Minum Jus Puisi

Judul: Jus Puisi
Penulis: Noor H. Dee
Tebal: 32 halaman
Ukuran: 21×21
Penerbit: Noura Kids
Tahun: 2023
ISBN: 978-623-8094-0-7-3
Harga: Rp54.000

Mula-mula dalam pikiran saya, buku anak adalah buku cerita untuk anak. Buku yang berisi cerita (sesuai dengan jenjangnya) dan ilustrasi. Buku-buku semacam itulah yang sejauh ini saya miliki. Kenapa? Utamanya karena buku itulah yang mudah ditemui di lokapasar. Bahkan, bisa dibilang tanpa mencari pun, buku cerita anak tersedia begitu saja dengan cukup melimpah.

Namun, pikiran tersebut berubah ketika Jus Puisi diterbitkan di dunia ini. Saya langsung tertarik membelikan untuk anak saya, Rumbia dan Kal. Di antara buku-buku cerita, Jus Puisi adalah jadi buku puisi pertama yang kami miliki. Berbeda dengan buku cerita anak, buku puisi anak sulit ditemukan. Bukan berarti tidak ada. Namun, saya berharap semoga itu hanya terjadi pada saya.

Jus Puisi ibarat oasis. Ia datang di tengah dahaga. Tidak hanya Rumbia dan Kal, tapi saya juga bisa meminumnya. Ia jadi jeda di antara cerita dan cerita, nasihat dan nasihat. Buku terbitan Noura Kids ini berisi 15 puisi. Penulisnya, Noor H. Dee, dibantu Cecilia Hidayat untuk menggambari bukunya.

Namun, ketika membacakannya untuk Rumbia, beberapa puisi “mengusik” saya sebagai pembaca dewasa yang sekaligus orang tua. Bagaimana tidak? Coba baca kutipan puisi berikut.

Aku Tak Ingin Tidur

Aku tak ingin tidur,
tak ingin naik ke kasur.
Aku ingin main sepeda,
atau meluncur dengan sepatu roda,
atau melompat ke sana kemari
seperti kelinci

Tapi, Ayah datang menegur.
“Nak, kamu harus tidur.”

…..

Bukan maksud hati melarang anak-anak bermain, melainkan kalau sudah waktunya tidur, ya, tidur dong. Besok masih bisa dilanjut mainnya, kan? Namun, dasar anak-anak, dalam penutup puisi tersebut mereka tetap bermain, tapi di dalam mimpi. Sebuah penutup yang cerdas saya kira.

Dalam keseharian, saya sudah sedikit-sedikit minta tolong pada Rumbia dan Kal. Untuk usia empat tahun dan dua tahun, mereka sudah saya anggap paham. Saya minta ambilkan ini itu, memijat, atau menggusah ayam yang berkeliaran di teras. Mereka mau, kadang juga menolak. Bahkan saya sudah punya rencana untuk minta tolong pada mereka untuk keperluan yang lebih kompleks. Tujuannya semata untuk melatih keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Itu saja. Namun, bagaimana jadinya jika saya membacakan puisi berikut.

Disuruh-suruh

Saat aku nonton tivi,
Ibu datang menyuruhku.
Beli sabun, pasta gigi,
telur, dan tepung terigu.

Aku bilang nanti dulu.
Ibu tetap memaksaku.
Acaranya lagi seru.
Ibu tidak mau tahu.

….

Setelah mendengar itu, mereka mungkin akan bilang, “Nah, tuh, Yah.” Rencana saya pun bisa gagal.

Saya sering kewalahan menjawab pertanyaan anak-anak. Mereka bisa bertanya apa saja, bahkan untuk hal yang bagi saya sudah biasa saja, sudah hadir dengan begitu di dunia ini. Mereka bertanya, kenapa hujan? Kenapa kok gelap? Kenapa ayah puasa? Kenapa ada pintu? Kenapa kita makan? Kenapa adik lucu? Dan kenapa-kenapa yang lain. Saya berusaha keras menjawab pertanyaan itu. Sebagian terjawab, sebagian saya alihkan. Maka, saya seolah tidak siap bila harus membacakan puisi berjudul “Mengapa” di bawah ini.

Mengapa laut tak pernah penuh?
Mengapa langit tak pernah jatuh?
Mengapa gajah tak bisa melompat?
Mengapa jerapah tak bisa memanjat?
Mengapa api bisa membakar?
Mengapa singa memiliki cakar?
Mengapa kita memiliki kuku?
….

Puisi di atas diakhiri dengan Mengapa kamu diam saja?/ Hei, beri tahu aku jawabannya. Sepertinya saya harus pura-pura pingsan atau pergi karena ada urusan.

Setiap akhir pekan saya berupaya untuk olahraga. Pilihan yang masih memungkinkan adalah lari/jogging. Kadang saya sendiri, kadang mengajak anak-anak. Saya ingin memberi contoh bahwa orang tuanya peduli pada kesehatan.

Dalam situasi tersebut, Noor H. Dee melahirkan puisi “Lari Pagi Bersama Ayah”. Puisi tersebut bercerita seorang ayah sudah berjanji mengajak anaknya lari pagi. Anaknya sudah siap, sudah pakai sepatu, dan pemanasan. Ayahnya bilang, olahraga nomor satu. Jangan malas, nanti tubuh jadi lemas. Tapi, ayah di mana tidak tahu. Ternyata …

Ya ampun, Ayah masih tidur!
Masih peluk guling di atas kasur

Ayah. Ayah, ayo bangun!
Cuci muka pakai sabun.

Katanya olahraga nomor satu,
kok masih tidur begitu?


Ayah itu adalah saya.

Sekali lagi, beberapa puisi tersebut “mengusik” dan membuat saya kikuk ketika membacakannya di hadapan anak-anak. Puisi lain yang senada adalah “Jangan Bilang Siapa-Siapa”. Seorang anak ingin bercerita pada temannya, tapi harus menjaga rahasia. Dia tidak suka sekolah/ Belajar membuat lelah/ Sering mengantuk di kelas./ Mau tidur takut pulas. Dia juga ingin temannya tahu bahwa, Aku tidak suka sayur./ Kalau ibu paksa aku,/ Aku lebih pilih kabur.

Jus Puisi dengan begitu punya dua rasa. Di hadapan anak-anak rasanya adalah “afirmasi”, sedangkan untuk orang dewasa/tua rasanya adalah “menelanjangi”. Dan mau tak mau saya mesti meminumnya karena tetap menyegarkan.

Penulis: R. Ari Nugroho, bekerja sebagai editor di Jejak Pustaka dan pengajar di Atap Bahasa.

Check Also

Cerita Pendek – Gagak Rimang dan Tuannya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *