang akan kehilangan jati dirinya ketika dirinya terlalu membangun personanya di media sosial.

Dari Beradaptasi Menuju Alienasi

Konsep persona memang mengarahkan seseorang untuk dapat beradaptasi di lingkungannya, membangun kepribadian yang baru yang mungkin dapat berguna apakah itu untuk mendapatkan pekerjaan, pasangan, relasi, ataupun hal-hal lain yang akan berguna untuk mencapai tujuan seseorang. Tetapi di era digital yang serba cepat, manusia menjadikan dunia maya sebagai sebuah realitas yang baru, maka eksistensi manusia akan sangat rentan dan rapuh. Tidak jarang seseorang mengalami keterputusan dengan dirinya sendiri.

Manusia yang awalnya beradaptasi menjadi sekumpulan manusia yang membangun citra dan identitas yang baru di ruang siber. Apabila seseorang terlalu melekatkan diri pada persona digital misalnya seperti hanya mengejar validasi di media sosial tanpa benar-benar memahami diri mereka, maka manusia seperti ini akan berisiko untuk mengalami keterasingan dengan dirinya sendiri atau yang disebut dengan alienasi. Pada awalnya konsep alienasi kental kaitannya dengan sistem kapitalis yang berangkat dari pemikiriran Karl Marx, yang digunakan untuk mengkritisi status quo yang berkaitan dengan sistem kerja para buruh, ketika para buruh tidak merasakan kebahagiaan karena mereka saat itu diperas dan dikontruksi pemikirannya hanya untuk menghasilkan uang, sehingga mereka (para buruh) mengalami keterasingan terhadap makna hidup yang sebenarnya.

Jika dilihat dalam konteks keterasingan di tulisan ini, alienasi bukan hanya dilihat dari struktural masyarakat yang lebih luas, tetapi juga termasuk cara individu mengalami gejolak di dalam dirinya. Saat memasuki era digital dan munculnya platform media baru dengan inovasi yang semakin canggih, hal ini tentu membuat individu beradaptasi dengan hal tersebut. Hal ini membuat semua orang menjadi terkoneksi dengan hadirnya media sosial. Kemudian, paradoksnya hadir di sini, apakah dengan kehadiran media sosial ini menjadi bentuk koneksi dan adaptasi? Atau bahkan membuat kita menjauhkan diri yang lebih dalam?

Meskipun media sosial sebagai produk dari media baru berhasil membangun hubungan kita dengan orang lain yang dipisahkan oleh jarak, tetapi di lain sisi hal ini sering kali memperburuk perasaan keterasingan seseorang di dalam dirinya. Hal semacam itu pernah dibahas oleh tokoh Jean Baudrillard dalam karyanya Simulacra dan Simulation tentang dunia yang kita lihat melalui media sosial sebagai dunia simulakra, di mana kenyataan telah disimulasi menjadi citra-citra yang kosong, tanpa makna yang dalam dan berujung pada memperburuk alienasi kita.

Sehingga, konsep persona di era media sosial ini seperti adagium terkenal dari Filsuf ternama Prancis, Rene Descartes yang mengutarakan “Cogito Ergo Sum” yang diartikan sebagai aku berpikir maka aku ada –yang menandakan dan membuktikan bahwa hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan manusia. Namun, di era modern atau yang saya sebut sebagai eranya media baru, keberadaan manusia ada ketika dia menunjukkan eksistensinya, terutama di ruang – ruang siber yang berguna untuk membentuk personanya sebaik mungkin dan sesuai keinginan. Maka, adagium saat ini ialah “ Aku bermedia sosial maka Aku Ada”.

 

Biodata Penulis: Alfin D. Rahmawan Penulis lepas kelahiran Pangkalpinang, fokus pada Kajian Media dan sesekali berkamuflase sebagai konten kreator. Tulisan buku yang dibuat “Ruang Siber & Identitas, Semua dalam Genggaman” dan buku bergenre Self Improvement “Don’t Panic, Put Yourself First”

Check Also

Anime-Manga, Membaca, & Negara: Pleidoi Singkat Seorang Wibu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *