
Itu hari yang kurang menggembirakan. Seusai pentas perdana, saya menyandarkan punggung di depan Auditorium Teater Rendra ISI Yogyakarta dan menghadap senja. Beberapa kawan masih dalam suasana eforia. Dan entah mengapa, sebuah pertanyaan menelusup dan membombardir kepala saya. Kira-kira begini: sebetulnya untuk apa kerja kesenian yang saya rawat pelan-pelan itu?
Lihat saja pembredelan pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta dengan tajuk “Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan” yang sedianya bakal digelar pada 3 Desember 2024. Atau misalkan kalau boleh mengingat, pelarangan beredar novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer pada 29 Mei 1981 yang disinyalir membawa paham ajaran kiri.
Saya saat itu, dengan rasa lelah yang menguasai punggung sambil membayangkan tragedi kesenian, tiba-tiba ingat petikan terakhir Himne ISI Yogyakarta yang berbunyi, “Dan berpribadi sebagai seniman sejati.” Lalu mempertanyakan ulang, apa tugas “seniman sejati” itu jika pada akhirnya dicekal? Bukankah seniman memiliki tugas untuk menyuarakan kegelisahannya baik itu di luar atau dalam diri? Bukankah seniman pada mulanya memiliki sikap eksistensialis yang salah satunya, seperti yang digambarkan Soren Kierkegaard (1813-1855) bahwa, manusia memberi makna atau esensi atas kehidupannya dengan fokus pada pengalaman individu yang bertanggungjawab atas kemauannya yang bebas.
Kendati demikian, ketika ada represi dari pihak luar seperti yang dialami Pramoedya Ananta Toer atau Yos Suprapto atau seniman lain seperti yang disebutkan di awal, apa yang sedianya akan terjadi? Ada beberapa anggapan bahwa ketika seorang seniman berada di posisi marginal, karyanya akan lebih fenomenal. Apakah betul begitu? Saya jadi ingat Franz Kafka.
Franz Kafka dan Latar Belakang
Ingatan saya mengenai Franz Kafka bermula ketika seorang kawan, yang ketika tersenyum selalu memperlihatkan bagian bibirnya yang indah, berujar: “Tadi gerakanmu di atas panggung sangat rumit, membingungkan, kayak surealis, nggak logis dan nggak ada korelasi sama lawan mainmu. Tetapi menyergapku dengan pesona.” Saya menjawab setengah malas, “Oh ya?” “Ya.” Katanya pendek, “Seperti Kafkaesque.” Yang merujuk pada situasi yang selalu dihadirkan dalam tulisan Franz Kafka.
Franz Kafka sendiri lahir di keluarga Yahudi-Jerman di Praha, 3 Juli 1883. Ia adalah seorang pegawai asuransi, manajer pabrik, novelis, dan cerpenis yang berpengaruh dari abad ke-20. Oleh banyak kritikus sastra, ia dianggap sebagai salah seorang pelopor sastra modern berkat gaya kepenulisannya yang unik. Ia termasuk dalam aliran sastra eksistensialis sebab menulis tentang kondisi manusia. Misalnya, dalam novela berjudul Metamorfosis, Kastil, Kontemplasi, atau Dokter Desa selain ratusan surat kepada keluarga dan kawan dekatnya. Dalam beberapa telaah disebutkan bahwa karya-karya Franz Kafka adalah cerminan hidupnya sendiri yang sangat melankolik. Ia meninggal pada tahun 1924 pada usia 40 tahun diakibatkan penyakit tuberkulosis.
Franz Kafka dan Metamorfosis
Daya tarik yang ditawarkan tulisan Franz Kafka terletak pada korelasi tokoh utama (dalam karyanya) kepada dunia yang didiami. Seperti perasaan terasing/termarginalkan di lingkungannya atau juga posisi ditolak oleh sebuah komunitas tertutup hanya karena tidak mengenal aturan yang berlangsung. Dalam situasi tersebut, tokoh utama dalam tulisannya menjadi anomali seperti berubah menjadi binatang yang menjijikan. Secara berhasil ia mengeksplorasi tema alienasi, keluarga, dan eksistensi manusia dalam masyarakat modern.
Novela Franz Kafka berjudul “Metamorfosis” yang fenomenal ini sebetulnya bercerita mengenai Gregor Samsa, seorang pedagang kain yang tinggal bersama keluarganya, pada suatu pagi terbangun dan mendapati dirinya berubah menjadi seekor serangga raksasa. Ia terkejut dan bingung dengan transformasi itu meski pikirannya masih manusiawi, ia menyadari bahwa kondisi barunya tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas normal.
Gregor Samsa adalah orang yang menghidupi keluarganya. Keluarga Gregor, yang terdiri dari ayahnya, ibunya, dan adik perempuannya Grete, terkejut dan ketakutan ketika mengetahui transformasi tersebut. Mulanya, mereka coba memahami dan memaklumi, kendati akhirnya menjauhi sekaligus mengabaikan. Ayahnya mencari pekerjaan, ibunya stress dan jatuh sakit, sedang adiknya mulai menganggap Gregor Samsa sebagai beban keluarga. Sebelum akhirnya ia mulai mengurung diri, makan sampah, dan mati di kamarnya.
Pada mulanya, Gregor digambarkan sebagai sosok yang pekerja keras, tanggungjawab, dan peduli kepada keluarganya. Namun, ia mulai berada pada suatu titik yang merasa terbebani oleh pekerjaan yang menuntut dan terjebak dalam rutinitas yang membosankan. Simbol transformasi Gregor menjadi seekor serangga adalah bentuk alienasi dan keterasingan yang dialami individu dan masyarakat modern.
Saya meminjam Teori Eksistensialisme Jean Paul Sartre dalam menelaah novel Metamorfosis. Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya absruditas dalam diri Gregor Samsa (tokoh utama novel berjudul Metamorfosis) yakni: ketidakterimaan faksititas, kebebasan yang dibatasi, tidak memiliki kesadaran reflektif yang baik, adanya keyakinan buruk, adanya orang lain yang memperburuk keadaan, serta kenyataan bahwa Gregor Samsa tidak dapat menentukan tujuan hidupnya.
Keseluruhan faktor dalam teori eksistensialisme Sartre melingkupi Gregor Samsa. Betapa kehidupan ia terbatasi oleh desakan kebutuhan keluarga, tekanan dunia kerja, dan tidak adanya keinginan pribadi yang digapai. Keluarganya turut memperburuk keadaan setelah ia menjadi serangga dan kamarnya ditutup lalu dijadikan gudang sebab ada yang menyewa kamar apartemennya.
Di sisi lain, kita juga disuguhkan bagaimana dialektika batin Gregor Samsa untuk menerima kondisi barunya. Semacam pergolakan psikologis untuk menerima kenyataan bahwa ia tidak lagi bisa menghidupi keluarga dan juga perasaan bersalah yang kuat. Sederhananya, ia mengalami krisis identitas.
Hasrat yang dialami Gregor, situasi yang diciptakan Franz Kafka, serta tafsir mengenai bagaimana situasi “masyarakat modern” tentu saja mempengaruhi saya. Saya hendak bilang bahwa saya berada di situasi aneh kafkaesque justru dalam lanskap kesenian. Saya ketika memandang kesenian dewasa ini (seperti tragedi kesenian yang saya kutip di awal) merasa di sebuah titik yang digambarkan Frederick Karl di sebuah wawancara kepada The New York Times: “Ketika kita memasuki sebuah dunia surreal tempat berangsur-angsur kehilangan segala mekanisme kontrol, segala rencana, segala sesuatu yang menjadi dasar (perilaku) kita.”
Dan rasa-rasanya, saya merasa ragu bahwa kerja-kerja kesenian akan berada di situasi “baik” juga “produktif”. Meski eksistensi si seniman akan meledak dan lebih diperhatikan, saya merasa khawatir. Misalnya, bagaimana fenomena yang menimpa Grup band Sukatani bagi saya nantinya akan melemahkan kerja-kerja kreatif mereka dalam menghasilkan karya. Saya khawatir kesenian akan kembali ke masa-masa kelam seperti masa Orba.
Meski begitu apa yang terjadi? Entahlah. Mungkin saya terpapar fenomena Kafkaesque, perasaan aneh dan berlebihan yang tercipta ketika kebebasan dibatasi. Setelah lukisan, lagu, esai reflektif, apalagi yang akan dicekal? Entahlah. Entahlah.
Yogyakarta, 2025
Penulis: M. Rifdal Ais Annafis, merupakan mahasiswa Teater ISI Yogyakarta ini menjadi pengarsip di Komunitas Kutub. Tulisannya terpublikasi di pelbagai media seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos, Kalam, Media Indonesia dan lainnya. Mengikuti festival, residensi, juga sayembara dalam beberapa tahun terakhir. Ia bisa di hubungi via: gmail: rifdalayis@gmail.com & iG: @mrifdalaisannafis