
Judul: Di Mana Kuenya?
Penulis: Thé Tjong-Khing
Penerbit: Yayasan Cita Cerita Anak
Tahun: 2024
Dimensi: 25.29 x 29.38 cm
Halaman: 28
ISBN: 978-623-10-1608-9
Harga: Rp155.000,-
Buku itu sudah cukup lama tersegel dan tertahan di rak paling atas. Saya sengaja menahan untuk tidak segera membuka dan menunjukkannya pada Rumbia dan Kal. Saya khawatir, bagaimana saya harus menceritakan sebuah buku yang tidak ada ceritanya. Buku itu hanya terdiri dari gambar dan gambar, tanpa kata. Namun, keadaan itulah yang justru jadi alasan saya membeli buku tersebut.
Pada akhirnya, buku itu juga terbuka setelah tidak ada buku baru yang dibacakan lagi pada Rumbia dan Kal. Saya dibantu Rumbia membuka segelnya. Kami pun bersama-sama membaca. Saya tanpa persiapan. Saya membiarkan diri masuk dalam gambar dan merespons setiap pertanyaan Rumbia secara spontan saja. Rumbia anteng mengamati, saya juga demikian. Bedanya, saya dengan cukup sadar merasakan buku ini memang keren. Saya coba mencari afirmasi pada Rumbia: “Bagus, ya, Mbak Rum, bukunya?”
Tidak heran, buku ini mendapat penghargaan Woutertje Pieterse Prijs dan Zilveren Penseel. Kedua penghargaan tersebut penting bagi para penulis dan ilustrator buku anak di Belanda. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk apresiasi atas karya-karya mereka yang berkualitas dan berkontribusi pada perkembangan sastra anak di Belanda.
Sejak bagian sampul, Di Mana Kuenya? sudah mulai bercerita. Sejauh buku yang kami miliki, buku inilah yang berbeda. Sampul buku-buku lain mengambil ilustrasi di bagian tertentu dari cerita atau simbol dan objek utama dari cerita. Misal, ada sampul berilustrasi tangkasi membawa baju raksasa (dalam Tangkasi Mini dan Baju Raksasa), seorang anak laki-laki yang sedang duduk dengan kucing kesayangannya (dalam Kucingku, Kuzy), anak kecil membawa tongkat di dalam toko alat sihir (dalam Sihir Otir), dan lain-lain. Sampul semacam itu kadang-kadang seolah menjadi bagian “kesimpulan”. Sementara itu, saya bisa bercerita pada Rumbia mulai dari sampul Di Mana Kuenya? Sampul, dengan demikian, adalah bagian dari cerita itu sendiri.
Di sampul itu ada Tuan Anjing yang sedang menggaru tanah, sementara Nyonya Anjing berada di dalam rumah, melongok lewat jendela. Di halaman, ada sebuah meja dan di atasnya ada kue. Tidak jauh dari situ, ada dua ekor tikus yang sedang bersembunyi di balik pohon. Mereka mengintip, mengendap-endap, mengincar kue itu.
Ilustrasi itu tidak langsung saya pahami saat pertama kali membaca. Begitu pula bagian-bagian setelahnya. Di dalamnya terdapat “berbagai” cerita. Ada banyak tokoh–selain Nyonya Anjing dan Tuang Anjing yang mengejar dua tikus pencuri–yang mempunyai cerita dan alur sendiri. Ada katak yang bermain bola, anak kelinci yang menangis, segerombolan monyet, dan masih banyak lagi. Makin dibaca, makin seru. Di situlah keasyikan membaca buku ini.
Awalnya, saya merasa dan bertanya-tanya, kenapa, ya, begitu banyak tokoh dan cerita dalam satu buku. Bukankah itu berpotensi membingungkan, terutama untuk anak-anak. Namun, setelah saya suntuki, justru itulah keistimewaan buku ini berikutnya. Bagaimana bisa buku dari penulis kelahiran Purworejo tersebut menampilkan beberapa tokoh dan ceritanya sekaligus tanpa menimbulkan keterpisahan? Cerita-ceritanya justru bergerak paralel hingga bertemu bersama di puncak menjadi harmoni.
Saya jadi teringat dengan sebuah unggahan dari Noor H. Dee di Instagramnya. Ia mengatakan bahwa cerita anak di Indonesia kebanyakan diselamatkan oleh ilustrasi. Ia bahkan mengatakan kualitas ilustrasi kita berani diadu dengan ilustrasi luar. Namun, dalam urusan membuat cerita, baginya sebagian besar kita masih payah.
Meski dalam konteks jenis buku yang berbeda–sehingga mungkin tak sebanding, kehadiran buku Thé Tjong-Khing memberi ruang eksplorasi terhadap ilustrasi tanpa “terbebani” oleh kata-kata atau cerita. Di Mana Kuenya? bergerak bebas di kepala setiap pembaca dan memicu kreativitas pencerita. Karena itu, buku ini juga bisa menjadi sedikit gangguan pada para pencinta buku anak yang menganggap bahwa cerita (kata-kata) adalah raja.
Penulis: R. Ari Nugroho