Bantul, 10 November 2024 – Peluncuran dan diskusi buku: Jejak dan Karya 13 Sastrawan Dunia (Sulur Pustaka), digelar di Sekretariat Komunitas Sastra Jejak Imaji dengan menghadirkan Angin Kamajaya selaku penulis buku, redaktur seni dan budaya Tempo Mustafa Ismail, serta Michael Djayadi penyair dari komunitas Kutub. Acara ini dimoderatori oleh Dhimas Bima Shofyanto, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.
Kamajaya mengatakan bahwa penulisan buku ini mulanya berasal dari diskusi puisi di Semaan Puisi. Namun lambat laun, para peserta diskusi juga memiliki ketertarikan menilik sejarah sastrawan yang puisinya dibahas. “Meskipun ada anggapan bahwa ‘Pengarang telah Mati’, tetapi kami meyakini bahwa lingkungan sosial-budaya berpengaruh dalam karya sastrawan. Memang ada yang tidak terpengaruh dominan, ada pula keterpengaruhannya sedikit, tetapi ada keterpengaruhan yang dominan. Maka dari itu, mula-mula kami mendiskusikan karya pengarang, kemudian biografinya untuk menilik keterpengaruhan tersebut,” ungkapnya.
Hal demikian juga diamini oleh Michael, menurutnya lingkungan asal sangat berpengaruh besar bagi dirinya ketika menulis karya. “Dalam membuat karya, saya sangat menimbang besar apa-apa yang saya ketahui sejak awal. Saya misalnya tak terlalu berani menuliskan karya dengan konten di luar budaya yang membesarkan saya. Misalnya saya tak terlalu berani menulis tentang sejarah di Sumatera karena saya dilahirkan di Jawa. Jikapun saya mencoba menuliskan hal demikian, maka saya harus lebih ekstra dalam memahami budaya lain tersebut dan hal itu bisa saja menjadi blunder di kemudian hari karena perbedaan pemahaman,” tegasnya.
Sedangkan Mustafa menekankan pentingnya referensi primer jika hendak membuat buku serupa. “Buku-buku semacam ini sangat riskan sebenarnya, jika tidak menggunakan sumber-sumber primer, karena informasi yang berseliweran di internet bisa saja keliru karena tidak ada kontrol. Perlu juga rasanya menambahkan daftar pustaka atau referensi di akhir tulisan agar para pembaca bisa melakukan pengecekan terhadap sumber yang digunakan,” paparnya.
Kamajaya juga membandingkan karya puisi pengarang luar (Eropa-Amerika) dan penyair Indonesia. Menurutnya kualitas puisi Indonesia setara dengan puisi luar. Namun ia menekankan perlunya melakukan kampanye budaya, agar karya pengarang Indonesia diketahui penerbit di luar negeri.
Sedangkan Mustafa menekankan perlunya melakukan startegi 3M. “Penulis di Indonesia perlu punya dasar atau misi dalam berkarya, lalu perlu menciptakan market. Publik di Indonesia tidak diajari bagaimana cara menikmati puisi, jika publik tidak tahu cara menikmati, maka market tidak tercipta. Terkahir perlu marketing yang baik, biasanya di Indonesia buku terbit, lantas dibiarkan begitu saja. Trik marketingnya tidak berjalan baik, sehingga buku tidak diketahui oleh publik yang lebih luas,” tutupnya.
Reporter: Boby Gallas Merkuri
Foto: Azka El Faatih/Jejak Imaji