Naluri Warna: Melihat Pameran Colors of Life

Naluri Warna: Melihat Pameran Colors of Life

dok: Jemi Batin Tikal

Warna sebagaimana dipahami merupakan unsur visual penting yang memiliki peranan memberikan muatan-muatan estetika. Namun, merunut dari tema yang dipilih, saya menduga warna dalam karya ketiga seniman, tak hanya memanggul muatan estetika belaka, tetapi sekaligus merupakan refleksi warna ­­bagi kehidupan tiap-tiap seniman.

Dalam kondisi normal, manusia pada dasarnya menyenangi warna dan mempunyai reaksi terhadap warna. Letak keistimewaan warna sejatinya berpijak pada kesederhanaan dan kesenangan emosional. Hidup ini penuh warna, begitulah anggapan klise yang selama ini sering kita dengar. Meskipun klise, anggapan demikian mengandung kebenaran. Warna dan kehidupanlah kemudian dipilih oleh tiga seniman, yaitu Arita Savitri, Djoko Sardjono, dan Rakhmat Supriyono menjadi tema pameran.

Colors of Life bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, bisa berpijak dari penggunaan warna dalam karya ketiga seniman. Kedua, warna kehidupan pribadi sang seniman yang menstimulus pemilihan warna dalam karya. Batas antara dua sisi tadi sangatlah tipis dan tidak menutup kemungkinan terjadi tarikan yang saling memengaruhi.

Sisi Abstrak yang Terpola

Pada pameran di Omah Budoyo, Arita Savitri mengusung karya kirigami dan lukisan. Kirigami merupakan seni menggunting kertas dari Jepang, yang merupakan variasi dari Origami. Karya kirigami Arita terdiri dari dua dimensi dan tiga dimensi. Awal mulanya Arita bersentuhan dengan seni ini sebagai upaya dari merilis tegangan-tegangan psikologis. Sisi psikologi yang abstrak—dan acapkali keos—mampu ia wujudkan dalam pola-pola yang justru menampakkan sisi sebaliknya; teratur, terpola, indah, sekaligus kompleks.

Sejurus dengan karya kirigami, dalam karya lukisannya pula, saya melihat irisan sama yang sering muncul, yaitu motif floral. Dari tegangan psikologis tadi, Arita mampu memekarkan bunga-bunga dalam wujud kirigami dan lukisan. Barangkali penggunaan food colors merupakan upaya baiknya dalam menjangkau dan menyamai warna-warna alamiah dari alam. Di luar tema-tema alam tadi, Arita juga mengerjakan tema historisitas budaya dan agama, yang diwakili karya lukisan candi dan wajah Yesus Kristus. Dalam proses kreatifnya, “warna” musik yang sedang ia dengarkan juga berperan penting dalam pemilihan apa yang akan ia lukis dan warna yang dipilih.

Menyusur Sejarah dan Arsitektur

Melukis bangunan-bangunan bersejarah memerlukan pemahaman akan arsitektur lewat cara yang kreatif sekaligus estetis. Menyusur masa lalu dan menghadirkannya di masa kini dalam seni lukis, tak hanya menarik, tetapi juga memberi bobot makna, agaknya merupakan pilihan yang berani. Sebab sejarah membutuhkan intuisi, imajinasi, emosi, sekaligus perlu adanya penekanan nilai estetika, pendekatan naratif, pengetahuan tentang sejarah, ilmu sosial, juga arsitektur.

Demikianlah jalan yang dipilih oleh Djoko Sardjono, yang memiliki ketertarikan-keterikatan dengan bangunan-bangunan bersejarah  Jawa, khususnya yang ada di Yogyakarta. Dengan gaya impresionisme dan teknik brush stroke, Djoko mengantar muatan estetika dan sejarah kepada kita. Cat pada suatu permukaan dengan satu kali aplikasi kuas sering digunakan sebagai kiasan untuk menggambarkan kualitas sebuah narasi. Ia memberikan bobot emosi lewat karakter goresan yang mengandung kekuatan emosi, narasi, serta ketajaman warna. Dalam sapuan warna cokelat yang dominan, serta sentuhan aksentuasi warna hijau, merah, kuning, tersimpan kekuatan yang memesona.

Menangkap Vitalitas Gerak

Dalam memahami gerak, filsuf Henri Bergson menerjemahkannya sebagai la durée yang berarti “waktu-kehidupan”. Menurut Bergson, gerak bukanlah sekadar perubahan dalam waktu dan ruang, melainkan pengalaman subjektif dari durasi dan kehidupan yang mengalir terus-menerus. Sedangkan filsuf fenomenologi, Maurice Merleau-Ponty, melihat gerak sebagai ekspresi tubuh dan hubungan antara tubuh dan dunia. Gerak bukan hanya perubahan posisi fisik belaka, tetapi juga perubahan dalam persepsi, interaksi dan pengalaman subjektif manusia.

“Gerak”-lah yang memantik sekaligus menjadi pijakan utama dalam karya-karya lukis Rakhmat Supriyono. Karya lukisnya banyak “menangkap” gerak penari Jawa dan Bali, serta aktivitas keseharian. Tiap ragam seni tari mengandung filosofi masing-masing. Namun, secara umum, sebuah tarian memiliki nilai estetis. Tari tak hanya soalan gerak saja, tetapi juga mengekspresikan nilai-nilai budaya, tradisi, sejarah, atau identitas suatu masyarakat. Nilai estetis yang berupa kemampuan gerak penari dan muatan kultural-sosial itulah yang hendak ditangkap Rakhmat. Meskipun lukisannya cenderung mendekati gaya realis, tetapi dibarengi dengan goresan-goresan liar yang ekspresif dan mengandung vitalitas la durée.

Jemi Batin Tikal
Omah Budoyo, Yogyakarta, Maret 2025

Check Also

Membaca Martin; Membaca Sastra dan Estetika Puing

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *