Lokasi bangunan sekretariat Jejak Imaji rupanya tidak berada di sebuah tempat yang biasa-biasa saja. Dusun Kepuh Kulon, Kelurahan Wirokerten yang merupakan alamat dari rumah kelompok belajar sastra tersebut ternyata sedang merintis sebagai kelurahan budaya. Namun, proses tersebut tidak lepas dari lika-liku yang harus dan sedang dihadapi saat ini.
Hal itu menjadi topik perbincangan hangat pada 28 Juli 2024 di Sekretariat Jejak Imaji yang masih termasuk dalam rangkaian acara Langgeng: Perayaan 1 Dekade Jejak Imaji. Acara yang bertajuk Sarasehan Budaya Kepuh Kulon tersebut mengundang empat pembicara, yaitu Supriyono selaku Lurah Wirokerten, Sunartana selaku Dukuh Kepuh Kulon, Latief S. Nugraha selaku budayawan, dan Bayu Aji Setiawan selaku ketua Jejak Imaji, serta dipandu oleh Hendrik Efriyadi selaku moderator.
Supriyono menjelaskan bahwa Pergub no.136 tahun 2020 tentang Desa Rintisan Budaya baru sampai di kelurahan Wirokerten pada tahun 2023. “Kami mendata potensi-potensi yang terbagi dalam lima bidang, yaitu adat tradisi, kesenian, kuliner, bahasa, dan bangunan budaya. Dengan begitu, kami optimis untuk mengembalikan kebudayaan Jawa yang sudah mulai luntur oleh budaya luar yang lebih digandrungi generasi muda,” papar Lurah Wirokerten tersebut.
Di dalam prakteknya, tantangan justru hadir dari masyarakat yang masih memandang budaya dengan streotipe yang kurang baik. “bagi orang awam, budaya itu identik dengan seni. Seni identik dengan pertunjukan. Seniman dalam pandangan masyarakat itu adalah orang yang rambutnya gondrong dan jarang mandi. Sehingga streotipe budaya atau seni bagi masyarakat masih dipandang tidak begitu penting,” jelas Sunartana tentang kondisi di lapangan.
.
Contoh konkretnya adalah program bahasa Jawa dan pelatihan Wedding Organizer yang telah diusung kurang mendapat sambutan dari pemuda-pemudi di Kepuh Kulon. Namun, Sunarta secara pribadi menyambut positif keberadaan komunitas Jejak Imaji dan berharap memiliki dampak yang baik terhadap masyarakat sekitar.
Latief S. Nugraha menanggapi bahwa anak-anak muda memang memiliki potensi yang besar untuk diberdayakan dalam melestarikan kebudayaan daerahnya. Ia memberikan contoh sebuah program di daerah asalnya, yaitu Kulonprogo, di mana pemuda dan pemudi diberi projek untuk menulis folklor atau cerita rakyat yang diperoleh dari para tetua di desa mereka. Cerita-cerita tersebut lalu dikumpulkan menjadi sebuah antologi cerpen. Kerja-kerja kepenulisan semacam itu menurut Latief sangat penting perannya sebagai arsip sejarah.
Keberadaan Jejak Imaji sebagai komunitas sastra yang juga memiliki berbagai kegiatan seni lainnya dapat menjadi aset yang penting bagi kelurahan Wirokerten yang sedang merintis menjadi desa budaya tersebut. Melalui berbagai program yang diadakan, seperti Jejak Sua (diskusi), Sowan Sastrawan, Bentang Layar (screening dan diskusi film), dan Kelas Menulis, Jejak Imaji dapat melahirkan individu yang kritis terhadap berbagai macam wacana. “Tujuan kami tidak lebih untuk merawat spirit belajar dan harapannya dapat bermanfaat bagi orang lain,” tukas Bayu, ketua Jejak Imaji.
–
Reporter: Aqilah Mumtaza
Foto: Tim Dokumentasi Jejak Imaji