Sudah genap dua pekan dirimu berjarak dengan pertunjukan dari Kolektif Sudah Pekak Sakit Lagi yang berjudul 40 Hari setelah Kematian Bapak; pertunjukan kedua pada hari pertama rangkaian Festival Minikita. Dan meskipun sudah berjarak dua pekan, berjarak setengah bulan kurang sehari bisa dikatakan, tetapi serangkaian perasaan campur aduk di dada dan limpahan fragmen pikiran dalam kepala masih betah berdiam. Malam itu, sebenarnya, kau cukup samar untuk memutuskan: hendak pulang atau lanjut menyaksikan pertunjukan. Akan tetapi, karena serangkaian soal, kau memutuskan menonton; dan ketika menimbang dengan yang kemudian, sama sekali tak kau sesali pilihan yang demikian. Adapun, setelah membeli tiket, kau masuk; duduk di barisan tengah depan. Saat itu, kau merasa tak terlampau nyaman, sebab duduk paling depan dan tengah; meski, sekali lagi, dengan berjalannya pertunjukan, tempat duduk itu mesti kau disyukuri.
Malam itu, setelah pertunjukan genap dimulai, kau duduk dengan sedikit terhalang tangga lipat yang jadi pijakan aktor yang tengah memegang proyektor: proyektor yang mengeluarkan arsip kenangan masa silam. Dan sebab itu, kau merasa menyaksikan rangkaian kenangan dari celah antar-anaktangga, menyaksikan kenangan dari bingkai beraroma besi dan debu. Di depannya, ada dua aktor yang memegang kain: kain yang menjelma layar bagi cahaya proyeksi. Sesekali, sepasang matamu tercuri pada piano di panggung atas. Musik, yang keluar dari pengeras suara, memberi sepasang telingamu magis. Lantas, seorang aktor berpakaian kuning dan bertopi ronce kembang melati menabur kembang di atas kain yang telah menjelma layar. Kenangan pun jadi beraroma kembang! Kain ditutup; video telah rampung, dan kenangan pun disimpan bersama kembang-kembang. Dua aktor itu pergi, bergeser; dan aktor di atas tangga pun turun: menutup cahaya proyektor, memindah posisi tangga ke samping, lantas menjadikannya kembali pijakan, dan dudukan bagi proyektor.
Proyektor kembali dinyata, kembali memunculkan kenangan masa silam: gambar masa kanak. Dua aktor yang tadi memegang kain menjelma peraga. Seorang aktor berkostum putih dengan sepatu but serupa perahu kertas masuk: memberi instruksi dengan narasi—yang mana menjelma sugesti dramaturgi. Setelahnya, beberapa aktor memberikan bola-bola, dengan balutan perekat, kepada penonton. Lantas, masuk aktor dengan kostum yang dirancang sedemikian rupa, seperti seekor burung. Dan setelah serangkaian narasi-sugesti dari aktor bersepatu perahu kertas, aktor berkostum burung pun terus-menerus mengepak sayap, mengepak sayap . . . Kemudian, setelah suatu instruksi, bola-bola pun dilemparkan; dan tertempel pada kostum aktor itu, pada tubuh aktor itu—juga lantai arena pertunjukan! Monolog liris pun terucap dan bergema, sambil tetap dikepak-kepakkannya sayap; dan betapa kau begitu terkesima. Kostum itu dibuka, hingga dada, dan tampaklah burung walet kertas. Burung itu dimainkan sedemikian rupa, kemudian dibuat terbang-melayang, lantas dilepas dari tangan. Lalu, ia pun menepi kembali—
Dua orang aktor pun masuk lagi: membawa kursi lipat dan baskom berisi air hangat. Mereka memasukkan dua penonton untuk turut bermain. Satu jadi bapak dan yang lain jadi anak. Dua aktor itu membimbing dialog dan adegan: adegan si anak yang menyeka-pijat kaki sang bapak; dialog sang bapak yang berkisah tentang benjolan di kakinya, tentang kisah silam yang ternyata sudah dikisahkan berulang-ulang. Si anak terkikuk mengiyakan, dan memberi balasan. Dan kekikukan serta canggung itu, di sepasang matamu, jadi terlampau natural: karena meski karib, ada relasi kikuk tertentu antara bapak dan anak. Sepasang matamu berkaca; dan tersebab takut bercampur harap, bibirmu tanpa sadar memanjat sejenis doa. Adegan itu rampung; tetapi masih bergema, di kepala dan dada. Kursi lipat dan baskom berisi air hangat masih di sana, masih di atas area pertunjukan; dan seorang aktor masuk kembali dengan sebuah senter dan kapal otok-otok. Dinyalakannya kapal otok-otok itu di baskom; dan disorotkannya terang senter ke sana. Kepalamu, juga dadamu, terkagum dan terpesona. Puisi, ucapmu lirih. Gema suara dari kapal otok-otok begitu kentara, menggema di ruang pertunjukan. Tak ada dialog ataupun monolog; hanya suara dari otok-otok. Aktor itu mengeluarkan sejenis wayang burung walet sederhana, walet yang sama seperti yang ada di dada aktor berkostum burung itu. Ia menyorotnya dengan senter, dan membuat bayang di dinding ruang; lantas memutar bayang keempat sisi ruangan. Ah, seperti logo Batman, tetapi lebih liris dan lembut, lebih nostalgia dan membawa kabut . . .
Aktor berpakaian kuning kembali masuk, naik ke atas panggung: menikmati permen kaki biru, sejumlah tiga biji; dan menyimak radio yang memutar kenangan masa silam. Otok-otok masih terdengar, sebelum akhirnya dipadamkan dengan ditenggelamkan; dan dua aktor masuk, untuk menggeser kursi lipat dan baskom berisi air hangat. Lalu, kau ingat, malam itu, aktor berpakaian kuning turun dan duduk di sisi penonton, turut menonton. Dua aktor di awal masuk lagi, setelah menepikan properti, sambil membawa meja dengan instalasi yang merepresentasikan sebuah rumah sederhana: dengan penghuni-penghuni berupa boneka plastisin bermacam warna. Aktor lain masuk, membawa dua penonton menjadi partisipan: menggerakkan boneka plastisin dalam komposisi dan koreografi perpisahan. Suara telepon berdering; dan para penonton bergumam, sebab merasa seperti gangguan pertunjukan. Ah, itu bagian dramaturgi! Penonton yang duduk di sebelahmu diminta berperan oleh aktor yang berpakaian kuning tadi; beradegan dengan salah satu aktor lain: memainkan puitika panggilan-video. Ah, percakapan itu dekat dan ngeri; dan seperti sebelumnya, bibirmu mengucap semacam doa-doa sederhana. Kekikukan dari penonton sebelahmu mempertegas peristiwa dan momen, yang juga memang betah pada kekikukan itu: Adegan di mana ada kabar duka—
Aktor di panggung depan kembali membawa kain hijau yang dihias dengan kertas-kertas berisi gambar masa kanak, dihias dengan lukisan dan coretan khas kanak. Para aktor, dan penonton yang diminta turut serta, berada dalam komposisi dan koreografi mengantar kepergian menuju perkuburan, menuju gerbang ke alam yang sulit dijelaskan kebahasaan. Dramaturgi kehilangan itu begitu liris di sepasang matamu. Adegan itu seperti gelombang yang mengisi seluruh ruang; dan membuatmu dihinggapi sejenis sesak. Iring-iringan itu berjalan ke tepi; tetapi kepalamu seperti diminta membayangkannya hingga menuju jauh, menuju jauh Sana. Lantas, piano pun dimainkan lirih, menghanyutkan; dan proyektor menunjukkan video perjalanan tanpa tokoh, hanya lanskap dan lanskap—dengan citra burung walet hitam yang menempel tepat di tengah kamera. Aktor perempuan berkostum seperti burung kembali masuk: mengucapkan monolog-monolog liris yang bergerak menuju tragis-dramatis: begitu menggema dan juga magis. Musik mencipta ketegangan, emosi terbimbing pada semacam puncak. Nada-nada aharmonis datang, dan terasa membawa pada ujung yang kian memuncak dan memuncak! Empat aktor menggelar kain hijau di adegan sebelumnya, tetapi dibalik dan tak memunculkan gambar masa kanak. Salah satu aktor menepi, dan masuk lagi dengan styrofoam bola-bola: menuangkannya ke atas kain sampai menggunung. Aktor perempuan bangkit dari duduk, berdiri dengan tegak membentang sepasang tangan, sepasang sayap; piano kian menggema, menggema; monolog memuncak; dan aktor itu terjun! Bola putih kecil tersebar, terhempas; dan sebab kau duduk di depan, kau dapati keterpukauan yang amat. Empat aktor di sudut kain mencipta gelombang. Sepasang matamu terbelalak; terlampau terpukau. Airmata…
Setelah pertunjukan itu malam rampung, setelah diskusi pasca-pertunjukan oleh Minikita, kau tak genap langsung pulang; dan memutuskan untuk duduk sejenak di depan ruang pertunjukan. Itu malam, bahkan setelah dua pekan, semacam efek pertunjukan masih terbawa. Pertunjukan itu, di hadapan dirimu, hadir sebagai sesuatu yang rapi; meski berfragmen-fragmen. Saat salah satu kawanmu bertanya, tentang apa yang kau rasa dan bagaimana pendapatmu, kau hanya bisa berkata seperti menyaksikan sejenis puisi, dan menyaksikan pertunjukan dari jenis corak yang mirip dengan cerita Danarto. Dan kini, ketika mengingat pernyataanmu itu malam, kau merasa aneh; tetapi belum pula menemukan yang cocok untuk sejenis rasa dan pikiran yang kau dapati. Dan setelah mencoba membuat catatan kecil-kecilan setelah pertunjukan, yang bagimu hanya berlimpah impresi pribadi, kau hanya tergoda untuk membayangkan, bagaimana jadinya ketika pertunjukan itu dipentaskan di luar ruangan . . .
Ah, amat kau ingat tanggapan-tanggapan dari para penonton yang turut diskusi, para penanggap yang cermat mengamati, dan sutradara yang membocorkan sejenis biografi: yang mana bagimu semua itu terasa berkisar pada pengalaman campur aduk yang sulit dijelaskan. Dan kau hanya bisa menimbang saat itu dan kini, bahwa semua itu, seperti masuk ke dalam mimpi yang kadar nyatanya lebih kuat, tetapi malah menjelma sejenis metafora. Setelah catatanmu rampung, kau keluar ruang kerjamu; dan melihat ruang tamu, melihat bapak-ibumu menyaksikan acara tivi yang sehari-hari: tetapi memberi sejenis secuil penghiburan. Akan tetapi, kau merasa dihinggapi perasaan syukur yang ganjil, dan tak genap hendak kau tolak. Kau berkata pada mereka, hendak ke dapur, membuat kopi; tetapi kau malah ke halaman belakang lebih dulu: menyaksikan burung-burung Throthokan yang suka hinggap di pohon rambutan.
(Yogyakarta, September—Oktober 2024)
Penulis: Polanco S. Achri lahir di Yogyakarta, Juli 1998. Ia adalah penulis puisi, prosa-fiksi, dan esai-esai tentang sastra dan seni. Ia tergabung di Komunitas Utusan Negeri Dongeng sebagai penulis naskah dan penata artistik. Selain menulis, untuk keperluan pertunjukan dan pameran, ia juga mengelola Pendjadjaboekoe dan Majalah Astro. Kini, ia tengah menempuh studi sastra lanjut di kampus utara Yogya. Ia dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.