–
Yogyakarta dikenal dengan gerakan-gerakan kesusastraan yang masif. Banyak sastrawan besar Indonesia lahir dari rahim komunitas-komunitas sastra yang berada di Yogyakarta, seperti Umbu Landu Parangi, W.S. Rendra, Emha Ainun Nadjib, dan masih banyak lagi.
Pada acara Langgeng: Perayaan 1 Dekade Jejak Imaji, sebuah diskusi digelar bertajuk “Komunitas: Geliat Komunitas Sastra di Yogyakarta, Dulu & Kini” diadakan oleh Jejak Imaji pada Minggu, 21 Juli 2024. Diskusi yang diadakan pada sore hari di Sekretariat Jejak Imaji tersebut mengundang dua sastrawan, yaitu Asef Saeful Anwar dan Bernando J. Sujibto, dipandu oleh M. Rifdal Ais Annafis selaku moderator.
Diskusi dibuka oleh Asef Saeful Anwar yang mengambil titik mula pembahasan komunitas sastra dari Persada Studi Klub (PSK) yang aktif pada kurun tahun 70an, hingga munculnya komunitas sastra di kampus-kampus. Asef menyampaikan beberapa hal yang identik dengan komunitas sastra di Yogyakarta, yaitu selebrasi karya atau komunitas, proses pengakraban antara junior dengan senior, hingga legitimasi.
“Selebrasi biasanya dilakukan dengan cara berkumpul dan membaca puisi. Salah satu contoh selebrasi sastra yang masih konsisten diadakan setiap bulan adalah acara Sastra Bulan Purnama. Sebagai proses belajar bagi seseorang yang bergelut di bidang sastra, menjadi sebuah keniscayaan untuk ‘berguru’ kepada orang yang telah lebih dulu terjun ke dalam lembah sastra dan memiliki kemampuan yang lebih mumpuni. Hal itu juga merupakan sebuah usaha membangun jejaring,” papar Asef.
Lebih lanjut, Asef menjelaskan bahwa jejaring yang luas tidaklah cukup dalam dunia sastra, legitimasi juga perlu dibangun dengan publikasi karya dan keikutsertaan dalam agenda-agenda diskusi.
Bernando J. Sujibto atau akrab disapa Cak Beje mempertanyakan kembali tentang tujuan berkomunitas. “Kegiatan berkomunitas merupakan bagian dari sisi humanis manusia. Manusia itu komunal, sehingga butuh support system,” ujarnya.
Menurut Cak Beje, komunitas menjadi tempat proses penemuan identitas. Munculnya rasa kesepian dan ketidakpercayaan diri diakibatkan oleh tidak adanya ruang untuk mengaktualisasi diri. Sedangkan mengenai selebrasi dan legitimasi, Cak Beje menyampaikan bahwa generasi saat ini tidak terlalu memusingkan hal tersebut.
“Jika pada tahun-tahun sebelum maraknya media sosial, selebrasi dan legitmasi harus dilakukan secara fisik, sekarang dapat dilakukan secara maya dengan bantuan teknologi yang sudah representatif. Pembacaan puisi dan usaha melegitimasi diri saat ini dapat dilakukan di mana saja dan dapat disebarkan melalui platform Youtube, Instagram, Tik Tok, dan berbagai media daring lainnya,” lanjut Beje.
Oleh karena itu, Asef menyampaikan bahwa kemudahan yang dapat dinikmati tersebut justru merupakan sebuah tantangan bagi komunitas untuk mengadakan pertemuan-pertemuan fisik, seperti diskusi pada sore itu. Kendati memiliki pengaruh yang besar terhadap proses pembentukan seorang penulis, Cak Beje menyampaikan bahwa tidak ada salahnya bagi seorang penulis yang memutuskan untuk tidak tergabung dalam komunitas sastra.
Asef menanggapi bahwa penulis-penulis muda masa kini tidak dapat dikatakan lebih individualis, karena hal tersebut sudah ada sejak dulu, seperti contohnya sastrawan Joko Pinurbo yang tidak tergabung dalam komunitas sastra manapun. “Berkomunitas itu hal yang baik, tetapi kualitas karya yang dihasilkan jauh lebih penting untuk diperhatikan,” tutup Asef.
–
Penulis: Aqilah Mumtaza
Foto: Tim Dokumentasi Jejak Imaji