Judul Film: Sekawan Limo
Sutradara: Bayu Skak
Produser: Chand Parwez Servia
Penulis Naskah: Bayu Skak
Lelah sering kali dirasakan banyak orang, entah itu yang masih bersekolah entah yang sudah bekerja. Berbagai cara bisa dilakukan untuk menghilangkan kepenatan itu pada akhir pekan. Misalnya mengunjungi tempat wisata, bermain dengan teman, menonton film, ataupun hanya tiduran di kasur seharian dengan alasan “charge energy”. Saya juga merasakan lelah itu terkumpul setelah lima hari menuntut ilmu, dan dua hari dalam sisanya, biasanya saya gunakan untuk healing.
Seperti minggu kemarin, saya dan teman mengunjungi salah satu mall yang berada di kota Yogyakarta untuk menonton film bergenre horor komedi yang belum lama ini rilis. Sekawan Limo menjadi pilihan tontonan siang itu setelah diskusi pendek karena salah satu dari kami ingin menonton film lain. Trailer singkat di televisi malam itu masih teringat jelas di kepala saya.
Waktu menunjukkan pukul 14.15 WIB, yang artinya film Sekawan Limo siap diputar di studio di tiga tempat. Film yang dibintangi Bayu Skak dan Nadia Arina sebagai tokoh utama itu berlatar di Gunung Madyopuro. Sekawan sendiri memiliki arti empat dalam bahasa Jawa atau juga bisa diartikan sebagai sahabat/teman. Limo sendiri ialah lima dalam bahasa Indonesia.
Awal mulanya Bagas dan Lenny berencana mendaki gunung karena keinginan salah satu dari mereka. Sampai di tujuan mereka diberi gelang kuning oleh penjaga. Mereka juga dijelaskan tentang larangan-larangan yang harus ditaati, contohnya tidak boleh menengok ke belakang dan jangan mendaki dengan kelompok berjumlah ganjil.
Namun, ini pertama kalinya mereka mendaki. Mereka diajak oleh seseorang, yaitu Dicky yang katanya sudah profesional dalam hal daki mendaki. Namun, Lenni menolak karena akan ada 3 orang yang ikut. Ia takut melanggar larangan. Setelah setengah jalan tidak disangka ada Juna yang ingin bareng karena sudah ditinggal oleh rombongannya. Baru setengah perjalanan mereka memutuskan untuk mendirikan tenda karena langit mulai gelap, tidak memungkinkan melanjutkan perjalanan.
Belum lama beristirahat, lagi-lagi mereka dikagetkan ada seorang pria yang duduk di atas batu besar dengan kondisi yang jauh dari kata sehat. Pria itu diketahui bernama Endru yang langsung ditidurkan di tenda setelah mereka temukan. Matahari mulai menampakkan sinarnya, tujuan mereka untuk menuju puncak kembali dilakukan.
Saat di perjalanan ada saja hal aneh yang mereka alami, seperti diganggu makhluk tak kasat mata, tidak sampai-sampai ke tujuan hingga perselisihan di antara mereka, yaitu menyalahkan satu sama lain. Singkat cerita, terungkap juga siapa di antara mereka yang bukan manusia.
Saya merasa film kurang plot twist karena saat durasi awal saya sudah menebak dan tebakan itu benar. Kekurangan selanjutnya, yaitu make up hantunya kurang menyeramkan. Di bagian muka seolah hanya di blok putih dan warna darah yang kurang nyata. Jadi, saya kira tokoh dalam cerita itu belum menjadi hantu.
Film ini tidak begitu seram, tetapi lebih ke komedi seperti yang sudah dijelaskan di awal. Jadi, lebih banyak peminatnya. Film ini juga mengandung pesan moral yang cukup dalam, seperti yang masih saya ingat: “Jangan menoleh ke belakang”. Artinya, masa lalu yang sudah berlalu tidak perlu disesali karena akan menghambat masa sekarang ataupun masa depan.
Secara keseluruhan, bagi saya film ini dapat mengusir penat. Saya merasa healing karena mendapatkan jokes yang kekinian, mudah dipahami penonton. Selain itu, kebersamaan dan saling menolong dapat menginspirasi bahwa sesulit apa pun kondisi jika dilakukan bersama akan terasa lebih mudah.
Penulis: Runi Wahyu Astari, kerap disapa Runi. Lahir di Yogyakarta pada 19 Februari 2007. Mempunyai beberapa hobi, antara lain bersepeda, membaca buku, dan berkebun. Saat ini masih bersekolah di SMKN 1 Yogyakarta kelas 3 dan aktif di Atap Bahasa sebagai editor. Bercita-cita ingin menjadi pengusaha catering dan penulis novel yang dikenal banyak orang. Ia bisa disapa via Instagram: @runiwaa