Perihal Luka dan Ramalan: Menyaksikan “Pengepungan di Bukit Duri”
Kata pertama yang terbersit di kepala saya ketika film garapan Joko Anwar bertajuk “Pengepungan di Bukit Duri” diputar adalah ‘Ironi’. Betapa scene diawali dengan lantunan lagu “Pagiku Cerahku” yang terdengar lamat-lamat diiringi kisah cinta anak sekolahan, dan dalam sepersekian detik segera berubah menjadi kerusuhan besar yang memacu jantung.
Transisi nuansa peristiwa yang semula hangat menjadi gigil mengerikan tentunya bukan kali pertama dilakukan oleh Joko Anwar. Teknik tersebut juga digunakan pada film “Siksa Kubur” yang ditayangkan 2024 silam. Bedanya adalah ledakan pada film “Siksa Kubur” yang menjadi ujung dari transisi suasana tersebut berlangsung secara literal sejak awal cerita—alih-alih hanya metaforis. Meski tetap terdapat persamaan eksplorasi tema di antara keduanya, yakni mengenai trauma sejarah dan gelar-lebar permasalahan yang berlangsung di dalam negeri ini.
Dengan menjadikan peristiwa Mei 1998 sebagai landasan referensial, film ini seakan mewariskan sebuah trauma, sekaligus penglihatan masa depan akan sesuatu yang telah dan mungkin terjadi pada negeri. Sebagai seorang ‘pribumi’ yang bahkan belum lahir ketika kerusuhan terjadi, saya hanya mengetahui sekelumit informasi mengenai peristiwa tersebut melalui internet; baik lewat arsip pemberitaan, sosial media, atau karya-karya sastra. Namun, menyaksikannya divisualkan dalam bentuk film rupa-rupanya cukup memberikan efek traumatis.
Di dalam film, peristiwa Mei 1998 tidak disebutkan secara apa adanya, melainkan di-fiksi-kan menjadi tahun 2009. Sedangkan masa kini dalam film tidak benar-benar berlangsung saat ini—yang berarti tahun 2025 ketika film ditayangkan. Melainkan berlatar tahun 2027 dimana Indonesia dikisahkan telah berubah menjadi distopia dengan isu rasisme yang menjalar sangat kuat di kehidupan sehari-hari.
Banyak sekali indikator yang kemudian dimunculkan Joko Anwar sebagai musabab dari terjadinya kekacauan di negara “Indonesia 2027” buatannya. Mulai dari kebencian berlebih yang muncul antar ras, konflik antar umat beragama, tingginya tingkat kriminalitas dan kemiskinan, juga rendahnya tingkat pendidikan. Sehingga tidak heran kalau beragam jenis kata umpatan—baik dalam bahasa Indonesia atau sesekali Tionghoa— terus terdengar di sepanjang film berdurasi 118 menit tersebut.
Di dalam film, indikator-indikator tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkelindan. Hal ini nampak misalnya, pada makian “Babi!” yang disematkan kepada orang-orang Tionghoa. Tentu pemilihan jenis binatang tersebut dapat diasumsikan muncul dari kebencian kolektif terhadap seekor binatang yang dianggap haram dan paling menjijikkan, yang beririsan juga dengan cara pemeluk agama tertentu memahami ajaran agamanya. Hal ini berarti kebencian antar ras dalam film “Pengepungan di Bukit Duri” beriringan dengan ketegangan antar pemeluk agama pula.
Contoh lain bisa diambil dari kondisi memprihatinkan “SMA Duri” yang menjadi latar belakang terbesar film ini. Protagonis bernama Edwin (yang namanya kerap terlupa di kepala saya karena seringnya ia dimaki “Babi!”) itulah yang nampak paling merasakan dampak tingginya kriminalitas dan rendahnya tingkat pendidikan. Lelaki yang memiliki tujuan melaksanakan wasiat terakhir mendiang kakaknya untuk mencari keponakan yang hilang mesti berhadapan dengan Jefri, seorang siswa berandal dengan mental paling tak stabil. Ia terpaksa mengajar di sekolah yang memiliki interior bak penjara dengan tembok berduri sebagai pagarnya.
Ada satu penggambaran yang menarik mengenai seberapa dalam kerusakan mental yang dialami oleh antagonis utama dalam film ini. Edwin yang menjadi wali kelas sekaligus guru seni, memerintah semua murid untuk menggambar hal menarik yang mereka lihat pagi itu. Jefri menolak dengan alasan tak ada yang menarik perhatiannya, baik pagi itu, kemarinnya, atau dua hari sebelumnya. Lanskap tersebut tentu segera mengingatkan saya dengan salah satu cerpen pilihan kompas buatan Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Pelajaran Mengarang”. Ketidakmampuan tokoh dalam menggambarkan sesuatu—seremeh apapun itu—memberikan asumsi betapa kepalanya telah sesak dengan masalah-masalah.
Sebagai salah satu penyintas ‘Kerusuhan 2009’, Edwin cukup keras dalam menjalani kehidupan. Sehingga untuk menghadapi murid-murid berandal yang diajarnya di SMA Duri, dia memperlihatkan persona sebagai seorang pengajar kuat yang tak takut kepada murid. Kuat tekadnya tergambar pada salah satu dialognya yang dimunculkan pula di dalam trailer: “Kamu sama kayak guru yang lain, takut sama muridnya.”
Beberapa kali, bahkan dirinya melancarkan serangan mental berupa ucapan-ucapan tajam. Namun, masalah menjadi runyam ketika celetukan satirnya tepat sasaran. Ketersinggungan para murid—khususnya Jefri—akan kompleksitas buruknya keadaan mereka, seakan memberikan alasan kuat untuk membalas ucapan Edwin dengan kekejaman fisik.
Joko Anwar cukup lihai dalam mempertahankan ketegangan di sepanjang film. Sehingga kita seakan tidak diberikan ruang untuk menikmati sinematografi film yang sebenarnya cukup memukau. Apalagi, penentuan latar waktu yang hanya berjarak dua tahun dari rilis film memberikan efek mencekam yang dahsyat. Selalu ada ketakutan menggerayangi ketika kekejaman dalam film meningkat intensitasnya. Kekacauan-kekacauan dalam negeri yang terjadi akhir-akhir ini dan banyak diberitakan seakan menjadi momok, jikalau kekacauan dalam film bisa benar-benar mewujud pada kenyataan jikalau tak ada langkah konkret yang kita lakukan untuk memitigasinya.
Ketika menyaksikan “Pengepungan di Bukit Duri”, saya jadi sedikit bisa membayangkan bagaimana perasaan orang-orang Inggris ketika membaca “1984” karangan George Orwell sejak tahun 1949. Lantas dipaksa menunggu dengan cemas kedatangan hari depan sembari—barangkali—berdoa:
“Semoga yang fiksi tetap menjadi fiksi, Tuhan.”
Penulis: Dhimas Bima Shofyanto Lahir di Jombang, 12 November 2002. Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bergiat di Jejak Imaji. Menulis prosa dan Puisi. Instagram : @dhimasbimash
Sumber Foto: Pinterest