Apa Sih Hubungan Kemiskinan dan Kesehatan Mental?

sumber: Pinterest

Kemiskinan itu jauh lebih dari bokek. Sebenarnya, bisa dibilang kalau kemiskinan itu tuh jebakan. Jadi, jangan cuma mikir soal saldo rekening yang minus, karena kemiskinan itu jauh lebih dari hal itu. Ia jelas mengunyah habis-habisan kesejahteraan kita, terus pas kita terkapar, malah disalahin. Di Indonesia, pemotongan anggaran pemerintah buat sektor kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial bikin orang miskin makin sulit keluar dari siklus kemiskinan. Alih-alih melihat kemiskinan sebagai masalah struktural, kebijakan pemerintah malah ngajarin kita untuk “lebih keras”, bukannya nyediain bantuan yang seharusnya kita dapetin.

Sebenarnya, ini tuh masalah lama. Banyak studi dari seluruh dunia yang nunjukin hubungan antara kemiskinan dan kesehatan mental yang gak bisa dipisahin. Studi Stirling County (1959-1963) di Nova Scotia, misalnya, nemuin bahwa isolasi sosial dan stres bikin depresi merajalela. Di New York, studi Midtown Manhattan Project (1962) juga menunjukkan, cuma segelintir orang yang punya kesehatan mental oke, dan kemiskinan jadi faktor utama yang bikin orang jatuh ke jurang masalah mental. Tapi, daripada ngatasin akar masalahnya, pemerintah malah jadi jagoan dalam ngasih solusi sampingan yang gak ada gunanya, seperti pembersihan kawasan kumuh atau program pengembangan diri yang malah ngelawan masalah sistemik kemiskinan itu sendiri. Kayak ngasih pidato motivasi buat kaki yang patah, daripada pergi ke dokter buat dipasangin gips. Gak bisa cuma bilang “ayo, cepet sembuh” terus harap bisa langsung jalan kayak normal lagi.

Kemiskinan dan kesehatan mental itu saling nyambung, ada dua cara lihat hubungannya: penyebab (causation) atau pergeseran sosial (social drift). Kalau kemiskinan sebagai penyebab, artinya stres terus-menerus, kelaparan, atau tempat tinggal yang gak aman pasti bikin kesehatan mental hancur. Kalau pergeseran sosial, itu artinya masalah kesehatan mental bisa bikin orang jatuh ke dalam kemiskinan, karena susah dapetin pekerjaan atau pertahankan hubungan sosial yang stabil. Kedua hal ini saling bergantung satu sama lain, menciptakan siklus yang susah banget buat diputus tanpa adanya perubahan struktural.

Tapi kayaknya kok orang susah banget buat nyambungin dua hal ini? Jawabannya simpel—karena kesehatan mental sering dipandang sebagai masalah pribadi, bukan masalah sistemik. Akibatnya, penyebab dari stres mental jadi kabur, dan kebijakan yang ada malah justru terus ngebaikin masalah tanpa benerin akar kemiskinan itu sendiri.

Das dkk. (2007) sempat bilang, “kemiskinan konsumsi” itu gak ada hubungannya langsung dengan kesehatan mental. Mereka bilang, yang penting itu perubahan keadaan hidup. Tapi, ini malah ngelawan fakta banyak penelitian yang jelas-jelas nunjukin kalau kemiskinan itu ngaruh banget ke kesehatan mental—mulai dari ketidakamanan pangan, tempat tinggal yang gak stabil, sampai stres finansial. Kayak bilang, kelaparan gak bikin orang menderita, yang bikin itu ya cuman gak ada makanan. Wah, ini mah kelihatan kayak debat receh aja sih.

Mills (2015) lebih tajam lagi. Dia bilang kemiskinan malah sering dipandang sebagai masalah psikiatris—jadi, bukannya ngatasin kemiskinan, pemerintah malah nyalahin orang-orang dengan bilang, “kamu butuh terapi atau obat.” Fokusnya pindah dari masalah ekonomi ke masalah kesehatan mental pribadi. Padahal, solusi yang seharusnya adalah ngatasin sistem yang bikin kemiskinan itu sendiri. Makanya, banyak orang yang akhirnya lebih nyalahin diri sendiri daripada nuntut perubahan yang nyata.

Sayangnya, model-model kesehatan mental di sini (red-Indonesia) banyak banget yang cuma niru perspektif biomedis dari Barat, yang cuma fokus ke diagnosis individu tanpa ngelihat masalah sosial yang lebih besar. Kayak pake peta New York buat nyari jalan ke Jakarta. Gak nyambung! Kita butuh pendekatan yang lebih sesuai dengan situasi Indonesia, yang ngertiin perjuangan ekonomi, sejarah budaya, dan ketidaksetaraan yang udah mendarah daging. Kalau enggak, dukungan kesehatan mental cuma buat orang yang udah “mampu” aja, sedangkan orang yang bener-bener butuh malah terabaikan. Undang-undang kesehatan mental Indonesia juga masih lemah, apalagi 2023 itu–yang jelas-jelas cuma nambahin kesehatan mental ke dalam kerangka besar tanpa ngurusin masalah strukturalnya. Alih-alih fokus ke akses dan solusi sistemik, undang-undang ini malah nambahin fokus medis yang gak nyelesain masalah sosial-ekonominya.

Kemiskinan itu bukan cuma soal kurang uang—itu kekerasan struktural yang bikin orang tertekan mental. Kecemasan soal ketidakpastian finansial, malu gara-gara harus ngelewatin birokrasi buat kebutuhan dasar, dan kelelahan kerja yang gak pasti itu jadi siklus tanpa ujung yang bikin hidup makin berat. Dan, ditambah dengan iklim politik Indonesia yang semakin membuat semua hal jadi susah diakses—baik itu kesehatan, pendidikan, atau layanan lainnya. Pemerintah masih aja ngebiarin ini semua terjadi, tanpa perlindungan sosial yang kuat, jadi masalah kesehatan fisik dan mental yang nyambung ke penindasan ekonomi sering dianggap sebagai kelemahan pribadi, bukan hasil dari sistem yang eksploitasi.

Di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran sekarang, kebijakan pemotongan anggaran buat sektor-sektor penting malah makin memperparah kondisi kelas pekerja dan komunitas marginal. Mereka bangga dengan “pertumbuhan ekonomi,” padahal itu cuma pertumbuhan buat orang-orang kaya, sementara yang miskin makin susah hidupnya. Ketidaksetaraan ekonomi Indonesia itu gak baru—itu udah ada sejak zaman feodal, jauh sebelum kolonialisme. Pemilik tanah dan kekayaan dikuasai oleh bangsawan dan penguasa lokal, sementara rakyat kecil dipaksa kerja keras dengan gaji minim. Belanda justru makin ngeratain sistem ini, yang ngebangun ekonomi kapitalis yang cuma menguntungkan penjajah dan elit lokal. Bahkan setelah merdeka, sistem feodal ini tetap bertahan, ngebentuk oligarki modern yang masih dominasi Indonesia sekarang.

Jadi, dengan ini, apa pemerintah sedang aktif menghukum orang karena mereka miskin? Di Indonesia, jawabannya jelas. Kebijakan penghematan dan ekonomi yang diterapkan pemerintah gak cuma mengabaikan orang miskin—tapi secara aktif memperkokoh kemiskinan sebagai alat kontrol dan eksploitasi. Dengan menyalahkan kemiskinan sebagai kegagalan pribadi, pemerintah lebih memilih menanggalkan tanggung jawab dan tetap mempertahankan kebijakan yang menguntungkan elit sambil menyiksa rakyat kecil. Perubahan yang nyata gak akan datang dengan bilang “yuk, bisa yuk.” Perubahan itu butuh memutus siklus eksploitasi, menuntut perlindungan sosial, dan menolak menganggap kemiskinan sebagai masalah pribadi. Kemiskinan itu bukan takdir—itu pilihan yang dibuat oleh orang-orang yang diuntungkan darinya dan itulah kenapa kemiskinan harus dilawan.

 

Biodata Penulis:

Samantha Dewi Gayatri, seorang mahasiswa MSc yang kelelep di isu gender, dekolonisasi, dan kesehatan interseksional. Kalau lagi nggak pusing sama tugas, biasanya sibuk nge-game, baca buku, nonton video esai yang bikin otak panas, ngubek-ngubek Reddit, atau nontonin hope core edits sambil ngemil krim keju (karena hidup butuh sedikit obsesi yang nggak penting).

Check Also

Persona Media Baru: Alienasi dan Manifestasi Topeng Sosial yang Digunakan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *