Catatan atas Folktarium Muria: Pameran Residensi Tapangeli 2025 Bagian II
Kudus, 26 April 2025
Setelah mandi dan sarapan, kau dan kedua kawanmu, Latief dan Juwita, juga Karen dan Adnan, menuju kembali ke area kantor KBPW (Kampung Budaya Piji Wetan); dan memulai lagi tur pameran—dengan urutan yang sesuai, dengan urutan yang semesti. Dan kau dapati ada peserta-peserta lain, baik dari Kudus sendiri atau dari lain kota. Dan setelah pembuka dan perkenalan, dan saling mengenalkan, Karen lekas memulai turnya. Ia memulai dari karya Lembana; dan berkisah seperti kemarin petang. Dan kau, yang sudah mendengar kemarin, tetap masih betah menyimak; dan memperhatikan guratan-guratan aksara itu di kain-kain ataupun sarung, meski tak genap bisa membacanya. Dan sebab iseng, kau kembali melihat sebuah songkok hitam yang dibalik, yang kemarin ada uang sukarela; dan masih dirimu lihat uang itu ada! Dan kau duduk melihat kuburan itu lagi; dan entah kenapa kau ingin saja mengirim doa: pada leluhur sesiapa—yang telah berbuat kebajikan dan memberi manfaat pada kehidupan kini. Sebab demikian, kau pun merasa menyesal sebab tak bisa ikut acara tahlilan di sana, yang sejak semula sudah hadir sebagai suatu yang performatik.
Setelah dari karya Lembana, tur itu menuju karya Umar Farq; dan kau kini tergoda membayang bagaimana jika memang karya itu ada di tempat lain, tempat yang lebih luas dan tak memberi kesan mendesak. Namun, itu pagi, kau merasa bahwa relasi dan ruang bagi pemaknaan tentu akan lain: meski narasi yang dibawa seniman masihlah sama. Kemudian, tur itu pun berjalan menuju dapur performatik… Dan kau akhirnya memilih membayangkan ketika karya-karya itu diaktifkan dan dijadikan pertunjukan—seperti hari pembukaan dan hari-hari awal pelaksanaan Folkatrium Muria. Setelah rampung itu area, tur berjalan kembali, ke karya-karya selanjutnya.
Kalian pun sampai ke karya Febri. Pagi tadi, kau mengingat ucapan Latief: Semalam, jam tigaan, ada hujan, ada gerimis. Kau membayangkan bagaimana karya Febri ketika dilihat ketika hujan, ketika gerimis turun dari awan-awan. Ah, semalam, keluhmu, kalau saja tidaklah lelah, dan ada kawan yang iseng mau menemani, ingin rasanya lihat karya Febri dan mbelik itu. Apa di sana, kala malam, ada kunang-kunang, yang menerangi burung-burung plastik itu? Dan di sana, benar seperti yang kau bayang, meski tentu saja sudah berkurang basahnya, masih terasa suatu sejuk gerimis-hujan. Lantas, ketika Karen menjelaskan kepada peserta tur lain, kau memutus untuk turun lebih dulu: melihat sumber air itu. Sebab kemarin sore, kau dapati dipakai kanak bermain yang membuat keruh, kini kau dapati air yang jernih, yang bisa memantulkan wajah. Saat kau turun, ada warga yang sedang menggarap ladang. Ah, tidakkah ini bisa dibaca sebagai rangkaian performatik? Di sana, kau dapati capung dan kupu-kupu kecil terbang, beterbangan; dan ketika hendak naik, bergantian dengan peserta lain, sepasang matamu melihat-dapati gelembung air yang keluar dari tanah: titik air itu muncul.
Lalu, kalian pun lanjut berjalan. Kalian melintasi karya Dipo, membincangkan apa-apa yang membersamainya; lalu melintasi dan memandang karya Kudus Street Art. Saat hendak melihat karya A.O.D.H, kalian mendapati pintu belum dibuka; dan akhirnya menyeberang jalan lantas melihat karya Fitri. Kembali Karen menjelaskan; dan sekalian peserta menonton, menyimak, dan memfoto. Dan, sebab telah cukup memotret, untuk keperluan dokumentasi, kau pun lebih memilih menonton penonton, melihat para peserta. Perpaduan material karya seni, manusia-manusia, dan apa-apa yang ada memperluas ruang untuk pemaknaan. Dan betapa ayam-ayam yang mencari makan di sekitar area jadi keasyikan tersendiri; juga angin lembut berembus.
Tur membawamu pada sebuah situs, Situs Depok. Tempat itu memiliki pijakan historis yang kuat, tempat di mana Mbah Sunan, Sunan Muria, membuka pengajaran dan pendidikan; dan menjadi tempat di mana kuda milik Mbah Sunan minum dan dibasuh oleh Mbah Ruji. Karen pun menjelaskan serangkaian kisah-kisah, menceritakan bahwa apabila warga ada yang punya hajat tempat tersebut jadi tempat mengirim doa pada leluhur, pada mereka yang telah berjasa dengan memungkinkan kebajikan sampai kepada masa kini. Karen pun meminta pada peserta untuk hening sejenak; mengirimkan Al-Fatihah. Kemudian, perjalanan kembali dilanjutkan. Seperti biasa, kau membiarkan yang lain berjalan lebih dulu; dan memilih menikmati sunyi di sana sedikit lebih lama. Angin yang sejuk berembus; dan kau bayangkan bagaimana silam itu; lantas kembali menyusul yang lainnya berjalan: ke karya selanjutnya…
Rombongan pun sampai ke karya Budi; dan kau baru menyadari, pohonan bambu di sekitaran karya, semalam ataupun itu kali, memberi atmosfer tersendiri, memberi ruang pemaknaan yang menambah bobot. Dan sebab terang, pagi menuju siang, kau bisa melihat gambar pada screen sablon itu dengan lebih jelas; meski lebihlah dekat kepada samar pula sebenarnya. Akan tetapi, secara teknik kau bisa paham: foto yang dijadikan pijakan dimaksimalkan pencahayaannya, sehingga kontrasnya tebal. Kemudian, perjalanan pun dilanjutkan ke karya dari Matrahita—yang ada di garasi salah satu warga. Karen menjelaskan pula bahwa si pemilik rumah adalah pengrajin batik; dan menjadi menarik ketika melihat relasinya dengan karya yang muncul. Sambil duduk-duduk di teras dan memperhatikan karya, kau kembali melihat relasi antara teks, tekstil, dan konteks yang membersamainya. Ah, narasi-narasi yang saling terhubung… Namun, kau semakin betah bertanya: Bagaimana orang mau melihat lebih dekat saat karya tersembunyi dan ada di ruang yang berbatas antara publik dan domestik seperti garasi? Tentu, kau paham, saat ada acara, workshop atau kumpul bersama, area itu bisa hilang batas-batasnya.
Perjalanan pun berlanjut. Rombongan pun berjalan menuju karya Feri, lantas seri yang disuguh oleh Medialegal di satu tempat tapi juga tersebar di beberapa titik. Lalu, berjalanlah rombongan menyeberang jalan dan melihat karya Mellshana. Pohon-pohon besar menawarkan segar, serta bayang untuk duduk. Setelah puas, dan dirasa cukup, rombongan pun dibawa ke karya Kolektif Arungkala. Sambil menunggu Amos dan Ashari, penunjung melihat-lihat; dan kau memilih untuk duduk sambil merebah di teras. Saat Amos memberi lekturnya, memberi penjelasan dan sejenisnya, kau tetap betah menyimak; ya, meski materinya sama seperti semalam, kau tetaplah suka menyimak itu semua. Dan amat terpukau kau ketika angin berembus dan meniup kertas-kertas bertulis tanya-tanya spekulatif. Ah, angin mencoba menggugurkan pertanyaan spekulatif itu dan membawanya entah ke mana. Saat rombongan kau lihat berjalan, menuju karya lainnya; kau bangkit-menyusul, dan melihat barkode berisi monolog suara warga, berisi memori tidak tampak yang coba ditampakkan. Beberapa zine, yang memang disediakan, kau ambil dan bawa; dan hendak genap kau baca-dengarkan dalam perjalanan pulang ke kotamu nanti.
Di akhir, tur membawa kalian ke karya kolaborasi MIVUBI dan Marten Bayuaji. Kemarin, kau dan dua kawanmu belum ke karya itu. Karya itu menurutmu menarik: sebab menawarkan dunia virtual—dalam bentuk gim minecraft. Ah, sudah lama kau tak memainkannya. Namun, itu kali, meski bisa diakses dengan akun minecraf masing-masing, kau merasa gim dan karya itu agak susah untuk diakses. Tawaran yang diberi, padahal sangat menarik bagimu, di mana pemain bisa melaku eksplorasi tapaktilas Sunan Muria, dan menyelesai beberapa misi, lantas mendapat hadiah kecil-kecilan. Dan kau bisa mengamini usulan Latief dengan membayang bila bentuk presentasi gim itu, dalam arti bertempat fisik, berada di wilayah yang lebihlah berakses publik; dan ditata sedemikian rupa serupa rental atau warnet; tentu dengan waktu yang terbatas, tetapi dirasa cukup. Memang, memainkan secara mandiri, tanpa datang ke tempat itu memungkinkan; tetapi jika hendak tetep berpegang pada kasus site spesific, maka pilihan moda tadi bisa dipilih.
Kau dan kedua kawanmu menepi dari rombongan; dan mesti mempersiapkan kepulangan; dan, setelah beberapa hal selesai dan siap, kalian pun pamit dan pulang. Meski ketika mau keluar, atas saran Karen, kalian mampir lagi ke karya A.O.D.H. dan menggenapi dengan menyimak salah satu senimannya menjelaskan karya. Kemudian, kalian pun ke pusat kota; makan dan mampir ke Museum Kretek. Kemudian, kau dan kedua kawanmu pamit ke Karen dan Adnan; dan tentu, gurauan kurator bergema: menunggu catatan hasil perjalanan. Kemudian, setelah cukup di Museum Kretek, kau dan kedua kawanmu menuju Jepara, menunggu travel dari sana, lantas kembali ke Yogya yang sedemikian rupa.
Dokumentasi Foto & Penulis: Polanco S. Achri