Seni Fotografi Bukan Hanya Sekadar Foto Telanjang!

Imanuel Togar Jaya Perkasa atau Patrick atau juga Pat panggilan akrabnya, pemuda early 30 yang nyentrik berprofesi sebagai fotografer lepas. Ia lahir di Bandung, Jawa Barat, tumbuh di hampir seluruh indonesia seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Pulau Kalimantan, dan pindah ke Bali untuk menemukan perjalanan hidupnya yang lain sejak Juni 2018. Pat memulai karier sebagai penjual helm, lalu menjadi barista, hingga saat ini mencari penghidupan dari pekerjaan memotret. Perawakan Pat jauh dari kata necis seperti kebanyakan fotografer yang saat ini naik daun di area Canggu raya. Ia mengenakan kaus oblong santai dan jeans belel, tak lupa sunnies terkepit di kepala menyerupai bando.

Pemuda asal Bandung ini jatuh hati dengan dunia memotret secara tak sengaja. Ia mengawali perjalanannya di Bali pada 2018 sebagai seorang barista. Cintanya jatuh pada fotografi dengan niat awal ingin freeze momen sehari-hari bersama teman-temannya. Ia memilih “Ricoh KR5” sebagai kamera pertamanya dan mulai mengekspresikan segala perasaannya melalui foto-foto analog. Dalam keasyikan mengabadikan momen tersebut, Pat menyadari bahwa melakukan eksperimen dengan film rol ataupun kamera digital memberikan kesenangan yang membangkitkan passion–bak aliran serotonin dalam darah. Maka secara perlahan, Pat bertransisi menjadi seorang fotografer dan pensiun sebagai barista.

Jika ditanya aliran apakah fotografi yang menjadi identitas karyanya, Pat tegas menyatakan ia tertarik pada human interest yang seringkali dijumpai di karya fotografi jurnalistik. Foto-foto yang begitu jujur berbicara perkara manusia dan sekelumit peristiwa di sekitarnya. Pat ingin karya-karyanya merepresentasikan kejujuran dari kehidupan sehari-hari. Sebagaimana fotografer idolanya, Vivian Maier yang memotret dengan premis sederhana,–mengabadikan wajah-wajah yang ia temui di jalanan Amerika.

Tak hanya ide memotret human interest ala Vivian Maier, Pat juga menyukai cerita perjalanan karier Maier. Vivian Maier sepanjang hidupnya berprofesi sebagai pengasuh dan asisten rumah tangga. Yang menarik, perempuan yang hidup semasa perang dunia tersebut menenteng kamera kemanapun ia pergi. Perempuan tersebut jauh dari motif ekonomi dan ketenaran dalam memotret. Konon katanya, Maier menjadi terkenal jauh setelah ia meninggal dunia. Seorang pria bernama John Maloof menemukan rol filmnya beberapa puluh tahun kemudian dan melakukan penelusuran terhadap sosok Vivian Maier yang anonim.

“Bahkan saat hidup, Vivian tidak pernah bilang kalau dirinya fotografer. Orang yang memberikan klaim tersebut saat ia meninggal. What a life?” Celoteh Pat.

Jika ditanya tanggapannya akan fotografi komersil yang berorientasi pada ketenaran dan uang, Pat cukup memiliki uraian yang kompleks. Seyogyanya seni –jika dalam konteks idealisme seperti yang dipahami pelaku seni— tidaklah melulu perkara social media sentiment yang saat ini marak menjangkiti banyak pelaku seni terutama fotografer. Kecenderungan untuk melakukan blow up karya foto dengan eksploitasi tubuh dan engagement di Instagram.

Not gonna lie, aku juga menghasilkan uang dari sana (red: Fotografi). Tapi, jika fotografi cuma perkara edit-edit tubuh biar sempurna atau mendapat likes dan tenar, enggak sereceh itu deh alasan motret.”

Apakah idealisme bisa Pat pertahankan sementara politik seni saat ini sangat bergantung pada iklim tren yang cenderung memamerkan tubuh sempurna model dan viralitas di dunia maya? Pat mengakui kekerasan kepalanya itu diejawantahkan dengan pameran foto pertamanya yang digelar dengan tajuk Memoire. Tajuk ini merupakan representasi kenangan Pat akan hal-hal yang memiliki ikatan emosional dalam hidupnya. Beberapa foto-foto dalam pameran tersebut menampilkan tubuh telanjangnya dan beberapa model secara implisit.

Pat mengakui bahwa beberapa karyanya menampilkan tubuh telanjang. Namun, pesan yang ingin ia sampaikan lebih dalam daripada foto-foto telanjang yang saat ini marak di berbagai pameran foto dan seni.

“Aku ingin orang menyadari tidak ada standar atas tubuh manusia. Semua shape indah. Ketidaksempurnaan yang jujur dan apa adanya adalah keindahan.”

Pat menegaskan saat ini foto-foto telanjang hanya berkutat pada model yang cantik, mulus, dengan bentuk tubuh sempurna. Hal-hal tidak jujur seperti ini yang menimbulkan eksploitasi dan melanggengkan standar kecantikan yang kerap kali memandang sebelah mata ragam bentuk tubuh manusia sebagai sesuatu yang abnormal.

Pat juga mengatakan salah satu karyanya menampilkan wajah tidak mulus yang jauh dari standar kecantikan wajah yang berlaku di masyarakat. Terlihat dalam potret tersebut sepasang kekasih dengan wajah tak mulus namun terlihat begitu bahagia menghabiskan malam.

“Apakah jerawat membuat manusia tidak bisa bahagia?” tanyanya.

Perlu diakui, keberhasilan Pat dalam melakukan dekonstruksi akan iklim foto kecantikan saat ini sejalan dengan napas foto human interest yang ia gandrungi. Seorang fotografer Amerika kawakan yang juga terkenal keras kepalanya akan pembelaannya atas lingkungan, yaitu Ansel Adams pernah berkata bahwa ‘foto yang baik adalah yang tahu titik tumpunya berdiri.’ Pat berdiri di satu kutub ide miliknya dengan tegap.

Kejujuran foto-foto Pat melahirkan ironi berikut sentimen publik atas apresiasi seni masa kini. Berpuluh-puluh eksibisi foto telanjang perempuan sukses besar di beberapa titik di Bali. Namun, pemuda ini tidak gentar. Yang ada di bayangannya di depan adalah perjalanan menjelajahi Indonesia dan memotret wajah-wajah yang sarat cerita dan budaya masing-masing. Ia ingin menangkap dan menyalin wajah-wajah itu ke kamera dan menunjukkan pada dunia bahwa ada banyak hal lain yang dapat dinikmati dari potret tubuh manusia.

Saat matahari mulai naik sepenggalah dan menyiram wajah kami di muka halaman kedai kopi yang rindang, Pat menutup pertemuan dengan sebuah pesan.

“Aku tidak akan berhenti bereksperimen. Mungkin proyek memotret wajah Indonesia ini akan begitu lama. Sepanjang hidupku. Mungkin nanti arsipku ditemukan anakku atau orang lain, seperti Vivian Maier.”

Penulis: Windy Shelia Azhar
Fotografer: Patrick

Check Also

Apa-Apa yang Coba Dicari Ketika Membaca Sebuah Buku Puisi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *