Catatan atas Folktarium Muria: Pameran Residensi Tapangeli 2025 dalam Bagian Tiga [Selesai]
Yogya, setelah dari Kudus, 26 April 2025
Setelah sampai di kotamu dan rehat beberapa waktu, kau mulai merapikan catatan-catatan yang kau buat atas dan untuk peristiwa yang kau dapati di Folktarium Muria: Pameran Residensi Tapangeli. Andai kau ditanya tentang bagaimana impresimu di sana, maka kau jelas bisa lekas bercerita, bahkan mungkin bisa amat panjangnya, meski hanya menjalani dua hari satu malam. Akan tetapi, ketika ditanyai tentang soalan berbasis karya site spesific, rupa atau performa, kau termasuk cukup betah pada soalan narasi dan puitika-dramaturgi; dan kau curiga pendidikanmu di sastra cukup jelas mempengaruhi. Bagimu, sebuah karya atau seri karya, rupaan dalam hal ini, mengandung narasi dan juga aturan mainnya sendiri; dan bahwa ruang, tempat menempel karya, punya narasi dan aturan mainnya sendiri. Amatlah kau paham, bahwa galeri, kubus putih itu, tidaklah bersih daripada narasi atau aturan main; tetapi masihlah cukup bisa disepakati bahwa galeri adalah ruang bersih. Akanlah lain ketika ruang yang dimaksud adalah taman kota, atau tepi jalan raya, atau depan gedung ternama. Ruang publik memiliki narasinya sendiri, dan tentu juga dramaturginya. Bahkan, rumah yang amat intim pun, bagimu, memiliki narasi dan dramaturgi tersendiri. Karenanya, saat menaruh karya, rupaan dalam hal ini, sebenarnya terjalin suatu rangkaian reaksi, kemungkinan reaksi.
Apabila kasusnya rumah, hunaian, umumnya sebuah lukisan, patung atau karya seni diletakkan di ruang tamu atau ruang keluarga. Amatlah janggal, lukisan, ambillah lukisan pemandangan sebagai contoh, diletakkan di dapur. Lukisan yang memiliki narasi tertentu diletakkan pada dapur yang memiliki narasi tertentu, dan keduanya memiliki dramaturgi aturan main masing-masing, puitikanya masing-masing. Apa hal itu salah? Bagimu, hal menariknya malah ada di sana. Apa karya menunjang narasi dari ruang, menolak, setuju beberapa dan menolak lainnya, atau medan dialog yang tak ada hentinya. Dan tentu pula, bagimu, soalan itu belum menimbang kenyataan narasi dan dramaturgi yang melekat dan menubuh pada si penonton yang menyaksi dan mengalami. Dan demikianlah yang kau pikirkan, serta jadi pertimbangan.
Sebagai contoh yang lain, ketika kau ditanya, kau akan mengambil contoh karya dari Matrahita yang bercorak demikian dan diletakkan di garasi yang lumrahnya untuk menyimpan kendaraan atau barang-barang yang belum ingin dibuang tapi samar untuk diletakkan di ruangan umum rumah; atau karya Feri yang bergerak antara lebih kuat di galeri atau memang pas di taman itu, meski Feri menimbang dengan pijakan luar ruangan. Hal yang demikian belumlah menimbang kenyataan bagaimana si penonton menonton dan mengalami. Dan bagimu, ketidakajegan itu, kalaulah boleh disebut ketidakajegan, bisa menjadi kekuatan dan kelemahan; menjadi mendua. Dan kau cenderung pada bahwa ketidakajegan adalah medan permainan; dan membuka ruang tafsir yang luas: membuka ruang tafsir yang mana fluktuatif. Dan ketika menimbang dari sudut pandang si seniman, terlebih yang melakukan kerja residensi, pertarungannya bukanlah hanya menimbang karya tetapi juga bagaimana karya itu akan ditempatkan dan dipandang.
Karenanya, jika punya waktu lebih panjang, kau senang-senang saja berada di sana lebih lama. Betapa, akanlah lain rasanya, bahkan mungkin di wilayah makna, kalau bolehlah begitu dikata, melihat karya di kala malam dan siang. Bagaimana karya Febri kala malam, bagaimana karya Fitri ketika hujan turun deras, atau bagimana bunyi noise dari karya A.O.D.H ketika jalanan di depan ruko itu macet kala hujan turun dengan deras? Serangkaian kemungkinan tadi menjadi asik, menarik, dan pelik kala mau ditimbang oleh si seniman; juga kala seniman atau bahkan penyelenggara menimbang bagaimana dan oleh siapa karya itu dipandang. Dan karenanya, kau jadi menimbang berulang: Bagaimanakah bila tak ada tur dan penjelasan dari pemandu, apakah karya-karya hasil residensi tadi sungguh bisa berbunyi atau menarik masa untuk menyaksi sendiri? Tentu, kau paham, tur adalah siasat; dan bagimu, baik mengalami langsung, maupun melihat linimasa dan antusiasme, hal demikian sudahlah bisa dikata berhasil… Ada banyak massa datang, dengan kesadaran menonton, dan melakukan serangkaian kegiatan.
Selain relasi antara karya dan ruang, juga penonton, betapa relasi antarkarya serta bagaimana karya itu dihadirkan dalam nalar alur menjadi penting ketika menimbang konsep site spesific—untuk ditimbang kembali oleh si seniman, kurator, artistik, bahkan penyelenggara. Kau bisa mengambil contoh karya yang ada di sekitaran panggung utama. Betapa tiga karya tadi, juga hal-hal lain di sana, akanlah memberi suatu pemaknaan baru. Ketika ada tahlilan dari karya Lembana, dan seorang masuk dari jalan di antara karya Umar Farq, dan ada acara memasak di karya Jaladara Collective, bukankah ada semacam pemaknaan baru yang muncul? Dan ketika seluruh komponen dapat diajak berunding-bekerja sama, bagimu, akanlah memunculkan suatu atmosfer pemaknaan yang lebih. Sebab tentu terbuka pula kemungkinan, yang mana bisa tak disengaja, bahwa dengan jarak kedekatan antara karya A dengan B malah melemahkan masing-masing karya—yang ketika berdiri sendiri-sendiri begitu kuat. Demikian juga, pikirmu, kala menyoal perkara alur perjalanan. Sebab itu, kau membayangkan kerja kurator dan artistik juga penyelenggara bukanlah hanya memberi ruang yang pas, tetapi juga alur dan emosi dramatik yang pas. Amatlah mungkin, dan memanglah mungkin, ketika kau timbang, jika susunan perjalanannya diubah akan lain lagi ruang pemaknaan dan penerimaan. Dan kau berani berkata, bahkan membukti, sebab kau menjalani dua tur di petang-malam dan pagi-siang, dengan alur perjalanan yang lain, dengan rombongan yang lain pula, bahwa pemaknaan dan penerimaan juga dipengaruhi karya mana dulu yang dipandang dan dilalui, serta relasi antar karya tadi…
Dan, sambil merapikan catatan juga meningat-ingat kejadian, kau tetap betah menaruh curiga pada dirimu sendiri; sebab kau meyakini, siapa yang memandang dan bagaimana dia memang akan juga mempengaruhi pemaknaan dan penangkapan. Akan tetapi, kemudian, dengan tetap menjaga curiga itu, kau malah jadi tergoda untuk bertanya: Pameran dan serangkaian acara itu sebenarnya untuk siapa? Bagimu, dengan menimbang tulisan dan pernyataan kurator maupun penyelenggara, amat lekas kau bisa menjawab itu tanda tentang untuk apa peristiwa pameran itu berlangsung. Sederhananya ialah mencapai Folktarium Muria; dan serangkaian hal yang membersamai. Akan tetapi, ketika pertanyaannya adalah untuk siapa, kau menemu suatu yang menarik, dan pelik. Ketika serangkaian hal tadi diperuntukkan bagi warga Muria secara khusus, dan umumnya siapa pun yang mau turut serta, ada suatu hal yang mesti dijembatani kembali. Ambillah tujuan Folktarium Muria tercapai, sebagai arsip legenda, cerita, dan serangkaianya, dan ditujukan bagi warga Muria, masihlah ada jembatan yang harus dimunculkan pikirmu: Bagaimana arsip atau serangkaian hal tadi dibaca atau dibunyikan! Yang mana berarti, ketika kau timbang-timbang, PR-nya bukan hanya mendata-menjaga, atau bahkan memunculkan, tapi juga menyiapkan bagaimana semua tadi dibaca-dibunyikan, bagaimana semua tadi dihidupi. Dengan begitu, bagimu, semangatnya bukanlah nguri-uri, tapi ngurip-uripi, bahkan melangkah lebih jauh lagi.
Meski begitu, kau merasa senang; kunjungan pertamamu ke Kudus, melalui Piji Wetan, dan rangkaiannya, begitu membekas. Dan secara pribadi, kau cukup bisa berkata, pameran hasil Residensi Tapangeli tadi, sebagai impresi pertamamu menyentuh dan bersentuhan dengan Kudus, dengan Muria, telah berhasil membawamu untuk ingin dan mengupayakan bisa datang dan berkunjung kembali. Dan kau membayang, sembari menyudahi catatan awalmu, bahwa kerja seni Mbah Sunan mungkin memang membuat rasa betah dan menumbuhkan keinginan untuk datang lagi, sebelum memasukkan arti. Atau malah mungkin, arti tadi sudahlah masuk melalui rasa betah dan keinginan untuk datang lagi; sebab rasa betah senantiasa menjaga soal keterhubungan. []
(April—Mei, 2025)
Dokumentasi Foto & Penulis: Polanco S. Achri lahir dan tinggal di Yogyakarta. Ia adalah penulis puisi, cerita, dan esai-esai tentang sastra, teater, dan seni rupa. Selain menulis, dan mengulas, terkadang, ia juga jadi kurator pameran, konsultan pertunjukan, dan produser film dokumenter kecil-kecilan. Kini, ia tengah merampungkan studi lanjutan sastra. Ia bisa dihubungi di Instagram: polanco_achri