Nightmares and Daydreams: Semua Masalah Berakar dari Mother Issue
–
Joko Anwar, sutradara dan kritikus film kondang asal Indonesia, kembali menghebohkan jagat perfilman dengan meluncurkan series Netflix terbaru berjudul Nightmares and Daydreams pada 14 Juni 2024. Seperti biasa, Joko Anwar yang kerap melakukan eksperimen dalam proses berkaryanya, kali ini menggebrak dengan series bersambung dengan genre science fiction atau sci-fi.
Ini adalah pertama kalinya Joko Anwar bergelut dengan genre sci-fi. Sebelumnya, namanya melejit melalui karya-karyanya yang terkenal bergenre horor (Pengabdi Setan), thriller (Impetigore), slice of life (A Copy of My Mind), romance (Janji Joni), serta action hero (Gundala).
Meski series ini memiliki tampilan out of the box dari karya-karya Joko Anwar yang lain, tema sentral yang diangkat justru merupakan premis sederhana yang kerap dirasakan kebanyakan penonton di dunia realita. Lima dari total tujuh episode dalam series musim pertama ini berangkat dari parent issue yang direpresentasikan secara gamblang oleh para tokoh. Adanya relasi dengan sosok ibu memunculkan konflik yang mempengaruhi karakter tokoh serta membuat plot cerita naik-turun.
Sebagaimana kajian psikoseksual yang dinukil dari pemikiran Sigmund Freud, manusia baik laki-laki dan perempuan melewati beberapa fase perkembangan yang tak luput dari peran orangtua. Istilah dalam pemikiran Freudian ini dikenal dengan Kompleks Odiepal.
Kompleks Oedipal memungkinkan anak laki-laki memiliki kedekatan dengan ibunya serta menganggap ayah sebagai saingannya. Begitupun anak perempuan memiliki kedekatan dengan ayahnya dan sosok ibu menjadi sosok yang dicemburui. Fase ini akan dapat dilalui individu hingga tahap dewasa jika peran ayah atau ibu mereka tidak pincang di salah satu tahap perkembangannya. Lalu, bagaimana teori Freud ini berimplikasi dalam series Nightmares and Daydreams?
Relasi Anak Lelaki dengan Ibu
Beberapa dari tokoh utama dalam series ini secara implisit memiliki konflik yang berkutat dengan sosok ibu dalam hidup mereka, katakanlah Panji dalam episode 1 Old House, Syafin dalam Episode 2 The Orphan, serta Wahyu dalam Episode 4 Encounter. Panji merupakan karakter yang tinggal bersama ibunya yang merupakan orangtua tunggal sejak ia kecil.
Kedekatan Panji dan ibunya justru menimbulkan dilema ketika ibunya mengidap demensia dan memerlukan perawatan intensif yang tidak bisa diberikan Panji dan Istrinya di rumah saja. Walaupun Panji akhirnya memasukan ibunya ke panti jompo setelah ibunya melakukan hal berbahaya di luar pengawasannya, Panji tetap dilanda rasa bersalah. Bahkan tindakan memasukkan ibunya ke panti jompo ini dianggap sebagai perbuatan anak durhaka, yang berimplikasi pada perbuatan dosa seorang anak kepada ibunya.
Plot cerita juga memperkuat jalinan relasi ibu-anak ketika Panji menjelma sosok “laki-laki phallic” seperti istilah Freud yang membuktikan maskulinitasnya dengan melakukan aksi penyelamatan ibunya secara heroik. Meski akhirnya Panji gagal menyelamatkan ibunya, peran ibunya sebagai provider merelakan hidupnya demi keselamatan diri Panji.
Lain halnya dengan Wahyu, sosok ini mengalami hambatan perkembangan secara signifikan karena kehilangan sosok ibunya yang pergi ketika ia kecil. Wahyu tumbuh menjadi laki-laki pendiam, lemah, dan tidak tegas sehingga tidak memenuhi peran maskulinitasnya. Hidupnya berkutat kepada impian untuk bertemu dengan ibunya lagi sehingga menimbulkan konflik dengan istri dan lingkungan sekitarnya.
Istri Wahyu, yang merasa kurang diperhatikan dan dicintai, akhirnya meninggalkan Wahyu yang sibuk dengan ambisi pribadinya untuk bertemu Ibunya. Orang-orang di sekitar Wahyu juga mempermasalahkan ambisi Wahyu akan ibunya karena membentuknya menjadi sosok yang tidak peduli terhadap masalah kolektif yang sedang dihadapi kampungnya. Hingga pada akhirnya, karakter Wahyu mengalami perkembangan setelah ia bertemu Supreme Being yang menjelma ibunya.
Mother Issue tak hanya dialami tokoh laki-laki dewasa, tapi juga tokoh anak laki-laki usia dini yang sedang mengalami perkembangan, yaitu Syafin. Syafin adalah anak lelaki usia 7 tahun yang merupakan seorang yatim piatu. Ia berpindah dari satu keluarga ke keluarga lain dan tidak mendapatkan kasih sayang dalam proses perkembangannya. Syafin lalu bertemu pasangan Ipah dan Iyos.
Ipah segera menjadi sosok ibu bagi Syafin yang memberikannya kasih sayang secara tulus. Berbeda dengan Ipah, Iyos justru menjadi sosok bapak yang menjadi saingan bagi Syafin sebagaimana Kompleks Oedipal yang dikemukakan Freud. Ikatan kuat Syafin dan Ipah memunculkan konflik dengan Iyos yang menganggap hubungannya dengan Syafin sebatas dramaturgi ayah-anak semata dan lebih bertendensi pada hubungan transaksional. Bahkan di akhir cerita, Syafin memilih menyelamatkan Ipah yang ia anggap berperan sebagai ibunya.
Perempuan dan Perempuan
Tak hanya anak lelaki yang mengalami konflik sebab berakar pada hubungan dengan ibu, karakter perempuan dalam series ini juga mengalami konflik dalam relasi dengan ibu atau sesama perempuan. Hal ini dialami tokoh Rania yang memiliki hubungan cukup sulit dengan keluarganya serta Valdya yang dihantui rasa bersalah atas hilangnya kakak perempuannya. Peran ibu dalam plot cerita kedua tokoh perempuan ini direpresentasikan secara implisit namun tetap memiliki implikasi yang signifikan terhadap jalan cerita.
Rania merupakan penulis cerita best seller yang putus hubungan dengan ayah dan ibunya sejak kematian kakak lelakinya. Kecemburuan Rania terhadap kakak laki-lakinya membuat framing bahwa kedua orang tuanya tidak menyayanginya seperti mereka menyayangi kakak lelakinya. Setelah mengetahui fakta bahwa ia dan kembarannya yang juga perempuan pernah diserahkan untuk diadopsi, Rania semakin mencemburui kakak lelakinya.
Rania kemudian berusaha mencari keberadaan saudara perempuannya yang menghilang serta memiliki kedekatan secara metafisik, sebagaimana ikatan batin yang biasanya dimiliki antara ibu dan anak. Lain halnya dengan Rania, tidak jelas peran orangtua inti Valdya. Namun, tokoh ini memiliki rasa sayang demikian besar dengan kakak perempuannya.
Sosok kakak perempuannya menjelma ibu yang memunculkan memori indah dalam hidup Valdya. Alih-alih untuk move on dan melanjutkan hidup, Valdya mempertaruhkan nyawanya dalam bahaya demi mencari sosok kakak perempuannya. Dikatakan pula, Valdya dan kakaknya memiliki fitur fisik yang sama yaitu mata yang tajam sehingga membuat mereka mengembangkan bakat yang masing-masing membutuhkan fitur ini, yaitu Valdya yang seorang gemologist dan kakaknya yang seorang fotografer.
Secara keseluruhan, “Nightmares and Daydreams” menggali konflik-konflik psikoseksual yang berakar pada pemikiran Sigmund Freud, khususnya Kompleks Oedipal, yang menggambarkan kedekatan anak laki-laki dengan ibunya dan konflik yang muncul dari relasi tersebut. Konflik antara perempuan juga diangkat, seperti hubungan sulit Rania dengan keluarganya dan rasa bersalah Valdya atas hilangnya kakak perempuannya.
Hubungan ini, meskipun tidak selalu eksplisit, memberikan implikasi signifikan terhadap perkembangan karakter dan jalan cerita. Tema ini dieksplorasi melalui berbagai karakter dan cerita, memperlihatkan bagaimana peran orang tua mempengaruhi perkembangan individu hingga dewasa. Serial ini menunjukkan keberhasilan Joko Anwar dalam mengeksplorasi genre baru dengan tetap mempertahankan kedalaman tema yang kompleks dan relevan.
—
Windy Shelia Azhar merupakan penulis berdarah Melayu Bangka yang saat ini bermukim di Bali. Ia pernah berkuliah di jurusan Sastra Inggris lalu menempuh pendidikan Ilmu Komunikasi. Cerpen dan esai yang ia tulis berkutat dengan isu gender, lingkungan, dan kebahasaan telah tersebar di berbagai medium. Jalin korespondensi dengannya via pos el: tuliswindy@gmail.com atau baca tulisannya di medium.com/@windyazha
Maaf kak windy, izin mengoreksi bahwa sebetulnya karya pertama Joko Anwar kategori Sci-fi bukanlah serial ini kak, tetapi ada yang lebih terdahulu yaitu, Gundala. walapun ini adalah adaptasi dari komik, tapi ini rasanya layak menjadi kategorik atas hasil garapannya, dan saya ingin mengatakan walaupun Gundala kaka sebut sebagai action hero tetapi unsur ceritanya sangat erat pada sci-fi.
(dibalas langsung oleh penulis), pandangan umumku secara pribadi memandang Gundala sebatas action hero. Terlepas dari detail kecil ini, esensi ulasan film ini ingin membahas dari sudut pandang psikoanalisis. Di luar hal tadi, aku secara subjektif tidak terlalu menyukai film Gundala, sehingga tidak memberikan kredit karya tersebut sebagai sci-fi garapan Joko Anwar yang diperhitungkan. Terima kasih ya, atas ruang diskusinya.
baik kak, terimakasih kembali